Setahun Berlalu Janji Rp 300 Triliun Program JETP
Dalam dokumen rencana investasi (CIPP) JETP, tertuang proyek-proyek yang bisa didanai oleh pendanaan publik JETP. Nantinya, akan ada diskusi. Namun, pemerintah dan negara-negara donor mesti sepakat dan klop.
Sekitar setahun lalu, dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, Indonesia ”diguyur” komitmen pendanaan transisi energi sebanyak 20 miliar dollar AS dalam program Just Energy Transition Partnership atau JETP. Komitmen itu pun coba terus ditagih. Di sisi lain, porsi hibah dalam JETP amat minim dan didominasi pinjaman lunak.
JETP ialah komitmen pendanaan senilai 21,5 miliar dollar AS (kini bertambah) atau Rp 333,8 triliun (dengan kurs Rp 15.527 per dollar AS). Sebanyak 11,5 miliar dollar AS berasal dari dana publik negara-negara maju (International Partners Group/IPG), yang dipimpin Amerika Serikat dan Jepang. Sementara 10 miliar dollar AS berasal dari sejumlah bank ternama di dunia yang tergabung dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).
Indonesia tentu lebih banyak berharap pada dana publik IPG, yang bentuknya antara lain berupa hibah (grant), pinjaman dengan persyaratan lunak (concessional), dan penjaminan, ketimbang dari GFANZ yang menawarkan pinjaman komersial. Namun, sejak pertengahan 2023, terungkap porsi hibah dalam JETP amat minim. Padahal, bentuk pendanaan itu yang sejatinya dikejar.
Hingga Selasa (21/11/2023) atau saat diluncurkannya Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP, komposisi bentuk pendanaan belum banyak berubah. Porsi hibah hanya sekitar 300 juta dollar AS atau 1,4 persen dari total komitmen pendanaan JETP. Sementara concessional loan sekitar 6,9 miliar dollar AS.
Baca juga : Hibah Hanya 1,4 Persen, Transisi Energi Berpotensi Terhambat
Tak pelak, muncul kekhawatiran utang tersebut bakal membebani Indonesia. Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Akmaluddin Rachim, Kamis (30/11/2023), mengatakan, daya tawar Indonesia seharusnya lebih kuat, baik dalam pendanaan bersifat hibah maupun kepastian akan cairnya komitmen pendanaan itu.
”Indonesia ini kaya akan sumber daya alam, khususnya mineral dan batubara. Namun, kemudian diminta mengikuti komitmen global terkait pengurangan emisi. Sementara dalam menyongsong transisi energi, bahan baku mineral banyak dibutuhkan dan prosesnya tetap akan menghasilkan emisi. Harusnya posisi tawar kita lebih kuat,” kata Akmaluddin.
Pemerintah, imbuh Akmaluddin, mesti lebih kuat dalam berdiskusi dan bernegosiasi terkait proyek-proyek mana yang dibutuhkan dan disertai kepastian pendanaan. Kalaupun dalam bentuk pinjaman lunak, mesti dipastikan selunak mungkin. Apalagi, Persetujuan Paris (Paris Agreement) mengharuskan negara-negara maju menyediakan pendanaan bagi negara-negara berkembang dalam mengambil tindakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Sementara itu, Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar berpendapat, JETP sebenarnya bisa mempercepat upaya transisi energi sembari mengatasi dampak sosial ekonomi. Juga bisa memperkuat tata kelola dan mendorong pendanaan ke negara-negara berkembang (Global South).
”Namun, perlu dilakukan cost and benefit analysis dan simulasi mikro untuk melihat dampaknya. Jika persentase hibah minim dibandingkan pinjaman, itu dapat menimbulkan beban keuangan yang signifikan pada organisasi atau BUMN yang terlibat dalam transisi energi,” kata Media.
Baca juga : Pembangunan Transmisi dan ”Pensiun Dini” PLTU Cirebon-1 Prioritas
Hal tersebut dapat memengaruhi kemampuan organisasi atau BUMN terkait untuk berinvestasi baik dalam teknologi, infrastruktur, maupun praktik berkelanjutan. Kewajiban pembayaran pinjaman justru menarik mundur progres transisi energi karena membatasi kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan situasi.
Mengenai adanya kekhawatiran jebakan utang dalam JETP, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin mengatakan, pemerintah akan menjaga agar jangan sampai dipaksa melakukan sesuatu yang tidak dibutuhkan Indonesia.
”(Sementara) Pembangkitan listrik ini, kan, penting dan sesuai dengan kebutuhan energi, kebutuhan industri kita. Kalau butuh energi, pasti butuh pembangkit listrik. Kalau butuh pembangkit, pasti butuh investasi. Selama kebutuhannya produktif, menghasilkan nilai tambah, tidak apa-apa pakai utang. Tapi, kalau tidak (produktif), ya jangan,” katanya di sela-sela peluncuran CIPP JETP.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi ad interim Erick Thohir saat itu juga menekankan bahwa utang produktiflah yang ditekankan dalam JETP. Ia lantas mencontohkan kredit sepeda motor yang dapat digunakan hanya untuk jalan-jalan atau digunakan untuk mengojek (produktif).
”Kan, ada utang yang tidak produktif dan koruptif. Nah, itu yang kita sikat. Tetapi, kalau utang produktif itu biasa, pengusaha saja utangnya 70 persen, equity-nya 30 persen. Utang produktif itu biasa,” ujar Erick.
Lima kali lipat
Terlepas dari jenisnya, Indonesia memang memerlukan pendanaan besar dalam transisi energi. Seperti disampaikan dalam peluncuran JETP, kebutuhan nasional dalam mewujudkan peta jalan transisi energi hingga 2030 adalah 97,3 miliar dollar AS. Jumlah tersebut hampir lima kali lipat dari total komitmen pendanaan JETP.
Baca juga : Program JETP Harus Bisa Cegah Pengangguran
Sejumlah target dalam JETP pun telah disepakati Pemerintah Indonesia dan IPG. Di antaranya ialah puncak emisi gas rumah kaca (GRK) sektor ketenagalistrikan, khusus dalam sistem PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau on-grid, sebesar 250 juta ton CO2 pada 2030. Kedua, 44 persen energi terbarukan dalam bauran ketenagalistrikan pada 2030. Ketiga, emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada sektor ketenagalistrikan pada 2050.
Lalu, ada lima fokus area pendanaan JETP. Pertama, pembangunan transmisi. Kedua, pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Ketiga, akselerasi energi terbarukan yang dapat dikontrol dan konstan (dispatchable). Keempat, akselerasi energi terbarukan variabel(bergantung cuaca). Kelima, peningkatan rantai pasok energi terbarukan.
Adapun yang akan menjadi prioritas atau ditargetkan terlaksana dalam waktu dekat ialah pengakhiran dini operasi PLTU Cirebon-1, Jawa Barat. ”(Yang dikejar PLTU) Cirebon dulu biar jadi template benchmark (tolok ukur),” kata Kepala Sekretariat JETP Indonesia Edo Mahendra, di sela-sela peluncuran CIPP JETP.
Selain itu, mengemuka pula perihal kebutuhan pembangunan jaringan transmisi kelistrikan yang juga diharapkan dapat disokong JETP. Pembangunan transmisi Jawa-Sumatera, misalnya, untuk mengevakuasi listrik dari Jawa yang kelebihan pasokan (oversupply) ke Sumatera. Juga jaringan transmisi di wilayah lain.
Edo menjelaskan, dari komitmen dana publik JETP, ada sekitar 4,5 miliar dollar AS yang proyeknya sudah ditentukan dan sekitar 7 miliar dollar AS yang belum ditentukan. Nantinya, Indonesia akan menawarkan proyek-proyek transisi energi kepada negara-negara maju dalam IPG dan akan ada diskusi. Kedua belah pihak mesti klop.
Baca juga : Menanti Inklusivitas dalam Program JETP
Charge d’Affaires Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Michael Kleine menuturkan, AS dan para anggota IPG tetap siap untuk mendukung rencana transisi energi di Indonesia. JETP Indonesia dapat membantu dunia memerangi perubahan iklim, termasuk menjaga kenaikan rata-rata suhu Bumi di bawah 1,5 derajat celsius.
”(Dokumen) Rencana (investasi) ini seimbang dan realistis. Ini akan memanfaatkan potensi energi terbarukan yang dimiliki Indonesia, sambil menyediakan kelistrikan yang andal dan terjangkau,” kata Kleine.
Transisi berkeadilan
Di sisi lain, transisi energi dalam JETP juga berkait dengan mitigasi dampak yang ditimbulkan, termasuk kelompok masyarakat terbawah. Sebab, tidak boleh ada yang tertinggal dalam transisi energi. Bahkan, ”just” berada di depan dalam JETP. Namun, transisi berkeadilan dinilai belum benar-benar diulas secara rinci.
Manajer Program Ekonomi Hijau Institute for Essential Services Reform (IESR) Wira Agung Swadana menilai, aspek berkeadilan belum terlihat tajam dan spesifik dalam CIPP JETP. Salah satu yang disorotinya ialah bagaimana diversifikasi ekonomi tercipta dalam transisi energi, bukan sekadar mengubah dari batubara ke sawit, misalnya.
Ia sebenarnya sepakat dengan diversifikasi dan transformasi ekonomi yang ada dalam CIPP JETP. ”Namun, kami harap tidak sekadar shifting (beralih) ke pekerjaan A menjadi B, misal menjadi tak bergantung pada batubara atau PLTU. Prinsip ekonomi hijau tak harus di sektor energi keseluruhan atau satu sektor saja. Harus lebih variatif. Itu yang belum terlihat,” katanya.
Wira menambahkan, JETP seharusnya menjadi salah satu cara untuk meningkatkan akses energi dengan lebih merata. Saat ini, masih banyak daerah di Indonesia yang belum terjangkau elektrifikasi. JETP mesti mengarahkan agar masyarakat tersambung listrik selama 24 jam penuh. Salah satu opsi ialah pengembangan energi terbarukan level komunitas.
Selain itu, porsi hibah dalam transisi berkeadilan juga mesti ditingkatkan. Catatan IESR, saat ini komitmen pendanaan JETP khusus untuk transisi berkeadilan ialah 353 juta dollar AS atau 1,6 persen dari total komitmen pendanaan. Namun, dari 353 juta dollar AS tersebut, 92 persen berupa concessional loan.
”Kenapa harus mayoritas concessional loan? Harusnya, dalam proyek social-economic-politic ini lebih banyak hibah. Juga, harus ada komitmen-komitmen baru, bukan komitmen-komitmen lama yang dituangkan kembali. Ini penting agar ada nilai tambah,” ujar Wira.
Penurunan emisi GRK, bagaimanapun, jadi keharusan demi menyelamatkan Bumi dari kerusakan lingkungan yang semakin menjadi. Namun, upaya implementasinya mesti terarah, terencana matang, dan inklusif. Komitmen pendanaan menjadi sekeping puzzle di tengah berbagai tantangan yang ada. Komitmen pun perlu diwujudkkan, bukan euforia semata.
Baca juga :