Di era transisi energi, pengembangan bioavtur—campuran minyak inti sawit dengan kerosin—untuk bahan bakar pesawat, dinilai relevan. Namun, aspek teknis dan bisnis juga mesti diperhatikan dengan baik.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan bioavtur yang mencampur minyak inti sawit dengan kerosin untuk bahan bakar pesawat telah diterapkan pada pesawat komersial. Selanjutnya akan ada tantangan dalam memenuhi aspek teknis dan bisnis sekaligus agar implementasi inovasi untuk penurunan emisi gas rumah kaca itu berjalan optimal.
Pemerintah bersama para pemangku kepentingan mengembangkan bahan bakar ramah lingkungan, yakni sustainable aviation fuel (SAF) atau bioavtur. Dilakukan pencampuran sebanyak 2,4 persen minyak inti sawit (palm kernel oil) dengan kerosin (co-processing), atau disebut bioavtur J2.4.
Pada Jumat (27/10/2023), Pertamina dan Garuda Indonesia melaksanakan penerbangan komersial perdana menggunakan J2.4 dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, menuju Bandara Adi Soemarmo, Surakarta, Jawa Tengah, dan kembali ke Soekarno-Hatta. Itu bagian dari upaya mendukung tercapainya emisi nol bersih (NZE) pada 2060.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, dihubungi pada Minggu (12/11/2023), mengatakan, di era transisi energi, pengembangan bioavtur memang relevan. Dengan bioavtur, bahan baku energi fosil diganti sebagian dengan bahan nabati sehingga akan lebih ramah lingkungan.
Akan tetapi, hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut ialah aspek teknis dan bisnis. Kendati telah diuji coba pada pesawat komersial, pengembangan berikutnya diharapkan terus membaik dan meningkat. Apalagi, bahan bakar merupakan elemen vital dari pesawat. Semua berharap zero accident dapat dipastikan pada moda transportasi udara.
Adapun pada aspek bisnis terkait dengan keekonomian. ”Lantaran masih baru, energi terbarukan biasanya lebih mahal. Ini dampaknya tidak sederhana, termasuk terkait margin industri penerbangan. Itu juga akan berpengaruh kepada masyarakat jika harga tiket pesawat nanti naik signifikan. Jadi, kedua aspek itu (teknis dan bisnis) mesti sama-sama dipenuhi,” ujarnya.
Pada akhirnya, ujar Komaidi, pengembangan bioavtur, jika ingin konsisten, juga perlu menjadi mandatory, sebagaimana halnya biosolar yang saat ini sudah 35 persen. Apabila tak menjadi mandatory, bahan bakar nabati (BBN), termasuk bioavtur, akan sulit berkembang. Bagaimanapun pelaku usaha pasti akan mencari segmen dengan marketshare besar.
Lantaran masih baru, energi terbarukan biasanya lebih mahal. Ini dampaknya tidak sederhana, termasuk terkait margin industri penerbangan.
”Sulit jika langsung business to business. Ada konsep ekonomi yang memang memerlukan intervensi pemerintah. Jadi, produk-produk mana saja yang, ibaratnya, pemerintah masuk atau membuka jalan dulu, baru setelahnya dilepas,” tuturnya.
Di samping itu, keberlanjutan bahan baku (feedstock) bioavtur juga mesti dipastikan karena sawit juga berkaitan dengan kebutuhan untuk produk-produk lain, seperti minyak goreng dan kebutuhan rumah tangga lain, salah satunya sabun cair. Pasokan mesti diamankan, misalnya dengan ekspansi oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) terkait produksi CPO.
Minyak jelantah
Koordinator Keteknikan dan Lingkungan Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Efendi Manurung mengatakan, dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN, sebenarnya ditargetkan 2 persen pada 2016, 3 persen pada 2020, dan 5 persen pada 2025. Namun, hal itu belum dapat terpenuhi.
Saat ini green avturdiproduksi Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB) di Refinery Unit IV Cilacap Pertamina sebesar 2,4 persen dan nantinya diharapkan meningkat seiring dengan pembangunan Kilang Hijau Cilacap fase II. Pada 2026 bioavtur direncanakan tak hanya dengan minyak inti sawit, tetapi juga minyak jelantah (used cooking oil).
”Dalam pengembangan biofuel ini kami andalkan kekuatan kolaborasi. Kami juga melakukan kesepakatan dengan Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan dalam menyiapkan peta jalan, uji coba, dan implementasi pemanfaatan bioavtur,” ujar Efendi dalam webinar pengembangan bioavtur di Indonesia, Jumat (10/11/2023).
Senior Manager Strategic Planning Petrochemical and Biofuel PT Kilang Pertamina International (KPI) Andi Prihandono mengatakan, sederet uji coba telah dilakukan dalam pengembangan J.24 sejak 2020. Itu termasuk uji coba penerbangan pertama pada pesawat CN-235 hingga pada pesawat komersial baru-baru ini.
Fungsi utama unit Treated Distillate Hydro Treating (TDHT) di Refinery Unit IV Cilacap milik Pertama, kata Andi, sebenarnya ialah untuk produksi avtur reguler. ”Namun, dalam perkembangannya, kami melakukan modifikasi dan peningkatan performa peralatan sehingga juga memproduksi J.24 dan juga hydrotreated vegetable oil (HVO) atau green diesel,” katanya.