Ambisi Penurunan Emisi Lahirkan Proteksi Dagang Baru
Tren proteksionisme hijau oleh negara maju diperkirakan semakin intens ke depan. Negara berkembang perlu merapatkan diri dan menggencarkan lobi-lobi agar tidak tersingkir dari rantai pasok global.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Rantai pasok dunia berkembang semakin kompleks. Selain tensi geopolitik yang membelah peta perdagangan global, ambisi negara maju untuk menurunkan emisi karbon ikut melahirkan proteksionisme dagang baru yang bisa merugikan negara berkembang. Indonesia mesti bersiap menembus rantai pasok global yang semakin menantang.
Sepanjang tahun 2023 ini, ada beberapa kebijakan dagang oleh negara maju yang turut merugikan Indonesia. Pada Mei 2023, Uni Eropa (UE) resmi menerapkan Undang-Undang Produk Bebas Deforestasi (EUDR) yang mewajibkan setiap eksportirnya untuk memverifikasi dan menjamin bahwa produknya tidak berasal dari hasil deforestasi.
Aturan itu diterapkan untuk produk ekspor minyak sawit dan turunannya, arang, kopi, kedelai, kakao, daging sapi, dan kayu. Ada pula karet, kertas, kulit, dan produk turunannya. Sebagian besar komoditas itu merupakan ekspor andalan Indonesia.
Tidak lama sesudah itu, muncul regulasi Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon (CBAM) oleh UE yang masa transisi implementasinya dimulai pada Oktober 2023 ini. Aturan ini menerapkan mekanisme pengenaan tarif karbon untuk sejumlah komoditas yang masuk ke pasar UE, yaitu komoditas besi baja, pupuk, aluminium, elektronik, dan hidrogen.
Uni Eropa bukan satu-satunya pemain dalam kancah proteksionisme hijau ini. Melalui kebijakan Inflation Reduction Act (IRA), Amerika Serikat juga melakukan hal serupa. UU tersebut mengatur insentif hijau bagi perusahaan yang menjalankan bisnis berbasis ramah lingkungan, salah satunya industri kendaraan listrik (EV).
Namun, pasokan nikel sebagai bahan baku baterai listrik dari Indonesia dikecualikan dari pihak yang bisa mendapatkan insentif hijau dari Pemerintah AS itu. Alasannya, Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS. Nikel Indonesia juga dinilai sarat masalah lingkungan dan hak asasi manusia (HAM).
Mantan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dalam ajang Annual International Forum of Economic Development and Public Policy (AIFED) ke-12 mengatakan, tren proteksionisme hijau oleh negara maju ini akan semakin intens ke depan. Tidak hanya dilakukan oleh Uni Eropa dan AS, tetapi juga negara maju lainnya.
”Jangan harap tensi perdagangan global akan mereda dalam waktu dekat. Selain fragmentasi geoekonomi, kita juga menghadapi restriksi karena komoditas kita dianggap menghasilkan karbon tinggi. Ke depan akan lebih kompleks, kita harus belajar hidup dengan situasi ini dan mencari strategi baru untuk bertahan di rantai pasok,” katanya, Kamis (7/12/2023).
Di era fragmentasi geoekonomi saat ini, RI bisa membangun aliansi strategis dengan negara berkembang yang senasib untuk menaikkan posisi tawar.
Menurut dia, tren tersebut tidak bisa dihindari. Agar bisa kompetitif, suatu negara kini harus jadi bagian dari rantai pasok yang berkelanjutan. Untuk itu, Indonesia mesti konsisten dengan komitmennya melakukan dekarbonisasi.
Saat ini, 25 persen dari ekonomi Indonesia masih menghasilkan karbon yang cukup tinggi, seperti pertambangan (14,07 persen), agrikultur (9,22 persen), perikanan (2,58 persen), dan kehutanan (0,6 persen).
Namun, bukan berarti Indonesia hanya diam. Mari menilai, tuntutan negara maju sering tidak sejalan dengan standar mayoritas negara berkembang yang sedang berusaha mengembangkan ekonominya. Lobi-lobi perlu lebih digencarkan agar standar ”kehijauan” yang diterapkan negara maju itu bisa diturunkan sesuai kapasitas negara berkembang.
Aliansi negara senasib
Pemerintah memang sudah melakukan lobi-lobi, salah satunya mengirim proposal perdagangan bebas terbatas untuk komoditas nikel ke AS. Namun, menurut Mari, Indonesia sebaiknya tidak bergerak sendiri.
Di era fragmentasi geoekonomi saat ini, RI bisa membangun aliansi strategis dengan negara berkembang yang senasib dan terancam tersingkir dari rantai pasok global untuk menaikkan posisi tawar. Sebab, kebijakan hijau oleh UE dan AS itu tidak hanya berdampak pada RI, tetapi juga negara berkembang lain.
Negosiasi itu bisa membahas klausul mengenai standar minimum yang bisa diikuti negara berkembang secara fleksibel untuk periode waktu tertentu. Tanpa perlu ”disingkirkan” dari rantai pasok global, negara berkembang bisa mulai membangun kapasitas ekonomi hijaunya.
”Intinya, kita harus bersuara lebih kencang lagi. Uni Eropa memasang standar sangat tinggi, tetapi kita masih di bawah itu. Mungkin suatu hari kita bisa mencapai ke sana, tetapi kita butuh waktu untuk adjust. Untuk itu, kita harus cari kawan, minimal dimulai dengan merangkul negara-negara ASEAN,” kata Mari.
Direktur Climate Policy Initiative Indonesia Tiza Mafira menambahkan, apa pun sentimen yang dirasakan pemerintah terhadap kebijakan UE dan AS, tren ini tetap perlu diwaspadai. Rantai pasok dunia akan bergerak lebih hijau dan berkelanjutan ke depan. Saat ini saja, dampaknya sudah mulai terasa pada kinerja perdagangan dan investasi.
”Banyak negara dan perusahaan yang mengatakan tidak mau membeli produk hijau dari Indonesia atau berinvestasi hijau di Indonesia karena proses produksi manufaktur di Indonesia secara umum masih kotor. Mulai dari penambangan, pengolahan, tenaga listrik yang digunakan, sampai produksi hasil akhirnya,” kata Tiza.
Dengan jorjoran melakukan hilirisasi, kita akhirnya membuat kesalahan ekstraktif yang sama.
Bumerang hilirisasi
Ia menyoroti kebijakan hilirisasi tambang mineral, yang meskipun memberi nilai tambah untuk ekonomi, juga membangkitkan industri hulu yang ekstraktif dan tidak ramah lingkungan. Seiring dengan kebijakan hilirisasi tersebut, perizinan investasi tambang justru meningkat pesat dan pinjaman pembiayaan untuk sektor penambangan melampaui sektor lain.
”Jadi, realitasnya, dengan jorjoran melakukan hilirisasi, kita akhirnya membuat kesalahan ekstraktif yang sama seperti industri upstreaming dulu dengan minyak dan batubara,” tuturnya.
Oleh karena itu, strategi hilirisasi sudah saatnya dievaluasi. Menurut Tiza, hilirisasi tidak bisa terus-terusan dilakukan tanpa batas waktu. Dampaknya akan semakin buruk terhadap ekosistem lingkungan, bahkan secara pragmatis juga menghambat masuknya investasi hijau yang berkualitas.
”Kita harus pikirkan, sampai kapan kita mau melakukan hilirisasi tambang? Harus ada sunset date (batas akhirnya). Kita harus membatasi kuota lisensi dan perizinan tambang, dan harus memulai praktik hilirisasi yang lebih bersih yang tidak merusak lingkungan dan penghidupan warga setempat,” ujarnya.
Ia meyakini, jika strategi hilirisasi dilakukan terukur dan dengan praktik pertambangan yang bertanggung jawab, posisi tawar Indonesia di rantai pasok global yang hijau bisa meningkat. ”Ini bisa jadi strategi kita untuk menjawab tantangan proteksionisme hijau dan menarik pembiayaan hijau dengan lebih fleksibel,” katanya.