Cuti Melahirkan dan Jam Kerja Fleksibel Paling Dibutuhkan Pekerja
ILO memperkirakan bahwa investasi pada layanan pengasuhan anak secara universal dan layanan pengasuhan jangka panjang di Indonesia dapat menciptakan 10,4 juta lapangan kerja pada 2035.
JAKARTA, KOMPAS — Cuti melahirkan, cuti menemani istri melahirkan, dan pengaturan jam kerja fleksibel merupakan program perawatan yang paling banyak dibutuhkan oleh pekerja. Ketiga program ini dianggap mampu mendukung keseimbangan bekerja dan memenuhi tanggung jawab mereka dalam keluarga.
Jika ketiga program perawatan tersebut disediakan oleh tempat kerja, dampak akan dirasakan pada produktivitas kerja pekerja itu sendiri dan perusahaan.
Laporan survei ”Persepsi terhadap Pekerjaan Perawatan, Pandangan Publik dalam Kerangka 5R” yang dilakukan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan KataData Insight Center menyatakan 42,6 persen dari 2.217 responden mengatakan cuti melahirkan adalah layanan paling dibutuhkan. Lalu, 17,9 persen responden menyebut cuti menemani istri melahirkan paling dibutuhkan. Selanjutnya, 8,5 persen responden menyebut pengaturan jam kerja fleksibel sebagai program perawatan yang paling dibutuhkan.
Dilihat dari sisi pekerja formal, program perawatan yang paling banyak dibutuhkan oleh mereka adalah cuti melahirkan, diikuti cuti menemani istri melahirkan, dan pengaturan jam kerja yang fleksibel. Adapun bagi kalangan pekerja informal, program perawatan yang paling banyak dibutuhkan adalah cuti melahirkan, cuti menemani istri melahirkan, dan pojok laktasi.
Survei itu dilakukan secara daring selama kurun 15 September - 3 November 2023. Dari 2.217 responden yang disurvei, 67,5 persen berjenis kelamin perempuan dan 67,4 persen bekerja di sektor informal. Responden tersebar di 34 provinsi. Sebagian besar responden atau 58,2 persen berusia 27–42 tahun, diikuti kelompok usia 18-26 tahun sebanyak 27,5 persen.
Sebanyak 73,7 persen dari total responden berstatus sudah menikah. Sebanyak 1.597 responden berdomisili di Jawa. Latar belakang profesi responden beragam, seperti pegawai negeri sipil, karyawan industri garmen, karyawan BUMN/BUMD, karyawan UMKM, pengojek daring, kreator konten, pekerja rumah tangga, dan buruh harian lepas.
”Ketika keseimbangan bekerja dan tanggung jawab dalam keluarga terpenuhi, karyawan bisa berkontribusi optimal terhadap pekerjaan yang pada akhirnya berdampak positif ke perusahaan dan perekonomian nasional,” ujar Koordinator Program ILO Indonesia untuk Ekonomi Perawatan Early Dewi Nuriana dalam diskusi ”Pekerjaan Perawatan, Tanggung Jawab Perempuan atau Bersama”, Rabu (15/11/2023), di Jakarta.
Menurut dia, apabila tempat kerja menyediakan program cuti melahirkan dan pekerja tetap dibayar gajinya, pekerja bersangkutan tetap bisa bekerja kembali setelah melahirkan. Artinya, tidak akan kehilangan pekerjaan yang berkontribusi ke angka pengangguran. Kondisi mental pekerja pun tetap bagus.
Baca juga: Dukung Ibu Bekerja Tetap Menyusui
Dalam survei juga ditemukan, cuti melahirkan, cuti menemani istri melahirkan, pengaturan jam kerja fleksibel, dan pojok laktasi sudah disediakan tempat kerja formal dan informal. Program perawatan lainnya yang disiapkan perusahaan pun sudah bermunculan, yaitu program istirahat menyusui, cuti merawat orangtua, layanan perawatan orangtua/orang lansia/sakit menahun, dan fasilitas pengasuhan anak. Di samping itu, akses/tunjangan pengasuhan anak, perawatan disabilitas, perawatan oleh pekerja rumah tangga, cuti ayah, dan perawatan tingkat komunitas.
Layanan perawatan tingkat komunitas menjadi program yang paling minim disediakan oleh perusahaan dan paling sulit diakses juga oleh komunitas di sekitar. Akses terhadap program layanan yang tidak disediakan oleh perusahaan relatif sama pada pekerja sektor formal dan informal.
Sebanyak 85,5 persen responden mengakui kegiatan yang bersifat perawatan memiliki nilai ekonomi untuk dirinya, industri, ataupun negara. Kegiatan yang bersifat perawatan mencakup, antara lain, memberi makan bayi, merawat anak, merawat pasangan sakit, dan perawatan tidak langsung, seperti memasak dan bersih-bersih rumah.
”Ketika tempat bekerja sudah menerapkan program cuti menemani istri melahirkan dan cuti ayah, tempat kerja itu harus dipromosikan supaya menginspirasi tempat bekerja lainnya. Begitu pula jika ada perusahaan yang mendukung karyawan mengakses/memberi tunjangan fasilitas pengasuhan anak meski tidak di dalam perusahaan, perusahaan bersangkutan harus dipopulerkan,” kata Early.
Early menambahkan, program perawatan yang sekarang sudah disediakan oleh perusahaan, komunitas, ataupun pemerintah akan mendukung terciptanya lapangan kerja baru. Pekerja di fasilitas pengasuhan anak dan orang lansia, misalnya, semestinya memiliki standar kompetensi tertentu supaya layanannya optimal.
ILO memperkirakan bahwa investasi pada layanan pengasuhan anak secara universal dan layanan pengasuhan jangka panjang di Indonesia dapat menciptakan 10,4 juta lapangan kerja pada 2035. Investasi dalam paket kebijakan pengasuhan anak secara universal dan komprehensif dapat meningkatkan tingkat lapangan kerja perempuan dari 49 persen pada 2019 menjadi 56,8 persen pada 2035 serta menurunkan kesenjangan jender dalam upah bulanan dari 20,6 persen pada 2019 menjadi 10 persen pada 2035.
Baca juga: Menjadi Tua Sebelum Kaya
Bias jender
Kendati kesadaran bahwa kegiatan perawatan memiliki nilai ekonomi, hasil survei itu masih menemukan ada konstruksi bias jender siapa yang menjalankan kegiatan perawatan. Sebanyak 68,3 persen responden laki-laki menyatakan wajar jika perempuan meninggalkan pekerjaan berbayarnya demi tanggung jawab perawatan dalam keluarga. Sebab, hal itu dianggap sebagai bagian dari kewajiban sebagai ibu atau bakti anak perempuan kepada orangtua.
Di kalangan responden perempuan, 66,2 persen menyatakan pandangan senada karena mereka merasa harus memprioritaskan kewajiban perawatan di dalam keluarga dibanding karier. Hal ini sejalan dengan 80,5 persen dari total responden yang masih percaya bahwa perempuan secara alami cocok untuk melakukan pekerjaan pengasuhan dan perawatan.
Baca juga: Partisipasi Kerja Perempuan Harus Meningkat
Ketua Komite Regulasi dan Hubungan Kelembagaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Myra Hanartani mengamati, pekerja perempuan dan laki-laki saat ini sebenarnya semakin memiliki kesadaran pentingnya berbagi peran dalam kegiatan perawatan dalam keluarga. Hanya saja, konstruksi sosial dan budaya, seperti perempuan yang semestinya punya peran besar dalam kegiatan perawatan, masih kuat.
”Pengusaha jika dimandatkan regulasi untuk menerapkan cuti maternitas, cuti merawat orangtua/lansia/sakit menahun, dan cuti ayah semestinya akan patuh. Hanya saja, regulasi di Indonesia sepertinya belum mengatur sedetail itu, seperti cuti merawat orangtua/lansia/sakit menahun. Mungkin karena belum diregulasi, ada perusahaan yang akhirnya memotong jatah cuti tahunan,” katanya.
Myra juga membenarkan bahwa nantinya perlu pengakuan terhadap pekerja-pekerja yang secara khusus bekerja di fasilitas program perawatan, seperti fasilitas pengasuhan anak (daycare). Selain itu, pekerja di sana juga perlu dibuatkan standar kompetensi dan upah.
Aktivis perempuan Melanie Subono berpendapat, ekonomi perawatan (care economy) perlu terus disosialisasikan kepada masyarakat sejak dini. Jika perlu, proses edukasi memakai bahasa yang dekat dan mudah dipahami masyarakat.
Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Lenny N Rosalin mengatakan, saat ini tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan dan laki-laki masih timpang. Tingkat ketimpangan mencapai 30 persen. Setiap tahun, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan hanya naik 1,5 persen.
Pemberi kerja semestinya melihat program perawatan, seperti cuti melahirkan, cuti ayah, dan cuti menemani istri melahirkan, sebagai investasi yang berdampak bagi perusahaan hingga perekonomian keluarga dan nasional secara jangka panjang. Penyediaan fasilitas program perawatan, seperti daycare, merupakan tugas bersama industri, pemerintah pusat, dan daerah.
Desa yang sudah mempunyai dana desa dapat ikut berpartisipasi menyediakan fasilitas daycare. Ini akan lebih aman bagi anak dan dekat dengan tempat tinggal pekerja.
”Kami sedang menyusun peta jalan dan rencana aksi nasional tentang pekerjaan perawatan. Care economy juga sudah masuk dalam G20 Bali Leaders Declaration,” kata Lenny.
Baca juga: Telusuri Arsip Perempuan, Profesor Harvard Sabet Nobel Ekonomi 2023