BUMN Energi Masih Sulit Jadi Pembeli di Pasar Karbon
Kegiatan jual-beli sertifikat pengurangan emisi karbon menjadi alternatif untuk mendapatkan pendanaan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan usaha milik negara yang bergerak di bidang energi dinilai masih sulit terlibat sebagai pembeli di perdagangan karbon. Di sisi lain butuh biaya besar untuk melakukan transisi energi.
Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, Senin (2/10/2023), mengatakan, BUMN energi seperti PT PLN Persero dan PT Pertamina Persero yang memiliki amanah besar untuk memenuhi target penurunan emisi dalam bisnisnya masih memerlukan pendanaan besar untuk beralih ke teknologi ramah lingkungan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebut, Indonesia butuh investasi 1.108 miliar dollar AS atau 28,5 miliar dollar AS per tahun. Namun, realisasi per tahun 2022 baru di angka 1,55 miliar dollar AS.
Kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim atau perdagangan karbon menjadi alternatif untuk mendapatkan pendanaan dan memenuhi target tersebut. ”Industri yang masih menggunakan energi polutan akan menjadi pembeli potensial, termasuk PLN dan Pertamina. Namun, dalam jangka pendek mungkin masih akan perusahaan terpilih saja yang terlibat (sebagai pembeli karbon),” ujarnya saat dihubungi Kompas di Jakarta.
Di samping masih diutuhkannya sosialisasi atas bursa karbon, industri butuh modal besar terutama dari pendanaan global.
Perdagangan karbon menjadi alternatif tambahan bagi suatu industri setelah mengupayakan pengurangan emisi secara mandiri, baik dari modal sendiri maupun pendanaan luar. Perdagangan ini secara teori juga mengefisiensikan biaya perusahaan yang dapat membeli karbon.
Namun, saat ini, perusahaan seperti BUMN energi cenderung terlibat sebagai penjual. Lewat mekanisme penjualan, perusahaan lebih mudah mendapatkan pendanaan untuk proyek transisi energi yang sudah ada.
”Di samping masih dibutuhkannya sosialisasi atas bursa karbon, industri butuh modal besar terutama dari pendanaan global,” imbuh Toto yang mengharapkan program Mekanisme Transisi Energi atau Energy Transition Mechanism (ETM) yang menampung pendanaan global untuk Indonesia segera terisi agar ikut menggairahkan pasar karbon Indonesia.
Bursa karbon Indonesia yang diselenggarakan Bursa Efek Indonesia mulai pekan lalu, Selasa (26/9/2023), belum menunjukkan tambahan peserta yang signifikan hingga hari ini. Perusahaan BUMN energi pun belum banyak terlibat.
Perusahaan yang pertama dan satu-satunya yang sudah melantai di bursa tersebut adalah PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO). Anak usia Pertamina itu berhasil menjual 459.953 ton unit karbon atau CO2 senilai Rp 29,2 miliar kepada belasan perusahaan yang sebagian dari industri perbankan. Adapun grup Pertamina yang terlibat dalam pembelian hanya PT Pertamina Hulu Energi dan PT Pertamina Patra Niaga.
Sementara itu, PLN belum terlihat bahkan tercatat dalam daftar produk efek Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI).
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo, lewat siaran pers, Jumat (29/9/2023), mengatakan, pihaknya akan segera memasukkan SPE milik Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Blok 3 Muara Karang. Pembangkit listrik itu rendah emisi sehingga dapat mengurangi hampir 1 juta ton CO2 di 2022. Setiap satuan karbon akan dihargai sekitar Rp 69.000.
”Saat PLN masuk bursa beberapa waktu ke depan, kami akan langsung menjadi pemilik Sertifikat Penurunan Emisi (SPE) dengan penurunan emisi terbesar. Kami juga akan meluncurkan aplikasi PLN Climate Click yang sudah siap digunakan untuk carbon trading,” kata Darmawan.
Pihaknya akan terus mendukung pemerintah dalam mengembangkan ekosistem perdagangan karbon. PLN, kata Darmawan, melakukan perdagangan karbon secara langsung dengan melingkupi 3 dari 4 aspek perdagangan karbon, yaitu perdagangan emisi secara langsung,ofset emisi secara langsung, dan perdagangan ofset melalui bursa.
Menurut catatan PLN, perusahaan ketenagalistrikan ini sudah terjun ke perdagangan karbon internasional sejak 2009, sebagai upaya implementasi Protokol Kyoto 1997. PLN menjual efek dari beberapa pembangkit listrik ramah lingkungan dan mendapatkan pendanaan sekitar Rp 49 miliar.
Di luar itu, PLN terus berupaya mendapatkan pendanaan untuk memensiundinikan pembangkit listrik bersumber batubara yang tidak ramah lingkungan. Perusahaan ini memiliki target transisi 6,7 GW pembangkit listrik, di antaranya akan dicapai sebesar 2,7 GW sebelum 2030, dan sisanya setelah periode tersebut.
Target ini menentukan bauran pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT), yang mengacu pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, ditargetkan dapat mencapai 23 persen dari keseluruhan pembangkit listrik pada tahun 2025. Adapun laba tahun 2022, capaian EBT baru mencapai 12,3 persen yang seharusnya ditargetkan 15,7 persen.