JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah menetapkan kenaikan upah minimum provinsi atau UMP pada 21 November lalu. Sebanyak 30 provinsi telah menetapkan UMP 2024 dengan persentase kenaikan 1,2-7,5 persen. Dengan demikian, nilai kenaikan UMP 2024 terendah Rp 35.750 dan tertinggi Rp 223.280. Berikut tanggapan pelaku usaha dari beberapa sektor.
Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko mengatakan, kenaikan upah ini memberatkan industri sepatu dan alas kaki. Mengingat industri ini padat karya yang membutuhkan tenaga kerja yang banyak, kenaikan upah secara langsung akan menaikkan ongkos operasional.
Kondisi ini memberatkan industri sepatu dan alas kaki yang saat ini bahkan tengah berjuang sekadar untuk bertahan hidup dan tidak menutup pabrik. Pelaku industri sepatu dan alas kaki saat ini kesulitan mendapatkan omzet. Perlambatan ekonomi dunia termasuk di negara-negara mitra dagang, seperti Amerika Serikat dan Eropa, membuat kinerja ekspor industri sepatu merosot.
Sementara pasar dalam negeri pun tidak bisa diandalkan. Banjirnya produk impor baik legal maupun ilegal dengan harga lebih murah merusak pasar dalam negeri sehingga pelaku industri sepatu dalam negeri kesulitan. Harapannya, perekonomian global bisa membaik. Pasar dalam negeri juga bisa terlindungi dari produk impor ilegal yang merusak harga.
Adapun Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Nurdin Setiawan menyatakan, setiap kali ada kenaikan upah berarti ada kenaikan biaya tenaga kerja. Kenaikan upah ini tak berarti hanya kenaikan upah bulanan, tetapi juga terkait pembayaran iuran jaminan sosial untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dan Kesehatan.
Selain itu, akan ada juga penyesuaian struktur pengupahan tenaga kerja untuk yang telah bekerja satu tahun ke atas walaupun yang diatur adalah upah minimum pekerja di bawah satu tahun. Semestinya kenaikan upah ini berbanding lurus dengan kenaikan produktivitas kerja. Namun, di tengah situasi global yang belum menunjukkan perbaikan pascapandemi, hal ini jadi sulit terlaksana.
Dari sektor perbankan, Komisaris Bank Jago Anika Faisal mengatakan, kenaikan UMP tentu akan berdampak terhadap pelaku usaha/industri, tak terkecuali pelaku industri perbankan. Patut digarisbawahi, dampak kenaikan ke setiap bank tentu tidak akan sama karena kondisi setiap bank juga berbeda.
Kenaikan UMP ke biaya operasional bank masih bisa diatur. Struktur biaya terbesar bank itu justru ada pada biaya dana (cost offund) karena bank adalah industri padat modal, tidak seperti industri manufaktur lainnya yang lebih padat karya.
Di sisi lain, ia juga meyakini, kenaikan UMP juga akan berdampak kepada peningkatan daya beli sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan permintaan kredit bank. Maka, kenaikan UMP juga perlu dikaitkan dengan peningkatan produktivitas sehingga dapat menjaga daya saing industri secara keseluruhan. Jangan sampai kenaikan UMP menggerus daya saing industri nasional kita dibandingkan negara lain di kawasan.
Kenaikan UMP juga perlu dikaitkan dengan peningkatan produktivitas sehingga dapat menjaga daya saing industri secara keseluruhan. (Anika Faisal)
Adapun Felix Liyanto, Manajer Area Ayam Keprabon untuk Wilayah Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur, menyatakan, secara bisnis, paling tidak, maksimal biaya tenaga kerja jangan lebih dari 10 persen omzet (bulanan). Kalau sampai 15 persen, ya sudah ”lampu merah”. Itu hal umum.
Kalau lebih dari itu, ”lampu merah”, artinya overbudget untuk karyawan.
”Tetapi, sejauh ini, puji Tuhan, alhamdulillah, kami semua oke, tidak ada karyawan yang komplain (soal pengupahan). Kami beri mes karyawan, termasuk juga makan dan minumnya. Namun, memang ada upah minimum di wilayah lain tinggi sekali. Di lapangan ada (usaha) yang enggak menggaji sampai segitu karena pelaku bisnis kuliner pun berat cari duit. Tapi, alhamdulillah, kami baik-baik saja sesuai standar,” ujarnya.