Bahu-membahu Bank dan Dunia Usaha Mitigasi Perubahan Iklim
Indonesia telah menyatakan komitmen pengurangan emisi untuk memitigasi dampak perubahan iklim. Untuk mendukung sektor-sektor yang terlibat, peran industri jasa keuangan krusial dalam menyalurkan pembiayaan.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sektor perbankan dan dunia usaha mulai saling bersinergi mengimplementasikan kegiatan bisnis berkelanjutan dengan mempertimbangkan tiga aspek, yakni lingkungan, sosial, dan tata kelola atau ESG. Hal ini mendesak dilakukan agar pertumbuhan ekonomi sejalan dengan komitmen mitigasi perubahan iklim internasional yang tercetus dalam Perjanjian Paris.
Salah satu poin utama dari isi Perjanjian Paris yang diratifikasi sejak tahun 2015 adalah untuk memperlambat laju pemanasan global akibat perubahan iklim di bawah 2 derajat celsius, atau paling ideal 1,5 derajat celsius. Selain itu, dalam Perjanjian Paris, Indonesia juga berkomitmen mencapai target karbon netral atau net zero emission (NZE) pada 2060.
Berdasarkan kajian Bank Pembangunan Asia (ADB), kawasan ASEAN berada di garis depan dalam risiko iklim. Dengan menggunakan skenario suhu global rata-rata bertambah 2,3 derajat celsius pada 2050, ASEAN sebagai sebuah kawasan dapat kehilangan 37,4 persen produk domestik bruto (PDB) jika mitigasi perubahan iklim dan transisi energi tidak dilakukan.
Mendukung kajian tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN KiTA edisi Oktober 2023 mengatakan, dunia bisa kehilangan potensi ekonomi hingga 10 persen jika karbon netral atau emisi nol tidak tercapai pada 2050.
Bagi sektor keuangan, penerapan ESG, selain sebagai bagian tanggung jawab sebagai bagian dari masyarakat, adalah investasi jangka panjang dalam meraih pendapatan berkelanjutan.
Indonesia telah menyatakan komitmen pengurangan emisi untuk memitigasi dampak perubahan iklim, dengan melibatkan sektor energi, industri, transportasi, limbah, pertanian, dan kehutanan. Untuk mendukung sektor-sektor tersebut, peran industri jasa keuangan tak kalah krusial dalam menyalurkan pembiayaan.
Hal tersebut diamini oleh Presiden Direktur PT OCBC NISP Tbk Parwati Surjaudaja. Alasan perusahaan saat ini fokus pada pembiayaan berkelanjutan yang mencakup isu lingkungan (green financing) karena banyak masyarakat Indonesia menggantungkan hidup dari alam. Di sisi lain, jika lingkungan tidak terjaga, potensi terjadinya bencana ekologis akan semakin besar.
”Bagi perusahaan di sektor finansial, penerapan ESG, selain sebagai bagian tanggung jawab sebagai bagian dari masyarakat, adalah investasi jangka panjang dalam meraih pendapatan berkelanjutan,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (7/11/2023).
Parwati menyebut bahwa OCBC NISP merupakan salah satu bank pertama di Indonesia yang menyalurkan pembiayaan berwawasan lingkungan yang bekerja sama dengan International Finance Corporation (IFC) dalam bentuk green bond dan gender bond.
Green bond Bank OCBC NISP utamanya disalurkan pada pengembangan berbagai proyek hijau dan pembiayaan properti hijau, termasuk proyek energi terbarukan, konservasi keanekaragaman hayati, pengurangan emisi industri, transportasi hijau, bangunan berwawasan lingkungan, dan manajemen pengelolaan limbah.
Adapun gender bond dituangkan melalui program #TAYTB Women Warriors, sebuah solusi dan layanan keuangan untuk para pengusaha perempuan dengan menggabungkan kebutuhan individu dan bisnis.
Hingga 30 September 2023, Bank OCBC NISP juga telah menyalurkan pembiayaan berkelanjutan sebesar Rp 30 triliun, atau berkontribusi hingga 20,5 persen terhadap total kredit bank. Total pembiayaan hijau tercatat sebesar Rp 12 triliun, yang di antaranya disalurkan untuk pembiayaan energi dan energi terbarukan serta bangunan berwawasan lingkungan.
Sementara itu, Presiden Direktur HSBC Indonesia Francois de Maricour saat menyampaikan pidato pembuka dalam HSBC Summit 2023, pertengahan Oktober lalu, mengatakan, seluruh perbankan menghadapi risiko sistemik yang sama sehingga perlu melakukan transisi pembiayaan berkelanjutan.
”Negara seperti Indonesia memerlukan banyak investasi untuk mencapai tujuan iklim. Hal ini perlu dilakukan sesegera mungkin sehingga kita harus berperan aktif mewujudkannya,” ujar Francois.
HSBC Indonesia terus berpartisipasi aktif mendorong pembiayaan berkelanjutan, salah satunya menyalurkan kredit hijau berjangka sebesar 10,3 juta dollar AS dengan jangka waktu 6 tahun kepada PT Euroasiatic Heat and Power System. Pendanaan ini disalurkan untuk mendukung pembangunan pembangkit listrik turbin gas berbahan bakar gas alam.
Di sektor transportasi hijau, HSBC Indonesia juga menyalurkan pinjaman berjangka sebesar Rp 350 miliar, termasuk di dalamnya pinjaman hijau berjangka senilai Rp 50 miliar kepada PT Blue Bird Tbk, beserta anak perusahaannya untuk transisi kendaraan listrik.
Salah satu bank badan usaha milik negara (BUMN) konsisten menyalurkan pembiayaan berkelanjutan adalah PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI.
Direktur Utama BRI Sunarso mengatakan, perseroan menyalurkan kredit berbasis ESG pada dua sektor utama, yakni kegiatan usaha berwawasan lingkungan (KUBL) serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Beberapa KUBL yang telah mendapatkan guyuran pendanaan hijau dari BRI, di antaranya, adalah proyek pencegahan dan pengendalian polusi, transportasi ramah lingkungan, dan energi terbarukan.
BRI juga punya panduan portofolio pinjaman (loan portfolio guidelines/LPG) yang memasukkan aspek-aspek pertimbangan lingkungan dalam menyalurkan kredit untuk industri kelapa sawit serta industri pulp dan kertas.
Lewat panduan tersebut, BRI tidak hanya mengharuskan para debitor untuk memperhatikan aspek lingkungan, tetapi juga aspek sosial untuk menghindari atau meminimalisasi adanya tumpang tindih dengan masyarakat sekitar situs dan area konservasi.
Dalam laporan yang diterbitkan Emerging Markets Institute (EMI) bertajuk The Emerging Markets Report 2022: Reinventing Global Value Chains disebutkan bahwa prioritas terhadap ESG dapat memungkinkan sebuah negara menciptakan lingkungan bisnis yang transparan dan stabil. Lingkungan tersebut dapat meningkatkan kepercayaan investor sehingga potensi aliran masuk modal asing lebih besar.
Pembiayaan dan investasi itu tujuannya untuk manusia, tidak hanya profit. Jadi, profit itu hanya media untuk kita tetap sehat.
Sejalan dengan laporan tersebut, prinsip ESG semakin menjadi kebutuhan serta melekat dalam perencanaan jangka panjang perusahaan di Tanah Air.
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Tony Wenas mengatakan, penerapan ESG oleh perusahaannya bukan dianggap sebagai keharusan, melainkan menjadi keniscayaan dan kebutuhan. Hal itu pun sudah melekat pada perencanaan bisnis jangka panjang PT Freeport Indonesia.
Anggaran lingkungan dan sosial sudah masuk perencanaan bisnis Freeport. ”Tahun lalu (2022), biaya sosial kami Rp 2 triliun dan biaya lingkungan Rp 2,5 triliun. Ini bukan pengeluaran ekstra karena secara mendasar masuk budget dan kami akan lakukan itu sampai dengan tahun 2041, sesuai dengan perencanaan jangka panjang kami,” ujarnya.
Menurut Tony, terkait pendanaan bisnis, saat ini seluruh dunia memang sudah mensyaratkan ESG. Beberapa tahun lalu, misalnya, saat MIND.ID membeli 51 persen saham PT Freeport Indonesia dan melakukan roadshow ke luar negeri untuk menjajakan global bond senilai 4 miliar dollar AS, 80 persen pertanyaan yang diajukan investor terkait dengan ESG.
Sementara itu, Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur Edwin Syahruzad mengatakan, perusahaannya selalu memastikan proses kredit dan investasi sejak awal mengadopsi environmental and social due diligence (ESDD). Dengan demikian, aset kreditnya otomatis mematuhi prinsip-prinsip ESG.
”Pembiayaan dan investasi itu tujuannya untuk manusia, tidak hanya profit. Jadi, profit itu hanya media untuk kita tetap sehat,” ujar Edwin.
Untuk memitigasi perubahan iklim, Edwin menyampaikan, perusahaan dipastikan membutuhkan tambahan modal. Dari sisi liabilitas, yang dibutuhkan adalah satu struktur pembiayaan campuran yang dapat mengombinasikan berbagai sumber dana, termasuk filantropi, agar terjadi penurunan cost of capital.