Kontribusi Minim, Industri Maritim Butuh Strategi Khusus
Pada 2021, kontribusi PDB kemaritiman terhadap PDB nasional hanya 7,6 persen. Pertumbuhan sektor kemaritiman hanya 2,04 persen, di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang 3,69 persen.
Kontribusi industri maritim terhadap perekonomian nasional masih belum optimal. Pemanfaatan potensi besar sumber daya maritim Indonesia membutuhkan strategi dan langkah konkret di tengan tantangan perubahan iklim.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, akhir pekan lalu, mengemukakan, perubahan iklim akan menjadi persoalan global ke depan. Oleh karena itu, pendekatan ekonomi biru harus menjadi arus utama pembangunan sektor maritim di Indonesia.
Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati laut, tetapi kontribusi ekonomi biru masih terbatas, termasuk kontribusi produk domestik bruto (PDB) di sektor kemaritiman. Pada tahun 2021, kontribusi PDB kemaritiman terhadap PDB nasional hanya 7,6 persen, sedangkan pertumbuhan sektor kemaritiman hanya 2,04 persen atau di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang 3,69 persen.
Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 5 persen. Pada triwulan II (April-Juni) 2023, ekonomi Indonesia tumbuh 5,2 persen atau di bawah China yang 6,3 persen. Upaya mendorong pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen pada tahun 2027 membutuhkan geliat ekonomi yang lebih kompleks, antara lain lewat hilirisasi sumber daya maritim.
Baca juga: Ketiadaan Industri Hambat Terminal Peti Kemas Jayapura
Dengan potensi besar, industri pengolahan maritim di Indonesia tercatat hanya berkontribusi 4,17 persen. Industri pembuatan, pemeliharaan, dan jasa perbaikan kapal hanya 0,74 persen, sedangkan jasa konstruksi maritim hanya 1,2 persen. Sementara, sektor perikanan dan budidaya maritim 29,11 persen dan sumber daya energi maritim 21,98 persen.
”Indonesia tidak lagi mengandalkan komoditas mentah. Hilirisasi mendorong investasi lebih berkualitas dan industri hilir di Indonesia timur,” katanya dalam Seminar Nasional Kemaritiman ”Pembangunan Negara Kepulauan Berwawasan Nusantara Menuju Indonesia Emas 2045”, memperingati Hari Maritim Nasional Ke-59, yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jumat (29/9/2023).
Indonesia tidak lagi mengandalkan komoditas mentah. Hilirisasi mendorong investasi lebih berkualitas dan industri hilir di Indonesia timur. (Luhut Binsar Pandjaitan)
Luhut menambahkan, perekonomian daerah dinilai terus tumbuh pasca-penerapan hilirisasi. Pada tahun 2022, penanaman modal asing di luar Jawa mencapai 58 persen dan di Jawa 42 persen. Peningkatan nilai tambah sumber daya alam dan jasa kemaritiman akan terus dilakukan. Hilirisasi diharapkan tidak hanya meningkatkan nilai ekonomi dan transfer teknologi, tetapi juga sumber daya manusia.
Saat ini, tenaga ahli di Indonesia dinilai masih minim sehingga perlu ditunjang pendidikan yang mendukung pengembangan sumber daya manusia, di antaranya melalui politeknik. ”Dulu banyak yang kritik saya, kenapa pakai tenaga asing. Lha ya karena memang tidak ada (tenaga ahli). Kami dorong politeknik sehingga pendidikan mendukung SDM,” kata Luhut.
Baca juga: Ekonomi Maritim Berkelanjutan Perlu Dioptimalkan
Optimalkan potensi laut
Rektor Universitas Nusa Cendana (Undana) Maxs UE Sanam mengemukakan, perubahan iklim global membuat pertanian semakin sulit karena hujan tidak menentu, sedangkan peternakan menghadapi masalah reduksi dan konversi lahan. Oleh karena itu, sudah saatnya mengoptimalkan potensi laut. Literasi maritim sudah saatnya digaungkan sejak pendidikan usia dini.
”Sudah saatnya kita kembali serius melihat potensi kelautan supaya mendorong masyarakat dengan tingkat kehidupan jauh lebih baik,” katanya.
Resident Representative Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Indonesia, Norimasa Shimomura, mengemukakan, laut dan eksosistem laut menawarkan solusi penting untuk meraih Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SGDs) dan berperan penting dalam ekonomi global, di antaranya sektor perikanan, transportasi maritim, pariwisata pesisir, keragaman hayati, dan energi terbarukan.
Perikanan budidaya di Indonesia menyumbang 42 persen dari total produksi perikanan Indonesia, serta diprediksi menciptakan hampir 9 juta lapangan kerja pada 2030 atau tumbuh tiga kali lipat dibandingkan saat ini. Namun, keberlanjutan sektor perikanan menghadapi ancaman akibat beragam tekanan, seperti polusi, perubahan iklim, penangkapan ikan berlebih, dan praktik perikanan tidak berkelanjutan.
Baca juga: Pengoptimalan Sektor Kemaritiman dalam RPJPN 2025-2045 Perlu Evaluasi
Komitmen pada pembangunan berbasis ekonomi biru perlu fokus pada lima aspek, seperti perlindungan ekosistem laut dan sumber daya, pembangunan inklusif dan lapangan kerja melalui pengembangan UMKM dan komunitas lokal yang memanfaatkan inovasi dan iptek. Selain itu, juga promosi energi terbarukan, mitigasi perubahan iklim, dan mengurangi ketergantungan bahan bakar konvesional. Efisiensi sumber daya dan ketahanan pangan melalui perikanan budidaya berkelanjutan, serta menekan praktik perikanan tidak berkelanjutan.
”Penting untuk mengadopsi perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab untuk keberlangsungan perikanan di masa depan bagi generasi mendatang. Dengan investasi yang berkelanjutan, Indonesia dapat mengembangkan industri maritim, antara lain berbasis ekowisata, jasa kemaritiman, karbon biru, dan bioteknologi,” kata Norimasa.
Rembesan ikan impor
Peredaran ikan impor yang merembes ke pasar tradisional masih terus marak. Penyalahgunaan impor perikanan yang tidak sesuai peruntukan ditenggarai menjadi salah satu bentuk pelanggaran terbanyak di sektor kelautan dan perikanan, di samping penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran pemanfaatan ruang laut.
Baca juga: Ikan Impor Merembes ke Pasar Lokal
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyegel 4.050 kg ikan salem (Pacific mackerel) asal China di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Peredaran ikan-ikan impor itu ditenggarai tidak sesuai peruntukan, yakni merembes ke pasar lokal.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan Laksamana Muda Adin Nurawaluddin mengemukakan, penyegelan itu merupakan tindak lanjut laporan masyarakat akan dugaan penyalahgunaan penjualan ikan salem di pasaran lokal. Sebanyak 450 dus atau 4.050 kilogram ikan salem beku di gudang es (cold storage) milik AR yang berlokasi di Kelurahan Basirih telah disita oleh Pengawas Perikanan Stasiun PSDKP Tarakan per 23 September 2023.
Ikan impor tersebut dijual dengan harga Rp 20.000- Rp 22.000 per kg atau jauh lebih murah dibandingkan harga pasaran ikan layang lokal dari nelayan, yaitu Rp 25.000- Rp 30.000 per kg.
Adin menambahkan, produk impor ikan salem diperuntukkan untuk memenuhi bahan baku industri pemindangan sehingga dilarang untuk dijualbelikan di pasaran lokal. Kuota impor sudah dipatok oleh Kementerian Perdagangan berdasarkan rekomendasi KKP.
Berdasarkan keterangan sementara dari pemilik gudang, ikan salem tersebut dibeli dari broker atau perantara yang berada di Jakarta. Ikan itu diperoleh dari salah satu perusahaan importir besar di Jakarta. Ikan tersebut diduga dijual tidak sesuai peruntukannya sebab di Banjarmasin tidak terdapat industri pemindangan. Pemeriksaan lanjutan akan dilakukan ke pemilik gudang ikan beku dan unit pengolah ikan di Kalimantan Selatan, serta importir besar di Jakarta.
Menurut Adin, komoditas ikan yang diimpor diperuntukkan bagi industri pengolahan, usaha pemindangan ikan, serta hotel, restoran dan katering (horeka). Namun, ikan impor ditenggarai marak merembes ke pasar.
Beberapa wilayah yang diketahui menjadi sasaran rembesan ikan impor, yakni Pati, Palembang, Batam, Pontianak, dan Medan. Rembesan impor ikan dengan harga lebih murah dari harga jual ikan lokal telah memukul pendapatan nelayan.
”Banyak kejadian barang-barang impor (ikan) bocor ke pasar. Penindakan diperlukan untuk melindungi ekonomi nelayan lokal,” kata Adin.