Pekan ini, nilai tukar rupiah mengalami apresiasi, imbas dari melemahnya tekanan perekonomian global. Pada tahun 2024, penyaluran kredit perbankan diperkirakan melesat setelah pemilu.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Nilai tukarrupiah pada pekan ini menunjukkan tren penguatan didukung oleh stabilitas makro ekonomi domestik dan pelemahan tekanan global. Di tengah kondisi tersebut, pertumbuhan kredit investasi perbankan diperkirakan melesat setelah transisi tahun politik 2024 dan berakhirnya era suku bunga tinggi global.
Mengutip data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah tercatat Rp 15.504 per dollar AS pada penutupan pasar, Jumat (18/11/2023). Dengan demikian, rupiah terapresiasi sebesar 0,58 persen dari penutupan pasar hari sebelumnya dan menguat sekitar 0,92 persen selama sepekan terakhir.
Direktur Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal, dihubungi Sabtu (18/11/2023), berpendapat, kondisi ini menunjukkan tekanan terhadap nilai tukar ini terus berkurang. Hal ini terjadi seiring dengan stabilitas makro ekonomi Indonesia.
"Selain karena makro ekonomi indonesia yang lebih stabil, perlambatan ekonomi global tidak setajam yang diperkirakan. Namun, perlu diingat, tren peningkatan tingkat suku bunga di Amerika Serikat masih memungkinkan terjadi ke depan," katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan, modal asing mengalir masuk ke pasar keuangan domestik (beli neto) sebesar Rp 7,33 triliun pada periode 13-16 November 2023. Transaksi tersebut terdiri atas beli neto di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 2,49 triliun, beli neto di pasar saham sebesar 0,87 triliun, serta beli neto di Sekuritas Rupiah BI (SRBI) sebesar Rp 3,97 triliun.
Di sisi lain, imbal hasil surat berharga pemerintah AS (US Treasury) tenor 10 tahun per 16 November 2023 tercatat menurun ke level 4,436 persen atau terpaut sekitar 2,24 persen dari imbal hasil SBN tenor 10 tahun yang sebesar 6,67 persen. Lebih lanjut, indeks dollar AS terhadap mata uang negara lain juga melemah ke level 104,35 basis poin.
Menurut Faisal, inflasi AS yang masih berada di atas target 2 persen, yakni di kisaran 3,7 persen tetap memungkinkan The Federal Reserve (The Fed) untuk menaikkan tingkat suku bunga acuannya (Fed Fund Rate/FFR), meski tidak seagresif sebelumnya. Hal ini membuat tekanan terhadap negara berkembang (emerging market) akibat keluarnya aliran modal asing relatif lebih rendah, sehingga depresiasi nilai tukar rupiah dapat teredam.
Kami memperkirakan pada tahun 2024, setelah ada kejelasan hasil pemilu dan transisi politik di Indonesia, seharusnya permintaan kredit perbankan untuk keperluan investasi akan lebih meningkat.
"Tekanan geopolitik juga diperkirakan berdampak kecil terhadap inflasi dibandingkan dengan tahun 2022. Artinya, kondisi global yang berpengaruh terhadap capital flow dan kebijakan moneter, ini sudah lebih ringan," lanjutnya.
Badan Pusat Statistik melaporkan, inflasi inti pada Oktober 2023 turun menjadi 0,08 persen dari bulan sebelumnya sebesar 0,12 persen. Sementara itu, tingkat inflasi atau Indeks Harga Konsumen (IHK) Oktober 2023 tercatat sebesar 2,56 persen secara tahunan atau lebih tinggi ketimbang inflasi September 2023 sebesar 2,28 persen.
Chief Economist Citibank Indonesia (Citi Indonesia) Helmi Arman, dalam pemaparan Outlook Ekonomi 2024, Senin (7/11/2023), berpendapat, selama tahun berjalan, aliran modal asing tercatat keluar dari banyak negara berkembang. Lebih lanjut, kawasan Asia menjadi kawasan yang mengalami keluarnya aliran modal asing paling tajam dibandingkan dengan kawasan lain, seperti Amerika Latin.
Keluarnya modal asing di Asia tersebut, lanjut Helmi, terjadi karena tingkat inflasi di Asia pada tahun 2022 lebih terkendali. Hal ini berakibat pada kenaikan tingkat suku bunga di Asia yang tidak setinggi kawasan lain, sehingga saat inflasi menurun, diferensial atau selisih tingkat suku bunga negara kawasan Asia dengan AS lebih rendah ketimbang kawasan lain.
Hingga September 2023, penyaluran kredit industri perbankan tercatat sebesar 6,44 persen kalender berjalan dan sebesar 8,96 persen secara tahunan. Adapun pertumbuhan tertinggi pada kredit investasi sebesar 11,19 persen secara tahunan.
Menurut Helmi, penyaluran kredit akan meningkat salah satunya ketika era suku bunga tinggi global (higher for longer) berakhir. Dia memperkirakan, The Fed akan mulai menurunkan FFR sesuai dengan ekspektasi pasar pada Semester II-2024.
"Kami memperkirakan pada tahun 2024, setelah ada kejelasan hasil pemilu dan transisi politik di Indonesia, seharusnya permintaan kredit perbankan untuk keperluan investasi akan lebih meningkat," katanya.
Hasil Survei Perbankan Triwulan III-2023 yang dilakukan oleh BI menunjukkan, penyaluran kredit baru terindikasi meningkat tercermin dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) penyaluran kredit baru sebesar 95,4 persen. Namun, responden memperkirakan pertumbuhan kredit secara keseluruhan pada tahun 2023 sebesar 10,7 persen atau tidak setinggi tahun lalu sebesar 11,4 persen.