Menakar Pahit-Manis Jamu Moneter ala BI
Tekanan nilai tukar yang terjadi akibat rambatan "wabah" membuat BI meramu jamu-jamu moneter dengan dosis tertentu.
Sebagai ramuan khas kearifan lokal, jamu diyakini oleh sebagian besar masyarakat berkhasiat, baik untuk menyembuhkan suatu penyakit maupun meningkatkan daya tahan tubuh. Cara kerja jamu tersebut kemudian dianalogikan oleh Bank Indonesia (BI) dalam menetapkan bauran kebijakan moneter tatkala perekonomian global diselimuti ketidakpastian.
Layaknya penyakit, dunia dewasa ini didiagnosis mengalami pelemahan ekonomi imbas dari iklim ketidakpastian global. Beberapa simtom atas penyakit tersebut, antara lain, tampak dari eskalasi tensi ketegangan geopolitik dan kebijakan negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), yang mempertahankan suku bunga tinggi dalam jangka waktu yang lama (higher for longer).
Gejala lainnya yang menunjukkan kondisi ekonomi global sedang tidak baik-baik saja juga tampak dari proyeksi pertumbuhan ekonomi yang melambat dari 2,9 persen pada 2023 menjadi 2,8 persen tahun 2024. Kondisi ini kian diperparah dengan potensi inflasi harga energi dan harga pangan akibat eskalasi konflik geopolitik global.
Kendati pertumbuhan ekonomi nasional selama dua kuartal pada tahun 2023 ini tercatat bertumbuh dengan torehan di atas 5 persen dan inflasi domestik masih dalam kisaran target BI, stabilitas nilai tukar rupiah terguncang. Selama kalender berjalan, nilai tukar rupiah terdepresiasi mendekati level Rp 16.000 per dollar AS atau melemah sekitar 2,2 persen terhitung dari penutupan pasar akhir tahun 2022.
Dari gejala-gejala pelemahan ekonomi global dan kondisi rupiah tersebut, BI pun meramu ”jamu” yang disinyalir mujarab bagi stabilitas dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berbagai ramuan dalam bentuk bauran kebijakan pun dipersiapkan untuk memperkuat daya tahan perekonomian domestik di tengah serangan wabah ketidakpastian global.
”Bank Indonesia punya jamu, ada jamu pahit, ada jamu manis. Moneternya tetap pro-stabilitas. Makroprudensial, sistem pembayaran, dan pendalaman pasar untuk pro-growth. Itu kemudian kami perkuat bauran kebijakannya,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI 18-19 Oktober, di Jakarta, Kamis (19/10/2023).
Bak seorang tabib, BI telah mengukur dosis dari berbagai kebijakan tersebut. Jamu pahit, misalnya, secara khusus diberikan untuk mendorong stabilitas. Jamu ini diracik dengan tiga ramuan, yakni intervensi pasar dan pendalaman pasar keuangan serta penentuan tingkat suku bunga acuan.
Upaya pendalaman pasar keuangan tersebut salah satunya dengan menerbitkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Dalam hal ini, BI berperan layaknya sekuritas yang menerbitkan surat berharga dalam bentuk rupiah dengan menggunakan underlying surat berharga negara (SBN) milik BI.
Hingga 17 Oktober 2023, lelang SRBI telah dilakukan sembilan kali dengan outstanding mencapai Rp 113,70 triliun. Hal ini diikuti dengan pendalaman pasar sekunder yang mencatatkan masuknya aliran investasi portofolio asing sebesar Rp 9,81 triliun.
Suku bunga ini adalah untuk forward looking dan preemptive supaya ke depannya inflasi kita tetap rendah dan stabilitas harga tetap terjaga.
Dirasa tidak cukup untuk menanggulangi wabah ketidakpastian global, BI berencana akan melanjutkan sekuritisasi dengan menggunakan underlying aset berupa surat berharga dalam valuta asing (valas) milik BI pada pertengahan November 2023. Sekuritisasi ini mencakup Sekuritas Valas BI (SVBI) untuk konvensional dan Sukuk Valas BI (Sukbi) yang berbasis syariah.
”Itulah instrumen untuk pendalaman pasar valas. BI punya aset valas dalam bentuk cadangan devisa, lalu digunakan sebagai underlying. Kita terbitkan sekuritas SVBI dengan tenor 1, 3, 6, 9, dan 12 bulan serta 1, 3, 6 untuk Sukbi,” tutur Perry.
Seluruh instrumen itu diberikan untuk mendukung penguatan pasar keuangan (pro-market). Pendalaman pasar melalui transaksi di pasar sekunder dan penyesuaian suku bunga dengan mekanisme pasar diharapkan mampu menjadi magnet bagi portofolio modal asing masuk sebagaimana termaktub dalam teori kebijakan moneter ekonomi terbuka (open economy monetary policy).
Satu lagi racikan jamu pahit yang diberikan BI untuk menjaga stabilitas ialah penetapan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR). Hasil RDG BI Oktober 2023 memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan, suku bunga deposit facility, dan suku bunga lending facility sebesar 25 basis poin (bps) sehingga masing-masing menjadi 6 persen, 5,25 persen, serta 6,75 persen.
Keputusan tersebut diambil sebagai langkah penangkalan (preemptive) dan prediksi di masa mendatang (forward looking) atas risiko terjadinya inflasi impor akibat meningkatnya ketidakpastian global. Pada akhirnya ramuan intervensi pasar, pendalaman pasar, dan penetapan suku bunga ini dikatakan pahit karena mengedepankan stabilitas ketimbang pertumbuhan ekonomi.
”Jadi, yang pro-stabilitas dari instrumen moneter, kita gunakan tiga resep utama, intervensi terus digunakan, pendalaman pasar kita percepat, dan juga suku bunga. Suku bunga ini adalah untuk forward looking dan preemptive supaya ke depannya inflasi kita tetap rendah dan stabilitas harga tetap terjaga,” ucap Perry.
Pemberian jamu pahit moneter tersebut bukan berarti tanpa penangkal. Pahitnya jamu yang diberikan untuk menjaga stabilitas moneter mensyaratkan ramuan lainnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (pro-growth) atau dalam istilah BI disebut sebagai jamu manis.
Jamu manis tersebut diracik sedemikian rupa, antara lain dengan instrumen makroprudensial, digitalisasi sistem pembayaran, serta ekonomi-keuangan inklusif dan hijau untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional. Kebijakan yang mendorong pemulihan ekonomi tersebut salah satunya dilakukan BI dengan memberikan kelonggaran likuiditas perbankan guna menggenjot penyaluran kredit dan pembiayaan bagi pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang efektif mulai berlaku per 1 Oktober 2023, misalnya, telah memberikan tambahan likuiditas bagi 120 bank sebesar Rp 28,79 triliun, dari Rp 108,15 triliun menjadi sebesar Rp 136,94 triliun. Tambahan likuiditas tersebut diperkirakan akan semakin meningkat ke depan, sejalan dengan peningkatan pertumbuhan kredit pada sektor-sektor prioritas yang menjadi fokus kebijakan.
Baca juga: Suku Bunga Naik, Industri Manufaktur Waswas
Pada dasarnya, pilihan jamu moneter untuk pro-stability dan pro-growth dapat dianalogikan layaknya orang berkendara sepeda motor. Kebijakan moneter pro-stability tersebut layaknya berkendara dalam kemacetan yang mengharuskan si pengendara mengerem dan memperoleh keseimbangan. Di sisi lain, kebijakan moneter pro-growth layaknya melenggang di jalan sepi yang membuat si pengendara bebas menarik gas.
Kemacetan tersebut bisa diandaikan sebagai kondisi perekonomian global yang diselimuti ketidakpastian sehingga menjaga stabilitas moneter menjadi aspek terpenting. Sebaliknya, perekonomian global yang stabil mengisyaratkan penarikan gas bagi laju pertumbuhan ekonomi.
”Secara historis, BI cenderung akan memilih inflasi rendah dan pertumbuhan ekonomi ketimbang menstabilkan nilai tukar. Namun, ini ada pembalikan, BI memilih untuk fokus kepada nilai tukar karena sudah tidak kuat lagi menghadapi tekanan suku bunga AS,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, saat dihubungi, Jumat (20/10/2023).
Keputusan tersebut bukan berarti tanpa pertimbangan matang. Pilihan BI memberikan jamu pahit untuk memastikan stabilitas nilai tukar rupiah dengan mengerem laju pertumbuhan tersebut dipilih lantaran inflasi inti domestik masih terjaga, yakni dalam kisaran 2-4 pada tahun 2023.
Menurut Tauhid, upaya stabilisasi nilai tukar rupiah dengan menaikkan suku bunga acuan agar tetap di atas suku bunga acuan negeri ”Paman Sam” itu bukan berarti tanpa konsekuensi. Kinerja perdagangan ekspor impor Indonesia yang terus tertekan akibat menurunnya permintaan dan berakhirnya tren lonjakan harga komoditas mengindikasikan perlambatan ekonomi domestik.
Neraca perdagangan Indonesia September 2023 tercatat turun 1,54 persen secara tahunan kendati masih surplus 3,42 miliar dollar AS dan melanjutkan tren surplus selama 41 bulan berturut-turut. Pertumbuhan tersebut utamanya tereduksi oleh defisit sektor migas senilai 1,92 miliar dollar AS.
”Peran BI itu menurunkan suku bunga atau paling tidak menahannya. Penurunan suku bunga dilakukan apabila pertumbuhan ekonominya baik dan inflasi rendah. Tetapi, jika salah satu syarat tidak terpenuhi, itu justru malah bahaya,” tuturnya.
Dengan menaikkan suku bunga tersebut, otomatis akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, ramuan jamu manis, seperti KLM, diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lewat pembiayaan sektor strategis.
Baca juga: Depresiasi Rupiah Gerus Kapasitas Penyaluran Kredit Perbankan
Hal ini berarti menunjukkan BI melangkah dengan dua kaki, yakni menjaga stabilitas sembari tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi. ”Saat ini, kita masih butuh pertumbuhan ekonomi di kala ekonomi melemah karena pelemahan kinerja perdagangan,” ujarnya.
Pertanyaannya, apakah pahit-manisnya jamu moneter BI tersebut dapat menjamin stabilitas nilai tukar rupiah sembari tetap mendorong pertumbuhan ekonomi? Kendati khasiat jamu sebagai pengobatan herbal alternatif telah teruji secara turun-temurun, pemberian jamu secara berlebihan bukan berarti tanpa efek samping.
Oleh sebab itu, kondisi perekonomian domestik perlu dicek secara berkala dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian, sistem pembayaran yang cepat dan tepat, serta sistem perbankan dan keuangan yang sehat.