Akankah Ekonomi Kita Sekencang Whoosh?
Whoosh mampu menembus kecepatan hingga 350 kilometer per jam sehingga waktu tempuh Jakarta-Bandung hanya membutuhkan waktu 45 menit. Lantas, apakah laju pertumbuhan ekonomi mampu secapat Whoosh?
Jarum jam menunjukkan pukul 10.20 WIB. Kala itu, Kereta Cepat Indonesia-China atau dikenal dengan Whoosh bersiap melaju dari Stasiun Halim, Jakarta, menuju Stasiun Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (23/11/2023).
Dengan kecepatan rata-rata di atas 300 kilometer (km) per jam, ular besi bermoncong lancip itu tiba di Stasiun Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, tepat 30 menit setelah keberangkatan. Beberapa penumpang yang turun pun terheran-heran. Sebab, mereka tak menyangka akan secepat itu.
Jika dibandingkan dengan moda darat lainnya, mobil misalnya, dibutuhkan waktu setidaknya sekitar 2 jam perjalanan untuk menempuh jarak 130 km itu. Namun, waktu tempuh tersebut terpangkas 1,5 jam dengan menunggang ular besi kerja hasil kerja sama Pemerintah Indonesia-China itu.
Bicara soal kecepatan, kini Indonesia tengah menghadapi tantangan berupa perlambatan ekonomi global dan ketidakpastian global. Hal ini banyak disampaikan sejumlah pihak dalam seminar-seminar bertajuk Outlook Ekonomi 2024, tak terkecuali dalam Media Gathering yang diadakan Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas) di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, 23-24 November 2024.
Salah satu hal yang dibahas dalam pertemuan itu adalah tren suku bunga acuan tinggi di beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat. Kendati tingkat inflasi di AS cenderung melemah dari 3,7 persen pada September 2023 menjadi 3,2 persen per Oktober 2023, Bank Sentral AS atau Federal Reverse (The Fed) cenderung dinilai tetap bersifat agresif (hawkish). Hingga saat ini, The Fed masih mempertahankan suku bunga acuan pada level 5,5 persen atau terpaut 0,5 lebih rendah dari suku bunga acuan Bank Indonesia.
Di sisi lain, Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global sebesar 3 persen pada 2023 dan melambat menjadi 2,9 persen pada 2024. Hal ini tak lepas dari risiko eskalasi ketegangan geopolitik yang turut melibatkan negara-negara maju.
Sebaliknya, Bank Dunia justru memproyeksikan adanya akselerasi pertumbuhan ekonomi global dari 2,1 persen pada 2023 menjadi 2,4 persen pada 2024. Akselerasi tersebut terjadi seiring dengan proyeksi normalisasi suku bunga acuan dan inflasi di tahun depan. Bahkan, ekspektasi global melihat, The Fed akan mulai menurunkan suku bunga acuannya pada Mei 2024 kendati masih terbuka peluang The Fed akan menaikkan suku bunga pada Desember 2023,
Lantas, apakah situasi global yang serba tak pasti itu berdampak bagi Indonesia? Seperti hanya penyakit batuk yang dapat menular dengan hanya berjarak kurang dari 5 meter atau melalui kontak langsung, situasi global tersebut memiliki potensi rambatan, terlebih melalui barang impor atau disebut dengan inflasi impor (imported inflation), khususnya pangan dan energi.
Selain itu, situasi global tersebut juga mengancam stabilitas nilai tukar mata uang negara berkembang lainnya. Oleh sebab itu, BI dengan sigap segera menaikkan suku bunga acuannya agar pasar keuangan Indonesia tetap menarik bagi kalangan investor asing di tengah agresivitas The Fed dan negara maju lainnya.
Siapa pun yang akan terpilih pada kontestasi politik 2024 memiliki segudang pekerjaan rumah yang sama dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
Alhasil, stabilitas nilai tukar rupiah tetap terjaga. Per 22 November 2023, rupiah menguat 1,99 persen dibandingkan dengan level akhir Oktober 2023. Kendati rupiah terdepresiasi 0,04 persen dibandingkan Desember 2022, pelemahan tersebut masih lebih baik ketimbang rupee India, baht Thailand, dan ringgit Malaysia yang masing-masing melemah sebesar 0,70 persen, 1,70 persen, dan 5,84 persen.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2023 di Tengah Kondisi Global dan Pemilu
Akselerasi
Terlepas dari hiruk-pikuk percaturan politik pemilu 2024, rangkaian tahun politik dinilai mampu menggenjot perekonomian domestik melalui konsumsi domestik. Berkaca pada pemilu 2014 dan 2019, uang yang beredar di masyarakat sebesar Rp 23 triliun-Rp 52 triliun.
Pada Pemilu 2024, alokasi anggaran pemerintah mencapai Rp 71,3 triliun yang digelontorkan secara bertahap sejak 2022. Alokasi tersebut meningkat 57,3 persen dibanding pemilu 2019 sebesar Rp 25,59 triliun dan lebih besar lagi dibanding Pemilu 2014 sebesar Rp 24,1 triliun.
Dengan peredaran uang dan peningkatan anggaran tersebut, konsumsi domestik diperkirakan dapat menjadi roda penggerak perekonomian. Walakin, kontribusi dari pagelaran percaturan politik 2024 ini hanya berdampak sementara bagi perekonomian.
Lebih dari pada itu, sosok pemimpin rezim selanjutnyalah yang akan menjadi nakhoda bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia mendatang. Siapa pun yang akan terpilih pada kontestasi politik 2024 memiliki segudang pekerjaan rumah yang sama dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
Sebagaimana diketahui, Indonesia akan mencapai bonus demografi atau proporsi penduduk usia produktif lebih besar ketimbang penduduk nonproduktif pada 2030-2040. Momentum tersebut dapat menjadi motor penggerak bagi Indonesia untuk terlepas dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap) yang juga masuk dalam rencana pembangunan jangka panjang Indonesia Emas 2045 atau 100 tahun pascakemerdekaan.
Untuk terlepas dari jebakan itu, Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi lebih dari 6 persen. Hingga kuartal III-2023, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 4,94 persen secara tahunan atau melambat dibanding kuartal sebelumnya yang sebesar 5,17 persen.
Sebagai langkah akselerasi, pertumbuhan ekonomi domestik dapat dipacu salah satunya dengan mengandalkan investasi asing (penanaman modal asing/PMA). Mengutip ekonom senior sekaligus Menteri Keuangan periode 2013-2014 Muhamad Chatib Basri, setidaknya dibutuhkan investasi senilai Rp 1.800 triliun agar pertumbuhan ekonomi dapat terakselerasi.
Angka tersebut diperoleh dengan menghitung investasi terhadap produk domestik bruto (incremental capital output ratio/ICOR). ICOR Indonesia selama 2016-2022 berada pada level 6,8 persen atau artinya setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi membutuhkan 6,8 persen investasi terhadap produk domestik bruto (PDB). Dengan demikian, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen dibutuhkan investasi 47,6 persen terhadap PDB.
Sementara itu, tabungan domestik terhadap PDB hanya sekitar 36 persen sehingga dibutuhkan 11 persen lagi untuk menutup selisih tersebut. Dengan demikian, rezim selanjutnya diharapkan mampu menciptakan stabilitas dan iklim investasi yang menarik bagi investor asing agar salah satu syarat percepatan pertumbuhan ekonomi ini tercapai.
Beberapa pihak menyebut, tanpa perlu melakukan sesuatu, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan menyentuh di kisaran 5 persen yang ditopang oleh konsumsi masyarakat. Oleh sebab itu, perlu adanya langkah konkret dari rezim selanjutnya agar pertumbuhan ekonomi dapat terakselerasi. Apalagi, perekonomian global ke depan masih dirundung ketidakpastian dengan berbagai sentimen di dalamnya.
Seperti halnya Whoosh yang dapat melaju kencang dari Jakarta menuju Bandung, pertumbuhan ekonomi dapat terakselerasi dengan mengandalkan investor asing. Namun, jangan sampai terjadi investasi asing itu tanpa disadari justru menjebak negara dalam utang. Ini layaknya orang-orang yang baru pertama kali menunggangi Whoosh, tak terasa seketika sudah sampai.
Baca juga: Tahun Politik Dorong Belanja Masyarakat