Keamanan siber masih jadi hambatan utama implementasi sistem pemerintahan berbasis elektronik atau digital.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Ancaman keamanan siber masih menjadi hambatan utama dalam upaya mengimplementasi sistem pemerintahan berbasis elektronik. Padahal integrasi data server instansi pemerintah di pusat dan daerah, ditambah luruhnya ancaman siber dapat membantu mempercepat transformasi ekosistem digital di Indonesia.
Di sela peluncuran Buku Putih Strategi Nasional Pengembangan Ekonomi Digital Indonesia 2030, di Jakarta, Rabu (12/6/2023), Menteri Komunikasi dan Informasi Budi Arie Setiadi mengatakan Indonesia punya 27.000 pusat data (server) pemerintahan, dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, hingga desa.
Dari 27.000 server di tingkat lembaga baik pemerintah pusat dan daerah, baru 3 persen di antaranya yang sudah memiliki sertifikasi pusat data. Selain menyulitkan integrasi data, perbedaan standar keamanan dari masing-masing server instansi pemerintahan juga membuka celah bagi aktivitas kriminal siber yang berbahaya bagi keamanan nasional.
“Sebagian pengelola situs instansi pemerintah telah menerapkan standar keamanan yang ketat, tetapi ada juga yang belum,” ujar Budi.
Kemanan siber memang menjadi isu penting dalam implementasi sistem pemerintahan berbasis elektronik. Untuk meningkatkan keamanannya, semua akan disinergikan dalam pusat data nasional (PDN) atau national data center.
Kondisi ini sejalan dengan laporan Lanskap Ancaman Siber 2023 Edisi Ke-4, Ensign InfoSecurity membahas sejumlah ancaman keamanan siber di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya, termasuk di Indonesia. Salah satu area yang dinilai paling rentan terhadap serangan siber di Indonesia ialah layanan publik oleh pemerintah.
Kompas mencatat, salah satu aksi serangan server instansi pemerintahan yang cukup meresahkan warga sempat terjadi pada tahun 2021, saat maraknya dilakukan penjualan data masyarakat Indonesia di situs Raidforums.com yang diklaim oleh penjualnya bersumber dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
“Keamanan siber memang menjadi isu penting dalam implementasi sistem pemerintahan berbasis elektronik. Untuk meningkatkan keamanannya, semua akan disinergikan dalam pusat data nasional (PDN) atau national data center,” kata Budi.
Pembangunan PDN di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, sejak awal 2022 ditargetkan akan rampung pada September 2024. PDN, akan menjadi fondasi dalam percepatan implementasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang sejalan dengan instruksi Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2019 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik atau SPBE.
Pangkas biaya
Dari sisi biaya, Kementerian Komunikasi dan Informasi mencatat total anggaran yang perlu dikeluarkan oleh instansi-instansi pemerintahan di pusat dan daerah untuk mengelola operasional pemeliharaan hingga keamanan dari ribuan pusat data saat ini bisa mencapai Rp 12 triliun per tahun.
Budi meyakini keberadaan PDN akan memangkas biaya tinggi tersebut di samping keamanan dan integrasi data akan semakin terpusat. Selain itu, SPBE yang terintegrasi melalui PDN diyakini semakin memudahkan pengembangan layanan pemerintah yang tepat guna dan tepat sasaran untuk masyarakat.
“Sebenarnya saat ini berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah telah mengembangkan SPBE. Sayangnya implementasi masih dilakukan secara sporadis. Begitu banyak pusat data instansi tidak terkoneksi satu sama lain, sehingga menyulitkan sistem pelayanan dan pengembangan data,” kata Budi.
Dalam kesempatan berbeda, Deputi Bidang Keamanan Siber dan Sandi Pemerintahan dan Pembangunan Manusia, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Sulistyo, mengatakan lembaganya terus melakukan ujian pada sistem keamanan PDN, baik itu di level infrastruktur maupun level aplikasi.
“Bicara soal pembangunan PDN adalah soal pembangunan ekosistem. Jadi pengujian keamanan harus dilakukan sejak proses pembangunan ekosistem tersebut. Jangan pas di ujung, saat ekosistemnya sudah jadi, baru diuji keamanannya,” ujarnya.
Transformasi digital
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan untuk menjadi acuan transformasi ekosistem digital Indonesia, pemerintah meluncurkan Buku Putih Strategi Nasional Pengembangan Ekonomi Digital Indonesia 2030.
Buku tersebut menjadi pedoman bagi K/L dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan pengembangan ekonomi digital. Bidang regulasi dan keamanan siber menjadi salah satu pilar dari enam pilar utama dalam buku ini yang memuat strategi untuk pengembangan ekonomi digital di Tanah Air.
Adapun kelima pilar lainnya yang jadi sasaran transformasi ekonomi digital adalah bidang infrastruktur untuk perluasan penetrasi internet; sumber daya manusia untuk talenta digital; riset, inovasi, dan pengembangan; iklim bisnis dan pengembangan usaha; serta inklusi keuangan.
Airlangga mengatakan pengembangan ekonomi digital disiapkan melalui tiga fase. Pertama adalah fase persiapan yang dimulai dengan perbaikan fondasi digital dasar guna memastikan masyarakat siap bertransformasi. Sementara kedua adalah fase transformasi sebagai upaya mewujudkan ekosistem masyarakat dan bisnis yang telah terliterasi secara digital.
“Adapun ketiga adalah fase memimpin dengan mulai menetapkan standar dalam teknologi inovasi di masa mendatang. Fase ini bisa kita mulai pada tahun 2030 dengan catatan kita berhasil mencetak 9 juta talenta digital baru untuk mengisi kebutuhan pasar digital,” ujar Airlangga.
Saat ketiga fase ini sudah dilalui, targetnya pada tahun 2045 mendatang akan terwujud peningkatan daya saing digital Indonesia yang semula berada pada peringkat ke-51 di tahun 2022 menjadi peringkat ke-20, dengan kontribusi ekonomi digital akan mencapai 20 persen terhadap PDB.