Perdagangan karbon biru perlu disiapkan melalui tata kelola dan mekanisme penghitungan yang efektif. Pengelolaan perlu mempertemukan perlindungan dengan kegiatan ekonomi masyarakat.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berkembangnya isu perdagangan karbon biru perlu disikapi dengan implementasi penghitungan dan potensi yang bisa diperdagangkan. Pengelolaan karbon biru di Indonesia dinilai butuh proses dan waktu.
Karbon biru adalah karbon yang tersimpan di ekosistem pesisir dan laut. Ada tiga jenis ekosistem pesisir dan laut yang memiliki karbon biru, yaitu mangrove, rawa pasang surut, dan padang lamun. Indonesia dikenal memiliki potensi besar untuk mangrove dan padang lamun.
Pengaturan nilai ekonomi karbon tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Yusuf mengemukakan, KKP memperoleh mandat mengelola karbon biru di Indonesia. Oleh karena itu, seluruh klaim karbon biru perlu dikoordinasikan dengan KKP. Potensi karbon biru di Indonesia harus diiventarisasi dan dipetakan secara spasial.
”Jual karbon bukan seperti mengambil sesuatu yang ada di alam lalu dijual, tetapi ada proses panjang dan upaya yang harus dilakukan. Karbon biru perhitungannya cukup panjang, antara lain harus ada inventarisasi gas rumah kaca, lalu mitigasi yang harus dilakukan,” ujar Yusuf dalam Seminar Nasional Karbon Biru untuk Pengendalian Perubahan Iklim, secara hibrida, Senin (27/11/2023).
Saat ini, padang lamun belum dimasukkan ke dalam komitmen nasional dalam target pengurangan emisi (NDC). KKP tengah berupaya memasukkan padang lamun sebagai karbon biru ke dalam NDC. Adapun mangrove sudah masuk dalam NDC, tetapi bukan melalui jalur karbon biru, melainkan lewat jalur pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan (FOLU).
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo, dalam keterangan pers, mengemukakan, dunia tengah menghadapi era pemanasan global (global boiling). Perubahan iklim merupakan isu yang harus menjadi perhatian dalam segala sektor, termasuk sektor kelautan dan perikanan, di mana potensi karbon biru di Indonesia dari lamun dan mangrove diperkirakan sekitar 17 persen dari karbon biru dunia.
Libatkan masyarakat
Yusuf menambahkan, pengelolaan dan perdagangan karbon biru harus melalui sejumlah tahapan, seperti inventarisasi dan verifikasi gas rumah kaca, serta langkah mitigasi perubahan iklim sesuai komitmen NDC. Penghitungan itu antara lain mengukur sejauh mana habitat padang lamun mampu menyerap atau menyimpan karbon biru. Penyusunan inventarisasi gas rumah kaca perlu didukung peta atau data spasial. Namun, peta distribusi spasial itu dinilai masih sangat minim, baik mangrove maupun padang lamun.
”Jangankan lamun, mangrove saja kita tidak punya data yang sangat akurat. Datanya (mangrove) hanya data tabular. Sementara dalam perundingan internasional diperlukan peta atau data spasial. Kita harapkan bisa menyelesaikan tugas bersama (data spasial) ini,” ujarnya.
KKP bekerja sama dengan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) sedang mengembangkan sistem ruang karbon yang mengontrol seluruh informasi dan data-data terkait karbon biru di Indonesia. Seluruh pendataan dan pemetaan terkait karbon biru akan dimasukkan ke dalam sistem ruang karbon.
”Siapa pun yang tertarik dengan karbon biru dan ingin memperdagangkan karbon biru harus mendaftarkan diri pada sistem yang dikembangkan KKP dan akan di-submit ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ujar Yusuf.
Jangankan lamun, mangrove saja kita tidak punya data yang sangat akurat. (Muhammad Yusuf)
Ketua Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tanjung Pura Arie Antasari Kushadiwijayanto mengemukakan, karbon biru merupakan ekosistem yang penting untuk penyerapan karbon berada di laut dangkal, seperti mangrove, rawa pasang surut, dan lamun. Oleh karena itu, karbon biru kerap berkelindan dengan aktivitas manusia. Dicontohkan, di Sulawesi Utara, karbon biru lamun dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata Likupang, dan karbon biru dengan pertambangan di Sangihe.
Sejumlah indikator perubahan iklim telah terlihat. Di antaranya, kenaikan muka air laut, meningkatnya suhu di beberapa daerah, meningkatnya curah hujan, wabah penyakit, kekeringan panjang, naiknya suhu air laut dan mencairnya es di kutub, dan timbulnya berbagai hama penyakit tanaman.
Heri Tabadepu, National Projcet Manager UNDP Indonesia, menambahkan, pembiayaan kegiatan karbon biru masih menghadapi sejumlah tantangan karena profil risiko tinggi dalam pengelolaan karbon biru, mangrove, dan lamun. Di antaranya, skala proyek kecil, banyak upaya diperlukan, kebutuhan dana awal untuk operasionalisasi, validasi dan verifikasi, serta jeda waktu antara dimulainya kegiatan (investasi awal) dan keuntungan saat menjual karbon kredit.
Pelaku juga rentan terhadap dampak perubahan iklim. Masyarakat pesisir berupaya menjaga perubahan iklim, tetapi mereka juga terdampak atau menjadi korban perubahan iklim. Sementara itu, terjadi kompleksitas peran antarlembaga dan pemerintah. Tata kelola lahan pesisir dan dinilai perlu melibatkan masyarakat lokal.
”(Masyarakat) mau memproteksi atau menjaga ekosistem padang lamun atau mangrove, tetapi masyarakat sekitar juga punya kegiatan ekonomi di situ. Bagaimana menemukan solusi yang memproteksi, tetapi tetap melibatkan masyarakat dan tidak menggangu mata pencarian. Solusi yang win win,” katanya.