Target Emisi Nol Sektor Industri Bisa Tercapai Tahun 2050
Kesadaran industri akan pentingnya dekarbonisasi meningkat seiring terganggunya kegiatan produksi akibat bencana lingkungan yang disebabkan perubahan iklim.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meningkatnya permintaan pasar atas produk ”hijau” yang dipicu krisis lingkungan membuat pemerintah optimistis target emisi nol bersih tercapai sepuluh tahun lebih cepat daripada target nasional. Pelaku industri menilai, dekarbonisasi bisa optimal jika kebijakan pemerintah berjalan konsisten dan berkesinambungan.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita saat membuka Rapat Kerja Kementerian Perindustrian (Kemenperin) 2023 bertema ”Penyusunan Rencana Aksi Dekarbonisasi Sektor Industri Menuju Target Net Zero Emissions (NZE) Tahun 2050” di Jakarta, Rabu (11/10/2023), mengatakan, upaya dekarbonisasi di Indonesia adalah langkah krusial untuk melindungi keberlanjutan lingkungan dan ekonomi.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo pada forum Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26) tahun 2021 di Glasgow, Skotlandia, telah menyatakan bahwa Indonesia menargetkan kondisi net zero emission (NZE) pada tahun 2060.
Agus menekankan, setidaknya terdapat dua faktor yang dapat memacu percepatan pemenuhan target emisi nol bersih nasional menjadi sepuluh tahun lebih cepat. Keduanya saling berkaitan, yakni meningkatnya kebutuhan pasar terhadap produk rendah karbon yang disulut kerentanan lingkungan akibat perubahan iklim.
”Perubahan iklim dan bencana lingkungan mengakibatkan gagal panen dan krisis air yang mengganggu pasokan bahan baku industri. Kondisi ini meningkatkan kesadaran akan urgensi dekarbonisasi,” kata Agus.
Selain meningkatnya permintaan produk ”hijau” dan semakin buruknya dampak buruk karbonisasi terhadap perubahan iklim, semakin banyak regulasi negara tujuan ekspor Indonesia yang mewajibkan praktik berkelanjutan juga turut memacu pelaku industri untuk melakukan dekarbonisasi.
Di Indonesia sendiri, lanjut Agus, telah berdiri pasar karbon nasional dan menggeliatnya pasar modal dan investasi yang mengadopsi aspek keberlanjutan terutama dekarbonisasi.
Ini menjadi bagian dari kontribusi terhadap komitmen negara dalam konvensi internasional, antara lain Persetujuan Paris, Konvensi Stockholm, dan Konvensi Minamata. ”Untuk itu, perlu dilakukan upaya dekarbonisasi yang masif dan terstruktur,” kata Agus.
Kemenperin mencatat, tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) sektor industri di Indonesia dari 2015-2022 berada di rentang 8 persen-20 persen dari total emisi GRK nasional.
Adapun jika dilihat dari sumber emisi sektor industri 2022, komponen emisi dari kategori penggunaan energi di industri menyumbang 64 persen, emisi dari limbah industri (24 persen), dan proses produksi dan penggunaan produk (12 persen).
Agus mencatat, pada 2022 upaya dekarbonisasi telah menurunkan emisi GRK 53,9 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Capaian tersebut masih berada di bawah emisi baselinebusiness as usual (BaU) tanpa aksi mitigasi sebesar 292 juta ton CO2-ekuivalen.
Kendati demikian, realisasi penurunan emisi GRK pada komponen industrial process and product uses (IPPU) pada tahun 2022 telah mencapai 7,13 juta ton CO2e atau sedikit di atas target penurunan emisi GRK untuk komponen IPPU pada 2030 sebesar 7 juta ton CO2e.
”Hal ini menunjukkan optimisme bahwa upaya dekarbonisasi di sektor industri bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dicapai. Oleh karena itu, kita harus berkomitmen untuk dapat mencapai target NZE di sektor industri lebih cepat, yakni pada 2050,” ujar Agus.
Sementara itu, di lokasi berbeda, Ketua Bidang Industri dan Manufaktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bobby Gafur Umar menilai, emisi nol bersih di Indonesia bisa tercapai pada tahun 2050 atau sepuluh tahun lebih cepat daripada target 2060 bukanlah hal yang mustahil.
Namun, lanjut Bobby, para pelaku usaha energi terbarukan di dalam negeri masih dihadapkan pada sejumlah tantangan, di antaranya tantangan pendanaan, teknologi, sumber daya manusia, serta konsistensi kebijakan dan regulasi.
”Tidak hanya belum komprehensif, tapi ada kesan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengembangan energi terbarukan hanya sekadar ’opsional’ karena belum dilengkapi dengan mekanisme reward dan punishment,” kata Bobby.
Untungnya, dari sisi pendanaan, saat ini tantangan pendanaan sudah mulai terjawab lewat keberadaan pasar karbon. Bobby yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Maharaksa Biru Energi mengatakan, industri penghasil karbon kredit akan tertarik menggunakan bursa karbon karena mempunyai akses untuk menjualnya.
Sebagai informasi, pasar atau bursa karbon merupakan suatu sistem yang mengatur perdagangan karbon atau catatan kepemilikan unit karbon. Di Bursa karbon tersebut dilakukan aktivitas jual beli kredit atas pengeluaran karbon dioksida atau gas rumah kaca.
Melalui perdagangan itu, tingkat emisi di Bumi diharapkan bisa berkurang. Selain itu, perdagangan karbon juga ditujukan untuk meminimalkan dampak perubahan iklim serta untuk mencapai NZE.