Potensi Melimpah Panas Bumi yang Belum ”Dipanaskan”
Dalam lima tahun terakhir, penambahan kapasitas terpasang PLTP di Indonesia hanya bertambah sekitar 407 MW, yakni dari 1.948 MW pada 2018 menjadi 2.355 MW pada 2022. Padahal, ada target 7.200 MW pada 2025.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
Seiring meningkatnya tuntutan penyediaan energi bersih, kelak, Indonesia bakal membutuhkan jenis energi terbarukan yang andal atau tidak bergantung pada kondisi cuaca. Dengan potensinya yang begitu besar, panas bumi kerap kali diyakini sebagai jawaban. Namun, pengembangannya begitu lambat. Ada sederet tantangan yang perlahan mesti dicari solusinya.
Terletak di kawasan cincin api (ring of fire) atau dikelilingi gunung-gunung berapi, potensi panas bumi Indonesia begitu besar. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi panas bumi di Indonesia mencapai 24.000 megawatt (MW). Adapun kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) saat ini baru 2.373 MW.
Kendati demikian, Indonesia tetap merupakan negara dengan kapasitas terpasang PLTP terbesar di Asia dan terbesar kedua di dunia. Dari total sekitar 15.760 MW kapasitas terpasang PLTP di dunia, kontribusi Indonesia sebesar 14,5 persen, di bawah Amerika Serikat (AS) yang 23 persen. Sementara Filipina di posisi tiga dengan kontribusi 12,2 persen.
Dalam lima tahun terakhir, penambahan kapasitas terpasang PLTP di Indonesia hanya bertambah sekitar 407 MW, yakni dari 1.948 MW pada 2018 menjadi 2.355 MW pada 2022. Padahal, dalam target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kapasitas PLTP diharapkan mencapai 7.200 MW pada 2025.
Sementara itu, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), selama 2021-2030 ditargetkan ada penambahan kapasitas PLTP sebesar 3.355 MW. Dalam RUPTL itu terdapat sejumlah rencana pengembangan proyek PLTP, terutama di Sumatera, Jawa, serta beberapa di Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku.
Tambahan 407 MW pada kapasitas PLTP, dalam lima tahun terakhir, sebenarnya tak buruk, terlebih jika dibandingkan dengan beberapa jenis energi terbarukan lain. Namun, jika ditarik lebih panjang, pengembangan panas bumi terasa lambat. Sebab, Indonesia telah memiliki PLTP sejak 40 tahun lalu, yakni Kamojang di Jawa Barat, milik PT Pertamina Geothermal Energy Tbk atau PGE, yang berproduksi komersial dari 1983 hingga sekarang.
Sejumlah hambatan dalam pengembangan panas bumi di Indonesia, antara lain, tingginya biaya eksplorasi lapangan panas bumi yang juga disertai risiko dalam mencapai keberhasilan. Artinya, modal yang diperlukan di awal begitu besar. Sementara itu, penjualan listrik juga bergantung kepada PLN sebagai offtaker (pembeli) tunggal.
Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga, Sabtu (4/11/2023), mengatakan, investasi panas bumi memiliki risiko ganda, yakni saat masih di perut bumi dan saat dibawa ke permukaan. Investasi pun bersifat padat modal dengan disertai faktor risiko yang juga relatif tinggi. Sementara saat sudah berproduksi, harga jual yang sesuai harapan juga menantang.
”Selera pemerintah, juga PLN, dalam mengelola potensi-potensi panas bumi ini menjadi faktor menentukan. Dengan kondisi oversupply (listrik), tentu harga (jual) juga menjadi tidak menarik, yang akhirnya juga menjadi beban,” katanya.
Oleh karena itu, imbuh Daymas, solusi memang perlu dicari, termasuk opsi-opsi adanya perubahan secara radikal, agar pembelian energi panas bumi, atau energi terbarukan lainnya, tidak bergantung pada PLN. Misalnya, PLN hanya fokus pada transmisi, sedangkan terkait jual-beli listrik dibuka ke swasta. Namun, hal itu memang perlu dikaji matang.
Pemerintah juga dinilai jangan sampai kembali keliru dalam memproyeksikan permintaan dan penawaran (supply-demand) kelistrikan, seperti program tambahan pembangkit sebesar 35.000 MW yang dimulai pada 2015 (supply tak diikuti demand). Ketepatan proyeksi supply-demand kelistrikan akan turut memengaruhi pengembangan energi terbarukan.
Kemitraan
Kendati terdapat berbagai tantangan, peningkatan kapasitas energi panas bumi di Indonesia terus ditingkatkan sejumlah perusahaan, termasuk oleh PGE. Selain dengan terus menambah modal, sejumlah kemitraan dengan perusahaan lain juga agar pengembangan dapat berjalan optimal.
PGE menjadi perusahaan panas bumi di Indonesia pertama yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI), dengan kode saha PGEO, pada Februari 2023. Pelepasan saham itu ditujukan, antara lain, untuk pengembangan kapasitas menjadi 1.000 MW pada 2025. Saat ini, kapasitas sebesar 710 MW sudah diamankan oleh PGE.
Adapun saat ini PGE mengelola 12 wilayah kerja panas bumi (WKP) yang tersebar di 6 area serta dioperasikan sendiri. Area tersebut adalah Kamojang, Lahendong di Sulawesi Utara, Ulubelu di Lampung, Lumut Balai di Sumatera Selatan, Karaha di Jabar, dan Sibayak di Sumatera Utara. Sementara proyek pengembangan pada area Hululais di Bengkulu, Sungai Penuh di Jambi, dan Lumut Balai Unit 2.
Direktur Eksplorasi dan Pengembangan PGE Rachmat Hidajat, di Jakarta, pekan lalu, menuturkan, dalam 1-2 tahun ke depan, PGE akan fokus di daerah-daerah yang sudah ada. Menurutnya, salah satu kunci PGE dalam mencapai target-target yang telah ditetapkan ialah belanja modal (capex) yang besar.
”Kunci lainnya ialah partnership (kemitraan). Selain saling melengkapi pada capex, kami juga ingin akselerasi komersial. Kami memilih salah satunya PLN untuk bekerja sama cogeneration (peningkatan efisiensi pembangkit). PLN mendukung dari segi komersial dan PGE dari sisi teknologi,” kata Rachmat.
Salah satu proyek pengembangan terpenting PGE adalah PLTP Hululais yang sebanyak dua unit masing-masing 55 MW. Rachmat menuturkan, pengeboran sudah dilakukan dan saat ini tengah dalam tahap finalisasi. Sementara pihak PLN sedang melakukan bid document pada pembangkitnya. Nantinya, PGE menyediakan uap dan PLN mengelolanya menjadi listrik.
Tekan emisi karbon
Sementara itu, PLN pun berupaya meningkatkan pemanfaatan energi panas bumi melalui pembangunan PLTP. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, gap antara besarnya potensi dan pemanfaatan panas bumi coba terus ditekan agar menjadi potensi bisnis yang berkembang.
Hal tersebut juga bagian dari upaya mendukung program transisi energi melalui penurunan emisi karbon. ”Kami berkomitmen menyediakan listrik yang tak hanya bermanfaat bagi masyarakat, tetapi juga berbasis energi bersih,” kata Darmawan melalui siaran pers, Kamis (21/9/2023).
Sebelumnya, Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Harris Yahya menuturkan, pemerintah memiliki program dalam hal pengurangan risiko proyek pengembangan energi panas bumi, khususnya pada tahapan eksplorasi. (Kompas.id, 11/5/2023)
Pihaknya tengah menyusun revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2018 tentang Penawaran Wilayah Kerja Panas Bumi, Pemberian Izin Panas Bumi, dan Penugasan Pengusahaan Panas Bumi. Salah satunya mengenai besaran jaminan lelang yang akan dikurangi.
Dalam peraturan itu disebutkan jaminan lelang sebesar Rp 2 miliar untuk pelelangan dengan cadangan terduga atau cadangan terbukti lebih besar dari atau sama dengan 100 MW. Kemudian, Rp 1 miliar untuk pelelangan dengan cadangan terduga atau cadangan terbukti lebih kecil dari 100 MW.
”Itu akan diubah, mungkin hanya 5.000 dollar AS (setara Rp 73,6 juta dengan kurs Rp 14.717 per dollar AS). Itu sudah sangat rendah untuk jaminan. Nanti, bagi (peserta) yang gugur akan langsung dikembalikan. Yang menang, agar selesaikan dulu komitmen eksplorasinya untuk disimpan di rekening bersama. Misal, 10 juta dollar AS. Baru jaminan lelangnya dicairkan,” katanya.