Berisiko Terbakar, Pengangkutan Kendaraan Listrik via Laut Belum Punya Prosedur
Adopsi kendaraan listrik terus didorong pemerintah. Namun, prosedur operasi standar (SOP) pengangkutan via laut belum diatur, padahal risiko kecelakaan saat di atas kapal lebih tinggi ketimbang jenis kendaraan lainnya.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
Penjualan mobil listrik di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia atau Gaikindo, penjualan mobil listrik hingga semester I-2023 mencapai 23.154 unit.
Meski demikian, tren ini belum dibarengi regulasi yang mengatur pengangkutan kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) melalui jalur laut. Padahal, risiko yang ditimbulkan lebih tinggi ketimbang mengangkut kendaraan berbahan bakar fosil.
Dalam laporan National Fire Protection Association (NFPA), kebakaran pada mobil listrik lebih sering terjadi dibandingkan kendaraan bertenaga bahan bakar minyak (BBM). Setidaknya ada satu insiden untuk tiap 20.000 mobil listrik. Hal ini berbeda dengan mobil bertenaga gas, yakni satu insiden tiap 55.000 mobil listrik.
”Bisa kita ketahui bahwa perlu penanganan khusus terhadap mobil listrik ini,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Subkomisi Investigator Kecelakaan Pelayaran Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Anggiat PTP Pandiangan dalam diskusi Peran Asosiasi Pemilik Ferry dan Pelabuhan Indonesia (INFA) di Jakarta, Rabu (22/11/2023).
NFPA mencatat, ada sekitar 170.000 kebakaran mobil setiap tahun secara global. Sekitar 4.000 di antaranya merupakan mobil listrik.
Anggiat mengatakan, kebakaran mobil listrik berbasis baterai cenderung berkembang dengan intensitas sangat cepat. Intensitas maksimum dapat dicapai hanya dalam waktu 2-3 menit. Kebakaran yang telah terjadi akan sulit dipadamkan.
Kondisi ini perlu segera diantisipasi. KNKT mencatat, 221 kecelakaan pelayaran terjadi selama periode 2007 hingga Oktober 2023. Dari jumlah itu, 33 persen di antaranya teridentifikasi karena kebakaran. Angka itu sekaligus yang tertinggi dibanding jenis kecelakaan lain, seperti tenggelam (27 persen), tabrakan (20 persen), dan kandas (17 persen).
Jenis kapal yang banyak terbakar adalah kapal ro-ro (21 persen). Kapal ini dapat mengangkut penumpang beserta kendaraannya.
Pada saat bersamaan, PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) mulai membangun pelabuhan hijau untuk menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan. Pihaknya telah mendirikan sejumlah stasiun pengisian daya untuk kendaraan listrik di pelabuhan, seperti di Pelabuhan Merak (Banten) dan Pelabuhan Bakauheni (Lampung).
Menanggapi laporan yang diungkapkan KNKT, Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP Harry MAC mengemukakan, seluruh dunia sedang belajar dalam adopsi penggunaan kendaraan listrik. ”Dari situ, semua perlu berbenah. Dari regulasi (perlu disiapkan), mumpung (BBEV) belum masif. Pelajaran-pelajaran itu saya kira menarik untuk jadi pelajaran, untuk membenahi semuanya,” tutur Harry.
Kemenhub memang telah mengeluarkan regulasi terkait pengangkutan bahan berbahaya dan beracun (B3). Namun, belum ada peraturan khusus yang membahas soal penanganan pengangkutan BEV, termasuk apa yang harus dilakukan ketika kecelakaan terjadi di laut.
Direktur Transportasi Sungai, Danau, dan Penyeberangan Kemenhub Lilik Handoyo mengatakan sejumlah alasan yang melatarbelakangi permasalahan mendasar kecelakaan pelayaran. Permasalahan itu mencakup armada kapal tak laik berlayar, lemahnya penerapan dan pemenuhan standar keselamatan, serta minimnya pengawasan keselamatan.
Sejauh ini, regulasi-regulasi terkait BEV digolongkan pada tata cara pengangkutan B3. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 103 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Pengendalian Kendaraan yang Menggunakan Jasa Angkutan Penyeberangan.
Peraturan terkait lainnya adalah Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor 988 Tahun 2021 tentang Kapal Angkutan Penyeberangan serta Surat Dirjen Perhub Darat Nomor 307 Tahun 2023 perihal Penanganan Muatan Barang Berbahaya pada Kapal Angkutan Penyeberangan.
Regulasi untuk B3 juga belum diikuti dengan praktik dan pengawasan yang ketat. Anggiat mengungkapkan, terkadang truk dari tempat asal ke tujuan akhir masih menambah muatan-muatan lain di sepanjang jalan.
Namun, informasi tersebut tak diperbarui sesampainya di tujuan. Petugas yang mengecek pun tak melakukan verifikasi ulang untuk memastikan langsung apakah muatan sesuai dengan yang dilaporkan. Alhasil, muatan B3 dapat lolos tanpa penanganan khusus.
”Regulasi sudah ada sebenarnya. Pemilik muatan harus mendeklarasikan muatannya jika mengangkut muatan berbahaya. Tapi, di tempat kita, kejujuran dari orang-orang belum sepenuhnya (terjadi),” katanya.
Risiko tinggi dari pengangkutan BEV via laut belum diperkuat dengan regulasi detailnya, termasuk soal prosedur operasi standar (SOP). Alhasil, kebijakan ini dinantikan beragam pihak.
Sebagai operator pelayaran, Harry mengatakan, pemerintah sebagai regulator perlu mengarahkan pengelolaan dan penerapan BEV di sektor pelayaran. Namun, hingga saat ini belum ada pembahasan terkait BEV.
Ketua Umum INFA, JA Barata, berpendapat, setidaknya ada dua persoalan yang perlu diatasi. Pertama, aspek kendaraan listrik; kedua, tata cara pemeriksaan kecelakaan.
Peran tiap stakeholder (pemangku kepentingan) perlu diperjelas, siapa melakukan apa. ”Ini perlu kita bahas bersama. Enggak menunjuk siapa yang salah (saat kecelakaan terjadi), tapi butuh kejelasan, termasuk soal kendaraan listrik itu,” ujar Barata.
KNKT pelayaran mendorong pihak kapal melakukan risk assessment (penilaian risiko) gunamengatasi insiden yang timbul dari pengangkutan BEV. Berkaca dari Otoritas Keselamatan Maritim Australia atau Australian Maritime Safety Authority (AMSA), para operator kapal ro-ro yang memuat BEV berbasis baterai perlu memperhatikan beberapa hal.
Anggiat mengatakan, kehadiran kendaraan listrik di atas kapal wajib diketahui nakhoda dan awak kapal. Sistem penandaan BEV perlu teridentifikasi jelas. Pengisian daya dilarang dilakukan saat di atas kapal dengan penempatan kendaraan jauh dari ruang mesin, peralatan darurat, barang berbahaya, serta ruang penumpang.
Selain itu, lokasi penempatan BEV juga harus mempertimbangkan akses pemadam kebakaran serta pihak dermaga untuk mengevakuasi kapal ketika sandar. Perkiraan waktu tiba pemadam kebakaran dan penyelamatan harus diperhitungkan dalam membuat prosedur tanggap darurat terhadap kebakaran BEV.