Masyarakat Sri Lanka, Thailand, Vietnam, dan negara-negara lain di Asia menjadi tua sebelum menjadi kaya. Tanpa jaminan pensiun memadai, pekerja di Indonesia pun berpotensi seperti itu.
Oleh
MEDIANA
·6 menit baca
Tulisan The Economist bertajuk ”Poor Asian Countries Face An Ageing Crisis”, 12 Oktober 2023, menyebutkan, masyarakat Sri Lanka, Thailand, Vietnam dan negara-negara lain di Asia menjadi tua sebelum menjadi kaya. Untuk mencoba memahami potensi buruknya masalah ini, The Economist memberikan ilustrasi perbandingan transformasi yang terjadi di Thailand dengan negara- negara lain yang terkenal dengan populasinya yang mulai menua.
Antara tahun 2002 dan 2021, jumlah penduduk Thailand berusia 65 tahun ke atas meningkat dari 7 persen menjadi 14 persen. Transisi yang sama memakan waktu 24 tahun bagi Jepang, Amerika 72 tahun, dan Perancis 115 tahun. Tidak seperti negara-negara tersebut, Thailand menjadi tua sebelum menjadi kaya.Produk domestik bruto per orang Thailand pada tahun 2021 adalah 7.000 dollar AS. Ketika populasi Jepang memiliki usia yang sama, pada tahun 1994, tingkat pendapatan dalam dollar AS konstan hampir lima kali lebih tinggi.
Permasalahan yang terjadi di Thailand itu menggarisbawahi tren regional yang memiliki signifikansi ekonomi dan sosial yang sangat besar. Kekayaan orang Vietnam sekitar setengah kekayaan orang Thailand. Masyarakat mereka mungkin hanya membutuhkan waktu sekitar 17 tahun untuk berubah dari ”menua” menjadi ”tua”.
Di negara-negara yang penuaannya memakan waktu lebih lama, seperti Indonesia (26 tahun) dan Filipina (37 tahun), tingkat pendapatannya bakal jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara lain.
Asia Tenggara sebagai suatu kawasan akan ”menua” pada 2042. Adapun Asia Selatan akan bertahan selama hampir satu dekade lagi, tetapi dengan kesenjangan regional yang besar.
Kecepatan transisi demografi Asia merupakan hasil dari perkembangan masyarakatnya. Industrialisasi dan perubahan norma-norma sosial telah menurunkan tingkat kesuburan meskipun teknologi dan layanan kesehatan yang lebih baik telah memperpanjang umur masyarakat.
Namun dibandingkan dengan negara-negara macan di Asia Timur, yang mengalami perubahan ini pada abad ke-20, sebagian besar negara-negara berkembang di Asia mengalami hal yang sama dengan pertumbuhan yang lebih lambat. Economic Advisor di Bank Pembangunan Asia (ADB) Donghyun Park mengatakan, negara-negara yang menua sebelum menjadi kaya merupakan ancaman terhadap kebangkitan Asia.
Negara-negara yang menua sebelum menjadi kaya merupakan ancaman terhadap kebangkitan Asia.
Hambatan terbesar dari fenomena itu terletak pada pasar tenaga kerja. Seiring bertambahnya usia suatu negara, jumlah angkatan kerja pun menyusut. Ada juga biaya sosial, seperti biaya untuk para pensiunan yang jatuh ke dalam kemiskinan. Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) di Asia Selatan dan Tenggara, kurang dari 40 persen populasi lansia mendapat pensiun.
Di Indonesia, jika membaca laporan ”Statistik Penduduk Lanjut Usia 2022” yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Desember 2022, dalam kurun waktu 2010–2021, persentase penduduk lansia telah meningkat 3 persen menjadi 10,82 persen. Umur harapan hidup di Indonesia juga naik dari 69,81 tahun pada 2010 menjadi 71,57 tahun pada 2021.
Merujuk data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, jumlah tenaga kerja yang menjadi peserta aktif baru mencapai 38,8 juta orang. Padahal, jumlah angkatan kerja sudah di atas 146 juta orang. Dari jumlah pekerja yang tercatat sebagai peserta aktif itu, peserta yang terdaftar mengikuti program jaminan hari tua (JHT) yaitu sekitar 17 juta orang dan program jaminan pensiun (JP) sekitar 14 juta orang. Pada saat bersamaan, sampai saat ini yang tercatat sebagai peserta program dana pensiun baik di Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) maupun Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) hanya sekitar 4 juta orang.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, Rabu (1/11/2023), berpendapat, pemerintah perlu memperhatikan kondisi industri per sektor. Saat ini, masih ada sejumlah industri memberikan upah minimum kepada pekerja meskipun pekerja bersangkutan sudah bekerja di atas satu tahun. Pemerintah juga semestinya sudah memikirkan solusi meningkatkan daya saing industri.
”Kenaikan upah minimum per tahun saja semakin tidak bisa mencapai di atas 5 persen dengan berbagai faktor penyebab, seperti pengaruh ketidakpastian ekonomi global. Pemerintah semestinya, daripada fokus kepada nominal gaji, perhatiannya dipusatkan pada upaya meningkatkan kepesertaan JHT, JP beserta persentase iurannya,” paparnya.
Sebelumnya, pada pertengahan Oktober 2023, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sempat mengeluarkan pernyataan yang akhirnya viral di media sosial. Pernyataannya, gaji pekerja minimal yang harus diperoleh agar Indonesia jadi negara maju 2045 adalah Rp 10 juta per bulan per orang. Akun media alternatif, Folkative, dibanjiri ratusan komentar pesimistis warganet. Komentar yang beredar, mulai dari mempertanyakan perusahaan mana yang sanggup membayar gaji sebesar itu sampai keluhan kenaikan biaya hidup tidak sejalan upah minimum. Alih-alih memikirkan pensiun dengan tenang, mampu bertahan hidup saat ini sudah baik.
Alih-alih memikirkan pensiun dengan tenang, mampu bertahan hidup saat ini sudah baik.
Sebenarnya, lanjut Timboel, mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2015 tentang JP, persentase iuran JP yang diambil upah harus naik sampai 8 persen. Lalu, mengacu PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang JHT, persentase iuran JHT harus naik setelah 2 tahun JHT diberlakukan. Akan tetapi, sampai sekarang, iuran kedua jenis jaminan sosial itu tidak mengalami perubahan alias masing-masing berkisar 3 persen dan 5,7 persen.
”Bisa saja, upah minimum cenderung tidak naik signifikan, tetapi persentase iuran JP dan JHT naik. Selain itu, cakupan kepesertaan sampai kepada pekerja bukan penerima upah atau informal terus diperluas,” ucap Timboel.
Staf Ahli Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Bambang Sri Mulyadi memandang, rendahnya peserta program dana pensiun disebabkan oleh pemberi kerja tidak membentuk lagi DPPK setelah ada BPJS Ketenagakerjaan yang mewajibkan karyawannya ikut BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Ada pula para pemberi kerja yang telah mendirikan DPPK mengalami kesulitan keuangan sehingga bubar.
Ditambah lagi, di masyarakat masih mengakar budaya yang muda akan membantu yang tua. Tingkat literasi masyarakat tentang manfaat memiliki dana pensiun belum tinggi.
Social Protection Programme Manager International Labour Organization (ILO) Indonesia dan Timor Leste, Ippei Tsuruga, mengatakan, Indonesia tidak memiliki program Jaminan Pensiun Nasional yang wajib diikuti oleh seluruh penduduk Indonesia tanpa kecuali. Sejauh ini, keikutsertaan dalam JP bersifat wajib bagi perusahaan besar dan menengah. Sebagian besar pekerja penerima upah di perusahaan mikro tidak tercakup dalam skema pensiun. Pekerja bukan penerima upah tidak diperkenankan mengikuti JP. Begitu pula, 30 juta ibu rumah tangga di Indonesia tidak diperbolehkan menjadi peserta JP ataupun JHT.
Menurut dia, Indonesia perlu segera membentuk program Jaminan Pensiun Nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang inklusif dan berkelanjutan. Sebab, program seperti itu akan menjamin seluruh penduduk lansia punya pendapatan uang pensiun reguler untuk menjaga mereka hidup dalam standar kehidupan layak. Jika tidak ada program seperti itu, penduduk muda yang masih bekerja akan menanggung beban yang lebih berat untuk menanggung penduduk lansia.
Ippei lantas memberikan ilustrasi perhitungan. Saat ini, populasi usia kerja (15-59 tahun) tidak akan tumbuh banyak dari 173 juta pada tahun 2020 menjadi 194 juta pada tahun 2050, tetapi populasi lansia (60 tahun ke atas) akan meningkat pesat sebesar 27 juta pada tahun 2020 menjadi 69 juta pada tahun 2050. Di tingkat rumah tangga, jumlah anak-anak akan lebih sedikit, dan jumlah orang lanjut usia akan lebih banyak. Di tingkat nasional, penduduk usia kerja mungkin harus membayar lebih banyak pajak atau iuran untuk mendukung warga lanjut usia.
Saat peluncuran White Paper bertajuk ”Dari LPEM bagi Indonesia: Agenda Ekonomi dan Masyarakat 2024-2029”, Jumat (27/10/2023), di Jakarta Pusat, Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Chaikal Nuryakin berpendapat, agar bisa merealisasikan mimpi Indonesia Emas 2045 atau Indonesia menjadi negara maju, kelas menengah yang harus disiapkan adalah kelas menengah yang kuat, inovatif, dan produktif. Selain jaminan sosial, pemerintah perlu meningkatkan kesetaraan kesempatan dan akses pendidikan maupun kesehatan yang berkualitas, pekerjaan sektor formal dan infrastruktur dasar.