Ungkit Ekspor Minyak Sawit, Indonesia Sasar Kelas Menengah India
Dengan konsumsi minyak makan 23,87 juta ton per tahun, India menjadi pasar minyak sawit penting. Indonesia dan Malaysia mengincar peningkatan konsumsi kelas menengah yang selama ini punya persepsi negatif pada sawit.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MUMBAI, KOMPAS — Dengan konsumsi minyak makan mencapai 23,87 juta ton setiap tahun, India menjadi pasar minyak sawit sangat penting. Namun, citra minyak sawit di negara berpopulasi 1,4 miliar itu terus menurun dan hanya dikonsumsi kelas menengah ke bawah. Hal itu dipicu munculnya citra negatif di kelas menengah atas.
”Minyak sawit dapat memenuhi permintaan global minyak nabati berkelanjutan. Namun, kampanye negatif kelapa sawit harus dihentikan,” kata Wakil Menteri Perdagangan Republik Indonesia Jerry Sambuaga saat memberikan sambutan pada Konferensi Minyak Nabati Berkelanjutan (SVOC) di Kota Mumbai, India, Rabu (27/9/2023).
Dalam konferensi yang diselenggarakan Dewan Negara-Negara Penghasil Minyak Kelapa Sawit (CPOPC) itu, Jerry menyebut, India merupakan salah satu negara tujuan ekspor minyak sawit terbesar. Pada tahun 2022, ekspor minyak sawit Indonesia ke India mencapai 5,5 juta ton dengan nilai 5,6 miliar dollar AS.
Minyak sawit memberikan manfaat yang besar bagi kedua negara. India menjadi mitra dagang yang sangat penting dan strategis bagi Indonesia. ”Solidaritas dan pertemanan selama ini sudah dibangun. Indonesia dan India saling mengerti satu sama lain,” kata Jerry.
India merupakan negara berpopulasi besar dengan konsumsi minyak makan mencapai 23,87 juta ton pada 2022. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, India mengimpor 16,5 juta ton minyak makan dari sejumlah negara.
Minyak sawit pun menjadi sumber utama untuk memenuhi kebutuhan minyak makan India dengan porsi 33 persen. Adapun minyak kedelai mencakup 24 persen, minyak mustar (16 persen), minyak bunga matahari (8 persen), dan sisanya minyak makan dari sumber lain.
Jerry menyebut, minyak sawit sebenarnya mempunyai daya saing pasar besar di India mengingat biaya produksinya yang sangat efisien dibanding minyak nabati lain. Apalagi, India sangat sensitif dengan harga.
Akan tetapi, saat ini minyak sawit hanya dikonsumsi kelas menengah ke bawah, rumah makan, hotel, restoran, dan katering. Dengan menyasar kelas menengah, potensi peningkatan konsumsi minyak sawit di India sangat besar.
Sekretaris Jenderal CPOPC Rizal Affandi Lukman mengatakan, Konferensi Minyak Nabati Berkelanjutan di Mumbai merupakan misi bersama Indonesia dan Malaysia untuk melawan kampanye negatif minyak sawit yang kian besar. ”India adalah salah satu negara tujuan ekspor minyak sawit terbesar. Namun, persepsi negatif tentang kelapa sawit semakin besar khususnya di kelas menengah,” kata Rizal.
Rizal menyebut, ketahanan pangan minyak nabati menjadi isu paling dipertimbangkan oleh India. Karena itu, ketersediaan pasokan dan harga yang terjangkau menjadi sangat penting bagi India.
India sangat terkejut ketika Indonesia menghentikan ekspor minyak sawit pada pertengahan 2022. Hal itu dipicu meroketnya harga dan kelangkaan pasokan minyak makan di Indonesia.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perkebunan dan Komoditas Malaysia Dato' Hj Mad Zaidi bin Mohd Karli mengatakan, dunia saat ini menghadapi isu ketahanan pangan minyak nabati mengingat populasi yang terus bertambah dan produksi yang stagnan. ”Pertanyaan besar yang harus dijawab dunia bukan bagaimana mengganti minyak sawit, tetapi bagaimana memperkuat industri minyak sawit berkelanjutan sebagai pemasok terbesar minyak nabati,” kata Zaidi.
Zaidi menyebut, era pertambahan produksi minyak sawit sebesar lima juta ton per tahun sudah berakhir karena tidak ada lagi penambahan lahan di Malaysia dan Indonesia, dua negara CPOPC yang merupakan penghasil sawit terbesar di dunia. Ke depan, harga minyak nabati diperkirakan akan terus meningkat karena kebutuhan terus naik, tetapi pasokan stagnan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menyebut, Indonesia berupaya meningkatkan kembali ekspor minyak sawit ke India yang cenderung menurun dalam beberapa tahun ini. ”Ini dilakukan di tengah berbagai tantangan yang dihadapi industri minyak sawit, yakni meningkatnya ongkos produksi, produksi yang stagnan, dan hambatan dagang di sejumlah negara,” kata Eddy.
Menurut data Gapki, tren ekspor minyak sawit mentah (CPO) ke India menurun sejak 2018 yang mencapai 6,9 juta ton.
Ekspor itu turun menjadi 5,1 juta ton pada 2019, naik sedikit menjadi 5,2 juta ton pada 2020, dan menurun drastis menjadi 3,08 juta ton pada 2021. Ekspor ke India mulai naik lagi menjadi 5,5 juta ton pada 2022 dan tahun ini diperkirakan angkanya masih sama.
Direktur Eksekutif Asosiasi Ekstraktor Pelarut India BV Mahta menjelaskan, bagi India, ketersediaan dan harga minyak makan menjadi isu ketahanan pangan yang sangat penting bagi India. Populasi India terus bertambah dan konsumsi minyak makan per kapita juga meningkat.
”Populasi India mencapai 1,4 miliar jiwa dan bertambah 18 juta jiwa setiap tahun. Konsumsi minyak makan per kapita juga diperkirakan naik dari saat ini 17 kilogram menjadi 21,15 kilogram per tahun pada 2030. Ini akan meningkatkan konsumsi minyak makan India menjadi 30,27 juta ton per tahun,” kata Mahta yang juga Sekretaris Aliansi Minyak Sawit Asia (APOA) itu.
Karena itu, India juga sudah mulai menanam sawit, tetapi produksi CPO-nya masih sekitar 329.150 ton per tahun. India terus memperluas kebun sawit dalam program 1 juta hektar kebun sawit yang dicanangkan pemerintah. India menargetkan peningkatan produksi hingga 2,8 juta ton pada 2030.
Meski demikian, peningkatan produksi itu tetap tidak cukup untuk menutupi kebutuhan minyak makan di India. Negara itu juga hanya dapat menanam sawit di beberapa daerah yang secara iklim cocok dengan sawit. “Kami membutuhkan minyak makan yang lebih banyak dari Indonesia dan Malaysia,” katanya.