Ambisi Nol Karbon Besar, Produksi Energi Fosil Lebih Besar
Produksi batubara lebih banyak dibandingkan angka produksi untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
Dampak perubahan iklim di berbagai belahan dunia terlihat nyata dalam wujud gelombang panas, kekeringan, kebakaran hutan, badai, hingga banjir. Dunia tidak bisa memitigasi bencana yang diakibatkan perubahan iklim tanpa mengatasi akar penyebabnya, yakni ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
Bahan bakar fosil menghasilkan karbon dioksida dalam jumlah besar saat dibakar. Emisi ini memerangkap panas di atmosfer yang memicu suhu bumi meningkat dari waktu ke waktu. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations for Environment Program/UNEP) mencatat, hampir 90 persen karbon dioksida global berasal dari bahan bakar fosil.
Namun, komitmen dan ambisi dunia dalam mewujudkan target karbon netral bertolak belakang dengan fakta yang menunjukkan bahwa produksi batubara, minyak, dan gas di berbagai belahan dunia masih dilakukan secara masif.
Dalam laporan Kesenjangan Produksi (Production Gap) 2023 yang dirilis UNEP November ini, terungkap adanya ketidaksesuaian antara produksi batubara, minyak, dan gas di 20 negara produsen utama, termasuk Indonesia, dengan batasan produksi global yang sesuai dengan target Perjanjian Paris.
Secara global, angka produksi batubara diperkirakan lebih banyak 460 persen dibandingkan dengan angka produksi seharusnya untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius.
Kesenjangan produksi bahan bakar fosil penghasil emisi karbon per tahun 2030 diproyeksi akan 110 persen lebih banyak dibandingkan dengan yang seharusnya jika ingin membatasi kenaikan suhu di tingkat 1,5 derajat celsius, atau 69 persen lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan skenario batasan kenaikan suhu di tingkat 2 derajat celsius.
Ke-20 negara, yakni Australia, Brasil, Kanada, China, Kolombia, Jerman, India, Indonesia, Kazakhstan, Kuwait, Meksiko, Nigeria, Norwegia, Qatar, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Uni Emirat Arab, Amerika Serikat, dan Inggris, juga dinilai masih memberikan dukungan kebijakan yang signifikan untuk produksi bahan bakar fosil.
UNEP menyoroti Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki ketergantungan ekonomi sangat tinggi terhadap sumber energi fosil. Industri minyak dan gas berkontribusi hingga 12 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Di samping itu, Indonesia juga masih tercatat aktif sebagai eksportir batubara terbesar ketiga di dunia.
Jika diselisik lebih lanjut, dampak kebijakan energi dari pemerintah ke-20 negara berpotensi pada peningkatan produksi batubara global hingga 2030, dan produksi minyak bumi dan gas global hingga 2050. Secara global, angka produksi batubara diperkirakan lebih banyak 460 persen hingga 2030. Kelebihan produksi juga terjadi pada komoditas gas (82 persen) dan minyak bumi (29 persen).
Hal ini tentunya semakin memperbesar kesenjangan antara produksi bahan bakar fosil dan komitmen pencapaian karbon netral dari waktu ke waktu.
Masih adanya kesenjangan produksi energi fosil secara global menunjukkan ambisi dunia dalam mengurangi emisi karbon dioksida hingga titik netral tidak sejalan dengan komitmen antara setiap negara dalam melakukan transisi energi.
Untuk itu, Konferensi Perubahan Iklim PBB 2023, atau yang lebih populer disebut COP28, yang akan diselenggarakan 30 November-12 Desember 2023 di Dubai, harus menciptakan pemahaman dunia bahwa era energi fosil sudah mendekati akhir.
Pemahaman yang tercipta perlu ditindaklanjuti dengan kebijakan-kebijakan konsisten untuk meningkatkan bauran penggunaan energi terbarukan, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, dan meningkatkan efisiensi energi. Namun, ketiga faktor tersebut hanya bisa berjalan jika transisi energi dapat dilakukan secara adil dan merata.
Umumnya, negara-negara maju sudah menggunakan bauran energi dari energi terbarukan yang cenderung lebih besar daripada negara-negara berkembang. Penggunaan sumber energi terbarukan yang relatif besar itu sesuai dengan karakteristik negara-negara maju yang mayoritas sudah bergeser tumpuan ekonominya ke sektor jasa.
Kondisi dan struktur ekonomi membuat negara-negara maju memiliki ruang yang leluasa untuk mengembangkan sumber energi terbarukan secara masif. Selain mampu mereduksi emisi karbon secara lebih efektif, pengembangan sumber energi terbarukan itu kian memperkuat ketahanan energi di negara-negara kaya.
Karakteristik negara maju jauh berbeda dengan negara-negara berkembang yang sedang gencar membangun perekonomian dengan menciptakan sektor-sektor industri. Hal ini tentu saja membutuhkan asupan energi yang sangat besar guna menopang maksimalisasi produksi barang dan jasa.
Faktanya, penggunaan energi fosil sangat vital dalam menunjang keberhasilan pembangunan industrialisasi itu. Kebutuhan energi fosil, baik minyak bumi, gas alam, maupun batubara, di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia, masih besar untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Pada fase ini biasanya emisi karbon yang dihasilkan akan semakin besar dan kian polutif.
Bagaimanapun, dunia mesti bergotong royong dalam mengejar dan merealisasikan target energi terbarukan karena transisi energi menjadi sebuah keniscayaan yang harus dilakukan. Tidak hanya demi mereduksi emisi karbon, tetapi juga untuk melindungi negara berkembang lainnya dari tekanan global akibat fluktuasi harga energi fosil.
Pasalnya, efek buruk lain dari ketergantungan yang tinggi terhadap energi fosil juga membuat ketahanan energi dan perekonomian relatif rentan terhadap situasi energi global. Terutama bagi negara-negara yang minim sumber daya energi fosil sehingga tetap harus mengimpor energi dalam skala besar.