Pemerintah Ultimatum Pengusaha Sawit di Lahan Ilegal Bisa Dipidana
Pemerintah menginginkan agar lahan-lahan ilegal yang digunakan untuk perkebunan sawit diselesaikan secara hukum. Sejauh ini, pemerintah juga sudah identifikasi perusahaan sawit yang menggunakan lahan ilegal.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memberikan batas waktu hingga 2 November 2023 kepada para pengusaha sawit yang menggunakan lahan ilegal untuk menyelesaikan sanksi administratif. Apabila sanksi administratif tidak dipenuhi, pemerintah akan mengenakan sanksi pidana.
Hal ini dibahas dalam rapat tertutup terkait tata kelola sawit yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (26/9/2023). Hadir dalam rapat yang dimulai sekitar pukul 10.30 sampai 11.20 itu, antara lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD; Menko Perekonomian Airlangga Hartarto; Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar; serta Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Yusuf Ateh.
Mahfud menjelaskan, lahan-lahan ilegal ini akan diselesaikan secara hukum. Alternatif pertama adalah membayar denda administratif serta menyelesaikan kerugian negara dan menyelesaikan semua persyaratan lahan sawit.
Airlangga menyebutkan, tenggat penyelesaian lahan sawit ilegal ini 2 November 2023. Apabila sampai 2 November 2023 masih ada perusahaan sawit yang menggunakan lahan ilegal, menurut Mahfud, akan digunakan alternatif kedua. ”Kalau melanggar, tidak mau kooperatif sampai waktu yang ditentukan, November nanti, ketentuannya akan dipidanakan,” ujarnya.
Gugatan pidana ini tak hanya menghitung kerugian keuangan negara, tetapi juga kerugian perekonomian negara. Kerugian keuangan negara itu dihitung dari pajak yang semestinya diterima negara bila lahan sawit dikelola secara sah serta denda. Adapun kerugian perekonomian negara dihitung oleh pakar dan mencakup keuntungan yang diperoleh selama menggunakan lahan tidak sah itu, termasuk biaya kerusakan lingkungan dan alam.
Identifikasi luas lahan ilegal
Sejauh ini, menurut Mahfud, pemerintah sudah mengidentifikasi perusahaan sawit yang menggunakan lahan ilegal. ”Ada ribuan, (sekitar) 2.100 berapa, tapi yang sudah menyelesaikan berapa puluh persen, sisanya ditunggu,” ujarnya.
Jaksa Agung, menurut Mahfud, juga sudah melihat dari sisi pidananya, sedangkan BPKP menghitung kerugian negara ataupun kerugian perekonomian negara.
Mahfud mencontohkan, kasus Surya Darmadi, pemilik PT Duta Palma Group. Awalnya, Surya dihukum penjara 15 tahun dan denda Rp 1 miliar oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Selain pidana badan, pada 23 Februari 2023, hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti Rp 2,23 triliun dan Rp 39,7 triliun yang merupakan penghitungan kerugian perekonomian negara. Apabila harta Surya tidak cukup untuk membayar uang pengganti, dia harus menjalani pidana penjara lima tahun.
Menurut Mahfud, pemerintah sudah mengidentifikasi perusahaan sawit yang menggunakan lahan ilegal.
Pengadilan Tipikor Jakarta menilai Surya terbukti merugikan perekonomian negara senilai Rp 39,75 triliun karena menguasai 20.000 hektar kawasan hutan yang diubah menjadi lahan sawit tanpa izin yang sah. Kerugian ini akumulasi dari kegiatan tiga perusahaan sawit milik Surya, yakni PT Palma Satu (10.000 ha), PT Seberida Subur (6.132 ha), dan PT Panca Agro Lestari (3.816 ha). Kerugian dihitung dari kerugian lingkungan, biaya kerugian ekonomi lingkungan, serta biaya pemulihan lahan yang rusak dan mengaktifkan kembali fungsi ekologi yang hilang.
Saat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan tersebut pada 24 Mei 2023. Majelis hakim menolak banding terdakwa dan jaksa penuntut umum.
Namun, putusan Mahkamah Agung menghapus pidana pengganti Rp 39,75 triliun tersebut. Surya hanya diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara Rp 2,23 triliun. Adapun hukuman penjara Surya ditambah menjadi 16 tahun karena terbukti melakukan korupsi bersama-sama dan melakukan pencucian uang.
Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam jumpa pers di Kemenkomarves, akhir Juni lalu, mengatakan, 3,3 juta lahan sawit yang berada di kawasan hutan akan diputihkan. Harapannya, tata kelola sawit di Indonesia semakin baik.
Siti Nurbaya menegaskan, tidak ada pemutihan lahan sawit ilegal untuk hutan lindung dan konservasi.
Sejauh ini, menurut Airlangga, masih dilakukan pendataan ulang untuk lahan-lahan sawit yang dinilai ilegal. ”Jumlahnya nanti kita lihat,” ujarnya.
Tak ada pemutihan
Secara terpisah, Siti Nurbaya menegaskan, tidak ada pemutihan lahan sawit ilegal untuk hutan lindung dan konservasi. Semua tetap harus kembali menjadi hutan negara setelah pelaku usaha membayar biaya pemulihan hutan.
Namun, jika lahan sawit ilegal ini terdapat di hutan produksi, setelah membayar denda, pelaku usaha masih bisa melanjutkan usahanya satu daur sawit. Setelahnya, hutan kembali menjadi hutan negara.
Menurut Siti, lebih kurang 400.000 hektar hutan lindung dan konservasi yang diokupasi oleh swasta dan masyarakat.
Adapun luasan 3,3 juta hektar lahan sawit di hutan yang disebutkan Luhut, menurut Siti, terdiri atas hutan lindung dan konservasi serta hutan produksi. Dari luasan ini, 1,7 juta hektar sudah tercatat dan bisa diproses izinnya. Diperkirakan masih ada 300.000 hektar lahan swasta yang diinventarisir kelengkapan datanya. Sisanya 1,3 juta hektar merupakan lahan sawit yang dikelola masyarakat di antaranya untuk hutan sosial dan tanah obyek reforma agraria. ”Peremajaan sawit rakyat akan berproses di sini yang berada di hutan produksi,” kata Siti.