Beban Ganda Perdagangan Maritim Dunia
UNCTAD memperkirakan volume perdagangan maritim global masih tumbuh lambat sebesar 2,4 persen pada tahun ini. UNCTAD juga mengungkap dekarbonisasi industri pelayaran barang global berbiaya tinggi.
Industri perdagangan maritim global tengah menghadapi dua tantangan besar. Di satu sisi, pertumbuhannya masih lambat kendati berangsur pulih. Di sisi lain, sektor tersebut perlu mewujudkan pelayaran hijau bebas karbon.
Kedua poin itu menjadi bahasan pokok Ulasan Perdagangan Maritim 2023 Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD). Laporan bertajuk ”Menuju Transisi Hijau dan Adil” tersebut dirilis UNCTAD pada 27 September 2023 di Geneva, Swiss.
Pada 2022, volume perdagangan maritim terkontraksi atau tumbuh minus 0,4 persen. Namun, pada tahun ini, perdagangan tersebut dapat tumbuh lebih baik meski masih lambat. UNCTAD memperkirakan pertumbuhan volume perdagangan maritim global pada 2023 sebesar 2,4 persen.
Untuk jangka menengah, 2024-2028, perdagangan maritim diperkirakan dapat tumbuh lebih dari 3 persen. Namun, angka itu masih di bawah rata-rata pertumbuhan perdagangan maritim dalam tiga dekade sebelumnya yang sebesar 7 persen.
Untuk jangka menengah, 2024-2028, perdagangan maritim diperkirakan dapat tumbuh lebih dari 3 persen.
Baca juga: ”Benang Kusut” Perdagangan Maritim Global
Hal itu terjadi lantaran pasokan dan permintaan global belum seimbang. Perang Rusia dan Ukraina yang masih berlanjut juga menjadi hambatan pelayaran barang. Sebagian alur perdagangan maritim menjadi berubah dan bertambah panjang.
Di tengah tantangan itu, industri pelayaran global dituntut pula berkontribusi mengatasi perubahan iklim dengan mempercepat dekarbonisasi. Industri tersebut menyumbang 3 persen dari total emisi global.
Dalam satu dekade, kontribusinya terhadap emisi global meningkat 20 persen. Tanpa tindakan konkret menguranginya, pada 2050, emisi global dapat meningkat hingga 130 persen dari emisi pada 2008 yang sebanyak 36,2 gigaton karbondioksida (CO2).
UNCTAD mencatat, pada periode 2012-2022, kontribusi kapal-kapal angkutan barang milik 29 negara terhadap emisi karbon meningkat. Sepuluh besar negara yang berkontribusi paling besar adalah China, Jepang, Yunani, Amerika Serikat, Hong Kong, Jerman, Singapura, Korea Selatan, Denmark, dan Norwegia.
Kapal-kapal China, misalnya, dalam satu dekade, emisi karbon yang dihasilkan meningkat dari 43,49 juta ton setara CO2 menjadi 102,32 juta ton. Sementara Indonesia menempati urutan ke-21 dengan peningkatan emisi karbon dari 4,93 juta ton menjadi 10,83 juta ton.
”Transportasi laut perlu mempercepat dekarbonisasi, sekaligus memastikan pertumbuhan ekonomi. Langkah itu penting guna menyeimbangkan kelestarian lingkungan, kepatuhan terhadap peraturan, dan tuntutan ekonomi untuk masa depan transportasi laut yang adil dan berkelanjutan,” kata Sekretaris Jenderal UNCTAD Rebeca Grynspan.
Baca juga: Teknologi agar Kapal Berbahan Bakar Fosil Tak Lepaskan Emisi
UNCTAD menyebutkan, dekarbonisasi sektor itu membutuhkan biaya besar karena banyak kapal yang terlalu tua untuk diperbaiki atau terlalu muda untuk dibongkar. Pada awal Januari 2023, rata-rata usia kapal-kapal tersebut 22,2 tahun dengan separuhnya berusia lebih dari 15 tahun.
Sebanyak 98,8 persen armada tersebut masih menggunakan bahan bakar fosil kendati bahan bakar alternatif sangat menjanjikan. Namun, dari ratusan kapal yang dipesan baru, sebanyak 21 persen akan beroperasi dengan bahan bakar ramah lingkungan, seperti gas alam cair, metanol, dan teknologi hibrida.
UNCTAD mencatat, diperlukan tambahan 8-28 miliar dollar AS per tahun untuk mendekarbonisasi kapal-kapal di dunia hingga 2050. Hal itu perlu juga diikuti dengan investasi senilai 28-90 miliar dollar AS per tahun untuk membangun infrastruktur bahan bakar bebas karbon di berbagai pelabuhan utama dunia.
Meski demikian, UNCTAD juga menyebutkan, biaya pengiriman barang menggunakan kapal peti kemas telah turun pada level sebelum pandemi Covid-19. Merujuk pada Indeks Pengangkutan Kontainer Shanghai (SCFI), UNCTAD menyebutkan, indeks biaya pengangkutan kontainer yang pernah mencapai level tertinggi di 5.067 pada 1 Januari 2022 telah turun menjadi 967 pada 1 Juni 2023.
Persoalan dan upaya RI
Indonesia sebenarnya merupakan negara yang memiliki armada kapal yang cukup besar. UNCTAD memasukkan Indonesia dalam daftar 15 besar negara yang memiliki armada kapal berbobot mati minimal 1.000 ton pada 2023.
Dalam laporan UNCTAD tersebut, Indonesia menempati peringkat ke-14 dengan total bobot mati kapal sebesar 30.171 ton. Kepemilikan kapal Indonesia itu berada di atas Portugal dan di bawah Siprus. Adapun negara dengan kepemilikan kapal berperingkat tiga teratas adalah Liberia, Panama, dan Kepulauan Marshall.
UNCTAD memasukkan Indonesia dalam daftar 15 besar negara yang memiliki armada kapal berbobot mati minimal 1.000 ton pada 2023.
Kendati masuk dalam 15 besar negara pemilik armada kapal terbesar dunia, sektor jasa perdagangan maritim Indonesia justru selalu berkontribusi terhadap defisit neraca transaksi berjalan. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menuturkan, selama ini Indonesia tidak memiliki kapal-kapal peti kemas besar yang cukup memadai untuk ekspor dan impor sehingga bergantung pada kapal-kapal milik negara lain.
Berdasarkan data Bank Indonesia, nilai neraca transaksi jasa transportasi barang selalu defisit, termasuk pada 2021 dan 2022. Defisit neraca transaksi jasa transportasi barang pada 2021 dan 2022 masing-masing sebesar 6,24 miliar dollar AS dan 7,32 miliar dollar AS. Begitu juga pada triwulan I-2023 dan triwulan II-2023, defisitnya masing-masing sebesar 2,35 miliar dollar AS dan 2,04 miliar dollar AS.
”Ini merupakan penyakit lama. Persoalan struktural dan fundamental tidak pernah dibenahi dengan baik. Selama ini, Indonesia tidak pernah memiliki peredam yang mampu menekan defisit neraca perdagangan jasa,” kata Faisal.
Baca juga: Peluang Pemulihan Perdagangan Dunia Terbatas, ”Penyakit” Lama RI Kambuh Lagi
BI juga mencatat, neraca transaksi berjalan Indonesia pada triwulan II-2023 defisit 1,9 miliar dollar AS atau sebesar 0,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pada triwulan I-2023, neraca transaksi berjalan tersebut masih surplus sebesar 3 miliar dollar AS atau 0,9 persen dari PDB.
Neraca transaksi berjalan itu mulai berbalik arah ke defisit sejak membukukan surplus pada 2021 dan 2022. Total surplus neraca transaksi berjalan pada 2021 sebesar 3,51 miliar dollar AS dan pada 2022 sebesar 12,67 dollar AS miliar dollar AS.
Terlepas dari itu, Indonesia menjaga komitmen mengurangi emisi karbon di sektor pelayaran barang. Salah satunya adalah melalui PT Pertamina International Shipping (PIS) yang mengoperasikan kapal VLGC (Very Large Gas Carrier) Amaryllis. Kapal tersebut merupakan kapal pertama Indonesia yang bermesin bahan bakar ganda, yakni gas metana dan minyak gas laut (marine gas oil/MGO).
”Kapal tersebut berpotensi menurunkan emisi karbon sebesar 12.000 ton setara CO2 per tahun,” kata Chief Executive Officer PT PIS Yoki Firnandi, Jumat (22/9/2023).
Baca juga: Menyelisik Perdagangan Karbon