Kebijakan dan ”Keberuntungan” Dukung Resiliensi Jasa Keuangan
Resiliensi sektor jasa keuangan tak lepas dari faktor ”keberuntungan” di tengah ketidakpastian global. Ini tecermin dari sektor keuangan dan perdagangan domestik yang tidak terlalu berhubungan langsung dengan global.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah gempuran ketidakpastian global, sektor jasa keuangan Indonesia dinilai memiliki resiliensi yang utamanya didukung oleh arah kebijakan pemerintah dan faktor ”keberuntungan”. Sebagai langkah antisipasi, Otoritas Jasa Keuangan akan tetap mencermati risiko pasar dan melakukan uji ketahanan sektor jasa keuangan terhadap kemungkinan skenario ekonomi terburuk.
Ketidakpastian global yang sedang terjadi belakangan ini disebabkan oleh meningkatnya ekspektasi pasar terhadap suku bunga tinggi AS dalam jangka waktu yang lama (higher for longer). Di sisi lain, kinerja ekonomi Eropa yang diprediksi mengalami stagflasi dan pemulihan ekonomi China yang belum sesuai ekspektasi kian menambah kekhawatiran terhadap pemulihan ekonomi global. Selain itu, meningkatnya tensi geopolitik global seiring dengan konflik Israel dan Hamas turut berpotensi mengganggu perekonomian dunia jika terjadi eskalasi di Timur Tengah.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky menjelaskan, ketidakpastian global mengakibatkan pasar keuangan tertekan. Kendati demikian, dampak tersebut tidak begitu dirasakan sektor jasa keuangan Indonesia.
”Resiliensi pasar ini didorong oleh kemampuan sektor jasa keuangan yang mampu menyalurkan kredit dengan cukup baik. Di sisi lain, transmisi dari dampak volatitilas pasar keuangan global ke pasar keuangan domestik juga masih terbatas,” kata Riefky saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (31/10/2023).
Menurut Riefky, terdapat dua faktor utama yang membuat sektor jasa keuangan Indonesia memiliki daya tahan, yakni good policy dan good luck. Faktor good policy ini tecermin dari kebijakan pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat, menjaga resiliensi, dan pemulihan dari tekanan global.
Sementara itu, faktor ”keberuntungan” tercermin dari sektor keuangan dan perdagangan domestik yang tidak terlalu bergantung atau memiliki hubungan langsung dengan global. Dengan demikian, sektor jasa keuangan tidak terlalu terdampak tekanan yang terjadi di pasar global.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menilai, sektor jasa keuangan Indonesia terjaga stabil di tengah era suku bunga tinggi dalam jangka waktu yang lama (higher for longer) dan peningkatan tensi geopolitik. Stabilitas tersebut utamanya didukung oleh permodalan yang kuat, likuiditas yang memadai, dan profil risiko yang terjaga.
Stabilitas itu penting bagi pertumbuhan dan pengembangan ekonomi. (Mahendra Siregar)
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan, aspek-aspek itu menunjukkan sektor jasa keuangan mampu memitigasi risiko dampak ketidakpastian global. Selain itu, stabilitas juga menjadi prasyarat dalam proses pembenahan sistem dan industri sektor jasa keuangan.
”Stabilitas itu penting bagi pertumbuhan dan pengembangan ekonomi. Lebih lanjut, stabilitas juga menjadi indikator dari pembenahan, koreksi, konsolidasi, serta penguatan sektor jasa keuangan kita yang masih banyak dan potensi yang harus dimanfaatkan dapat berjalan dengan optimal,” ujarnya dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK, Senin (30/10/2023).
Beberapa indikasi adanya resiliensi sektor jasa keuangan tersebut, salah satunya ditunjukkan oleh industri perbankan. OJK menyebut, industri perbankan Indonesia tetap solid dan resilien ditopang oleh tingkat permodalan (car adequacy ratio/CAR) yang tinggi sebesar 27,41 persen atau jauh di atas CAR negara lain yang berada di bawah 20 persen.
Di sisi lain, pasar saham Indonesia juga mencatatkan penghimpunan dana yang masih tinggi, yakni Rp 204,14 triliun dengan emiten baru yang tercatat sebanyak 68 emiten per 27 Oktober 2023. Kendati demikian, pasar saham Indonesia tercatat melemah 2,61 persen secara bulanan ke level 6.758,79 diiringi dengan keluarnya arus modal asing sebesar Rp 6,37 triliun secara bulanan.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara menambahkan, OJK mengambil sejumlah kebijakan guna mewaspadai kondisi ketidakpastian global dan menjaga stabilitas sektor jasa keuangan tetap terjaga. Selain itu, OJK turut mencermati risiko pasar sekaligus senantiasa menjaga kecukupan modal dengan mengantisipasi potensi kerentanan yang mungkin terjadi serta memastikan ketersediaan likuiditas yang memadai.
”OJK dan LJK (lembaga jasa keuangan) secara berkala melakukan stress test untuk mengetahui tingkat ketahanan permodalan ataupun ketahanan likuiditas. Pelaksanaan stress test didasarkan pada berbagai faktor risiko baik dari sisi risiko ekonomi makro (systematic risks) maupun dari sisi permasalahan individu yang dihadapi LJK (idiosyncratic risk), antara lain seperti faktor pelemahan rupiah, perubahan harga komoditas, tingkat inflasi, suku bunga, serta perubahan yield,” katanya.