Kerugian Ekonomi akibat Kerusakan Lingkungan Hambat Indonesia Maju
Jika masalah ketahanan air ini tidak ditanggulangi dengan tepat, diperkirakan akan terjadi penurunan PDB sebesar 7,3 persen pada 2045. Padahal, saat itu Indonesia bercita-cita menjadi negara maju.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerusakan lingkungan dan dampak perubahan iklim berpotensi menciptakan kerugian ekonomi yang besar sehingga bisa menghambat cita-cita Indonesia menjadi negara maju. Hal itu mesti direspons pasangan calon presiden dan wakil presiden di pemilu 2024 dengan menciptakan program kerja yang bisa menciptakan kegiatan ekonomi berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi ”Pandangan Pasangan Capres/Cawapres dalam Isu Lingkungan dan Perubahan Iklim di Pemilu 2024”, Gedung CSIS, Jakarta, Kamis (2/11/2023). Hadir sebagai pembicara Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri, Surya Tjandra mewakili pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Guswandi mewakili Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Dahnil Anzar Simanjuntak mewakili Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Guru Besar Hidrogeologi Universitas Gadjah Mada Heru Hendrayana, dan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mochammad Afifuddin.
Yose mengatakan, isu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan sangat erat kaitannya dengan perekonomian. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang diolah CSIS, dampak kerugian bencana alam di Indonesia rata-rata mencapai Rp 1,06 triliun per tahun. Total biaya mitigasi perubahan iklim mencapai Rp 4 triliun per tahun. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia pun berpotensi merosot 19 persen ketika suhu bumi naik hingga 4 derajat celsius.
”Ini baru kerugian langsung secara ekonomi. Masih ada banyak dampak lainnya seperti masalah sosial, hukum, dan lainnya yang ujung-ujungnya bisa mengganggu aktivitas ekonomi dan cita-cita Indonesia hendak menjadi negara maju,” ujar Yose.
Ia menambahkan, saat ini 25 persen dari perekonomian Indonesia mempunyai intensitas jejak karbon yang tinggi, yakni pertambangan 14,07 persen, pertanian 9,22 persen, perikanan 2,58 persen, dan kehutanan 0,6 persen. Lebih dari 50 persen ekspor utama Indonesia berbasis sumber daya alam.
Padahal, sektor-sektor itu jadi penyumbangan lapangan pekerjaan yang luas bagi masyarakat dan jadi motor pertumbuhan ekonomi. Artinya, perlu adanya kebijakan yang mendorong transformasi aktivitas ekonomi supaya lebih berwawasan lingkungan.
Yose merekomendasikan agar pemerintah berikutnya bisa mendesain insentif fiskal dan nonfiskal untuk mendorong perubahan ekonomi yang berkelanjutan. Insentif fiskal misalnya memberikan keringan pajak yang lebih luas bagi dunia usaha yang berhasil menekan emisi dan menjalankan praktik berwawasan lingkungan. Adapun insentif nonfiskal seperti berbagai fasilitas prioritas untuk mendorong aktivitas ekonomi hijau.
Saat ini 25 persen dari perekonomian Indonesia mempunyai intensitas jejak karbon yang tinggi, yakni pertambangan 14,07 persen, pertanian 9,22 persen, perikanan 2,58 persen, dan kehutanan 0,6 persen. (Yose Rizal Damuri)
Guru Besar Hidrogeologi UGM Heru Hendrayana mengatakan, Indonesia juga masih mencatat ketahanan sumber daya air yang rendah sehingga berpotensi mengganggu pencapaian kesehatan, kesejahteraan, dan keamanan masyarakat. Mengutip data Bappenas dan Bank Dunia, jika masalah ketahanan air ini tidak ditanggulangi dengan tepat, diperkirakan akan terjadi penurunan PDB sebesar 7,3 persen pada 2045. Gangguan ketahanan air bisa menciptakan gejolak sosial dan mengganggu aktivitas ekonomi yang pada ujungnya terjadi kemerosotan perekonomian.
”Padahal, saat itu kita bermimpi mencapai Indonesia negara maju, periode Indonesia emas di usia yang ke-100 tahun. Tapi bisa tidak tercapai kalau tidak serius menciptakan ketahanan keberlangsungan lingkungan. Artinya, ini persoalan kritis dan perlu segera mulai ditangani,” ujar Heru.
Baik Yose maupun Heru sama-sama sepakat bahwa persoalan kerusakan lingkungan dan mitigasi perubahan iklim ini perlu jadi perhatian calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2024. Selama ini, isu lingkungan kurang mendapat perhatian di panggung politik lantaran tidak mendongkrak elektabilitas. Para capres-cawapres harus merespons isu lingkungan ini dengan mengeluarkan program kerja untuk mendorong transisi ekonomi yang lebih rendah emisi, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan.
Program kerja
Perwakilan tim pemenangan tiga pasangan capres-cawapres merespons tantangan isu kerusakan lingkungan dan perubahan iklim.
Surya menjelaskan, selama ini pemerintah terlihat belum sinergis antara satu kementerian dan lembaga lainnya untuk serius memperbaiki kerusakan lingkungan dan memitigasi perubahan iklim. Tiap kementerian dan lembaga punya berbagai aturan dan program kerja soal pelestarian lingkungan dan ekonomi hijau, tetapi tidak sinergis berjalan beriringan.
Guswandi mengatakan, untuk mengantisipasi perubahan iklim pihak, pihaknya mendorong penggunaan energi baru terbarukan (EBT). Indonesia sangat kaya dengan potensi EBT mulai dari panas bumi, air, angin, dan lainnya. Pihaknya berencana mempercepat penggunaan EBT dengan menyederhanakan proses perizinan sehingga mendorong investasi EBT lebih besar lagi.
Adapun Dahnil mengatakan, pihaknya akan melanjutkan upaya Indonesia menurunkan emisi gas mencapai nol persen atau net zero emission pada 2050 sesuai dengan National Determination Contribution (NDC). Menurut pihak Prabowo-Gibran, menjalankan aktivitas ekonomi berwawasan lingkungan itu sejalan konsep ekonomi Pancasila. Pihaknya akan mendorong transisi aktivitas ekonomi mematuhi konsep environtmental, social, and governance (ESG).