Singapura Kucurkan Miliaran Rupiah Atasi Ancaman Siber
Riset menunjukkan, 88 persen kebocoran data disebabkan faktor manusia. Selain memperkuat sumber daya manusia dan organisasi terkait keamanan siber, kewaspadaan masyarakat perlu dipupuk.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·2 menit baca
SINGAPURA, KOMPAS — Singapura percaya aksi kolektif berperan penting menangkal ancaman-ancaman siber. Karena itu, pemerintah negeri jiran ini mengucurkan miliaran rupiah untuk kerja sama lintas negara, salah satunya di bidang pembangunan kapasitas bagi sumber daya manusia di kawasan Asia Tenggara.
”Seperti kita tahu, keamanan siber adalah sebuah kerja tim,” ucap Menteri Komunikasi dan Informasi Singapura Josephine Teo pada Rabu (18/10/2023) di Singapura. Penanganan insiden siber lintas batas butuh ikatan yang kuat, khususnya di antara negara-negara anggota ASEAN.
Teo menyampaikannya saat memberi sambutan pada Pertemuan Tingkat Menteri tentang Keamanan Siber (AMCC) Ke-8. Pemerintah RI diwakili Kepala Badan Siber dan Sandi Negara Letnan Jenderal TNI (Purn) Hinsa Siburian.
Dengan kesadaran tadi, lanjut Teo, Pemerintah Singapura berkomitmen membantu pembangunan kapasitas di Asia Tenggara. Salah satunya lewat ASEAN-Singapore Cybersecurity Centre of Excellence (ASCCE).
Sebelumnya, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Koordinator Bidang Kebijakan Ekonomi Singapura Heng Swee Keat pada Selasa (17/10/2023) menyebutkan, pihaknya mendirikan ASCCE pada 2019 dan telah menyajikan lebih dari 50 program untuk sekitar 1.500 petugas senior dari ASEAN ataupun luar ASEAN.
Program-program ASCCE sejak 2019 merupakan kelanjutan dari ASEAN Cyber Capacity Programme (ACCP), dengan komitmen pendanaan Pemerintah Singapura sebesar 30 juta dollar Singapura (sekitar Rp 345 miliar) untuk lima tahun. Adapun ACCP diluncurkan Badan Keamanan Siber (CSA) Singapura tahun 2016 dengan anggaran 10 juta dollar Singapura (sekitar Rp 92,7 miliar di tahun itu).
Heng menambahkan, pihaknya memperkuat komitmen pada pembangunan kapasitas sumber daya negara-negara lain, termasuk di luar ASEAN lewat peluncuran SG Cyber Leadership and Alumni Programme. Kursus pertama, menurut rencana, dimulai Maret 2024 menggunakan anggaran dari komitmen pendanaan 30 juta dollar Singapura tadi, yang diperpanjang penggunaannya hingga 2026.
”Dalam menavigasi revolusi digital, kita harus tetap fokus pada tujuan akhir, yaitu mewujudkan dunia yang lebih aman, sejahtera, dan inklusif,” tutur Heng.
Sejumlah negara, menurut dia, kini bersikap mengucilkan diri dan protektif dalam pemanfaatan teknologi, dengan alasan menjaga keamanan nasional. Sikap semacam itu tidak hanya menimbulkan inefisiensi, tetapi juga ketidaksetaraan akses ke teknologi serta ke pemanfaatannya.
Pertumbuhan ekonomi
Sekretaris Jenderal ASEAN Kao Kim Hourn menyebutkan, ekonomi digital diperkirakan bakal tumbuh lebih pesat di Asia Tenggara dengan adanya Digital Economic Framework Agreement (DEFA). Nilainya diproyeksikan mencapai 2 triliun dollar AS pada 2030.
”Salah satu syarat tercapainya pertumbuhan ekonomi di era digital ialah kemampuan untuk mengantisipasi dan mengelola ancaman keamanan siber di semua dimensi,” ucap Kao lewat pesan video. Kejahatan siber, kata dia, terus berevolusi, khususnya serangan ransomware. Perkembangan lainnya ialah hacktivism, yaitu peretasan dengan tujuan membawa pesan tertentu, biasanya dalam ranah sosial atau politik.
Kao mengutip penelitian Universitas Stanford Amerika Serikat bahwa 88 persen kebocoran data diakibatkan faktor manusia. Selain memperkuat sumber daya manusia dan organisasi terkait keamanan siber, ia mendorong peningkatan kewaspadaan pada masyarakat.