Biaya Spektrum Frekuensi Meningkat Lima Kali Lipat sejak 2010
Total biaya penggunaan spektrum frekuensi di Indonesia naik lima kali lipat sejak 2010. Ini membuat pembangunan infrastruktur jaringan belum optimal dan merata ke semua daerah.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Total biaya penggunaan spektrum frekuensi di Indonesia, sesuai temuan riset asosiasi yang mewadahi kepentingan operator telekomunikasi seluler seluruh dunia atau GSMA, telah meningkat lebih dari lima kali lipat sejak tahun 2010. Situasi ini diyakini menjadi salah satu faktor yang memengaruhi pembangunan infrastruktur jaringan belum optimal dan merata ke semua daerah.
Temuan riset itu dimuat dalam laporan Biaya Spektrum Berkelanjutan untuk Memperkuat Ekonomi Digital Indonesia yang dirilis oleh GSMA, Kamis (9/11/2023), di Jakarta. Dalam laporan itu disebutkan, biaya penggunaan spektrum frekuensi yang dimaksud adalah biaya saat lelang dan perpanjangan perizinan pemakaian spektrum frekuensi setelah sepuluh tahun. Mekanisme biaya perpanjangan perizinan pemakaian biasanya turut mempertimbangkan inflasi dan populasi penduduk.
Saat ini, rasio biaya penggunaan spektrum frekuensi tahunan dibandingkan dengan pendapatan operator telekomunikasi seluler di Indonesia sudah mencapai 12,2 persen. Sementara rasio rata-rata di tingkat Asia Pasifik berkisar 8,7 persen dan tingkat global 7 persen.
Head of GSMA untuk Asia Pasifik Julian Gorman, dalam diskusi terbatas dengan media nasional, menyampaikan, pada saat bersamaan, operator telekomunikasi seluler di Indonesia juga harus berhadapan dengan kehadiran perusahaan aplikasi internet atau over-the-top (OTT). Sama seperti situasi masyarakat global, konsumsi OTT di kalangan masyarakat Indonesia sudah lebih besar dibandingkan dengan layanan telekomunikasi seluler sendiri. Padahal, OTT berjalan di atas infrastruktur jaringan telekomunikasi yang dibangun para operator.
Kontribusi pertumbuhan industri telekomunikasi terhadap produk domestik bruto (PDB) di beberapa negara mengecil atau relatif tetap. Dalam rantai pasok ekonomi digital secara keseluruhan, porsi industri telekomunikasi juga mengecil. Pertumbuhan industri telekomunikasi seluler di Indonesia, sejak 2010, telah turun sekitar 48 persen.
Kebutuhan pemerataan akses jaringan telekomunikasi seluler pun masih diperlukan di Indonesia, termasuk penggunaan teknologi 5G. Artinya, para operator telekomunikasi seluler tetap harus menggelontorkan investasi untuk membangun infrastruktur.
Dalam laporan Biaya Spektrum Berkelanjutan untuk Memperkuat Ekonomi Digital Indonesia, GSMA menyarankan agar Indonesia membuat penetapan harga tawar minimum yang lebih rendah untuk lelang pita spektrum frekuensi mendatang. Dengan menurunkan harga tawar minimum, Pemerintah Indonesia dapat memberikan ruang untuk penetapan harga yang baru dan mengurangi risiko spektrum frekuensi yang tidak terjual. Apabila ada biaya atau kewajiban yang harus ditanggung, biaya tersebut harus diperhitungkan ke dalam harga tawar minimum dan biaya tahunan.
Pengurangan biaya penggunaan spektrum frekuensi bisa menjadi salah satu cara operator telekomunikasi seluler menghindari total investasi yang membengkak.
Saran lainnya adalah peninjauan kembali biaya tahunan spektrum. GSMA juga merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia membuat peta jalan spektrum frekuensi apa saja yang bisa digunakan. Cara seperti ini akan memberikan kepastian yang dibutuhkan para operator seluler untuk merencanakan investasi dan mengembangkan strategi untuk perluasan jaringan mereka.
Namun, GSMA tidak bisa memberikan jaminan sepenuhnya apakah saat pemerintah memberikan insentif penggunaan spektrum frekuensi lantas operator telekomunikasi seluler segera gencar melakukan pemerataan pembangunan infrastruktur. Sebab, pemerintah tiap-tiap negara yang punya kuasa untuk mendorong dan mendesak operator menyelesaikan pembangunan sesuai komitmen pemakaian spektrum frekuensi. Hanya saja, dia berkeyakinan, pengurangan biaya penggunaan spektrum frekuensi bisa menjadi salah satu cara operator telekomunikasi seluler menghindari total investasi yang membengkak.
”Penggunaan spektrum frekuensi perlu dilihat juga sebagai salah satu alat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Ketika biaya penggunaan spektrum frekuensi turun, potensi membangun infrastruktur bertambah. Konektivitas akses telekomunikasi naik sehingga aktivitas ekonomi semakin bergeliat,” kata Julian.
Di kawasan Asia Pasifik, jumlah pelanggan layanan telekomunikasi seluler mencapai 2 miliar orang. Sekitar 41 persen di antaranya merupakan pelanggan 5G. Karena beragamnya kondisi geografis ataupun ekonomi negara-negara di Asia Pasifik, penetrasi 5G di kawasan ini relatif lebih lambat daripada di kawasan lainnya.
Cakupan 4G di Indonesia, sesuai data GSMA, telah mencapai 97 persen, penerapan jaringan 5G belum lama dimulai dan saat ini baru mencapai 15 persen dari total populasi. Ketidakseimbangan ini diduga diperparah oleh kurangnya spektrum frekuensi.
Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Djatmiko Djati, saat dihubungi terpisah, mengakui bahwa kalangan anggota ATSI juga tengah mendesak pemerintah untuk memberikan insentif penggunaan spektrum frekuensi. Sebab, regulatory charges (biaya regulasi) yang jadi beban operator dan di antaranya berasal dari penggunaan spektrum frekuensi sudah tinggi. ”Itu tidak sehat bagi industri telekomunikasi seluler,” katanya.
Beberapa usulan insentif yang diminta ATSI meliputi penentuan harga minimum untuk alokasi spektrum frekuensi baru dibuat serendah mungkin, menghapus pembayaran biaya awal pemakaian (up front fee), dan pembayaran biaya hak penggunaan (BHP) secara bertahap apabila ada penambahan ongkos frekuensi saat teknologi baru muncul.
PNBP
Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Ismail, saat dikonfirmasi mengenai perkembangan sikap industri seperti itu, mengatakan, Kominfo menghargai masukan dari industri. Masukan tersebut turut menjadi pertimbangan dalam menyusun kebijakan insentif.
”Di sisi lain, kami juga mempertimbangkan aspek target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tahunan yang telah ditetapkan bersama dengan Kementerian Keuangan dan DPR (sebelum mengeluarkan insentif spektrum frekuensi),” ujar Ismail.