Jalan Benih ”Bongo” demi Menjaga ”Dutu”
Nyiur melambai di daratan Sulawesi menyimpan sepenggal kisah kehidupan manusia yang mencari penghidupan daripadanya. Di sisi lain, kelapa juga mengakar dalam jantung kebudayaan manusia.
Mohamad S Hulopi (57), warga Desa Dunggala, Kecamatan Batudaa, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, menghidupi jalan benih bongo atau dalam bahasa Gorontalo berarti kelapa. Selain memiliki nilai ekonomi, kelapa memiliki arti filosofis dalam tradisi masyarakat Gorontalo, salah satunya adat dutu.
Tradisi dutu atau prosesi antarharta dalam upacara peminangan memuat sejumlah hasil bumi yang wajib dibawa oleh calon mempelai pria, salah satunya kelapa yang masih ada tunasnya (tumula). Bagi masyarakat Gorontalo, tunas kelapa memiliki makna filosofi kehidupan baru sekaligus menjadi teladan bagi kedua calon mempelai agar dapat hidup di mana pun dan memberikan banyak manfaat kepada siapa pun.
Sebagai masyarakat asli Gorontalo, Mohamad S Hulopi atau akrab disapa Adi tak mau tradisi yang telah diturunkan dari generasi pendahulunya tersebut pudar. Baginya, kelapa menjadi salah satu hantaran yang amat penting dan bahkan dibicarakan secara serius dalam adat tolobango atau prosesi musyawarah saat hendak melangsungkan pernikahan.
”Saya senang bisa menyediakan tunas kelapa untuk kebutuhan adat. Tak jarang, mereka yang butuh tunas kelapa untuk lamaran, biasanya enam butir, tidak saya patok harga. Berapa pun saya terima,” katanya, Sabtu (23/9/2023).
Pada tahun 1999, Adi mendirikan CV Hati Mas sebagai badan usaha pembibitan kelapa. Di atas lahan seluas tiga hektar, pria paruh baya itu membudidayakan tiga varietas kelapa lokal, yakni Molowahu, Kramat, dan Panua.
Dalam setahun, Adi mampu membibitkan sebanyak 300.000 bibit kelapa. Rata-rata harga bibit kelapa tersebut dijual kisaran Rp 18.000-Rp 32.500 per bibit, tergantung varietasnya. Adapun CV Hati Mas merupakan satu-satunya produsen bibit kelapa lokal di Gorontalo yang tercantum dalam e-katalog.
Walakin, dari semua bibit yang dihasilkan, tidak semuanya laku terjual. Pada tahun 2019, misalnya, Adi harus menelan pil pahit berupa kerugian ratusan juta karena bibit kelapanya tak laku. Menurut dia, saat itu tengah terjadi pergeseran anggaran oleh pemerintah daerah sehingga bibit kelapanya tidak terserap.
Baca juga: Hari Kelapa Sedunia Dorong Kolaborasi dan Investasi
Penurunan
Di tengah jerih payah Adi untuk menjaga kelangsungan tradisi dan penghidupannya sehari-hari melalui pembibitan kelapa, areal perkebunan kelapa nasional justru menurun. Data Kementerian pertanian menunjukkan, luas areal kelapa menurun dari semula 3,65 juta hektar pada tahun 2013 menjadi 3,33 juta hektar pada tahun 2022 atau rata-rata menurun 1,01 persen per tahun.
Dari jumlah tersebut, mayoritas lahan atau 99 persennya dimiliki oleh para petani. Salah satu penyebab luas areal perkebunan terus menurun karena kelapa dinilai kurang memberikan nilai tambah bagi petani sehingga mereka beralih ke komoditas lain.
Perlu dukungan teknis dan kebijakan untuk petani agar mereka bisa mengakses bibit-bibit berkualitas.
Selain itu, produktivitas kelapa secara nasional juga stagnan atau cenderung hanya berjalan di tempat. Rata-rata produktivitas kelapa selama satu dekade terakhir berkisar 1,12 ton per hektar atau tumbuh sebesar 0,11 persen.
Hal ini terjadi lantaran usia pohon yang menua, penggunaan varietas yang kurang unggul sehingga kurang produktif dan rentan terserang hama penyakit, serta minimnya pemeliharaan dan peremajaan karena keterbatasan finansial petani.
Direktur Eksekutif International Coconut Community Jelfina C Alouw, dalam gelaran World Coconut Day (WCD) 2023 di Gorontalo, menuturkan, produktivitas kelapa Indonesia masih jauh di bawah Vietnam, Malaysia, dan India. Jika negara-negara tersebut mampu menghasilkan 10.000 butir kelapa per hektar, Indonesia hanya mampu 4.000 butir per hektar.
”Perlu dukungan teknis dan kebijakan untuk petani agar mereka bisa mengakses bibit-bibit berkualitas. Paling tidak, di setiap daerah memiliki sumber bibit unggul dengan tetap mengembangkan varietas lokal, minimal 5 hektar. Ini penting karena permintaan global terus naik sehingga produktivitas harus ditingkatkan,” ujarnya.
Menurut Jelfina, daya tawar petani juga perlu ditingkatkan melalui organisasi profesional yang mewadahi mereka mengingat alur rantai pasok kelapa yang panjang dan ada banyak pemain di situ. Daya tawar penting agar para petani tersebut dapat memperoleh harga yang layak sehingga kelapa dapat menjamin kesejahteraan mereka.
Tak hanya soal pembenihan dan wadah petani kelapa, pengembangan kelapa di Indonesia juga perlu diperkuat dengan hilirisasi. Hilirisasi ini menjadi salah satu poin penting dalam sesi forum grup diskusi hari kedua WCD 2023 di Gorontalo.
Terdapat lima aspek dasar dalam diskusi perumusan peta jalan tersebut, yakni peningkatan produktivitas, kesejahteraan petani, parameter keberhasilan peta jalan, dampak lingkungan, dan kebijakan. Aspek kesejahteraan petani itu salah satunya dapat diwujudkan dalam pembentukan lembaga khusus yang menaungi pengelolaan ekosistem kelapa dari hulu hingga hilir.
”Seperti halnya komoditas kelapa sawit, kelapa juga butuh badan otoritas khusus yang mengatur harga sehingga dapat menjamin kesejahteraan petani,” ujar Bupati Gorontalo Nelson Pomalingo.
Nelson, yang juga menjabat Ketua Koalisi Kabupaten Penghasil Kelapa (Kopek), menegaskan, berbagai komitmen yang muncul dari rangkaian acara WCD tidak lain untuk membawa kembali kejayaan kelapa Indonesia. Hal itu membutuhkan keseriusan dari para pemangku kepentingan, terlebih dalam hal tata kelola.
Di sisi lain, kelapa tidak hanya menghasilkan produk turunan kopra dan minyak kelapa. Masih ada produk-produk lain yang memiliki potensi, seperti nata de coco, briket, anyaman dari sabut kelapa, hingga bahan bakar nabati (biofuel) berupa avtur. Oleh sebab itu, hilirisasi menjadi kunci utama pengembangan komoditas kelapa.
Melalui berbagai upaya tersebut, potensi dari pohon kelapa yang ditemui hampir di seluruh pelosok Nusantara tidak hanya dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi juga menjaga keberlangsungan adat masyarakat. Itulah yang juga terpotret dalam jalan hidup yang dipilih oleh Adi. Hal ini kembali mengingatkan bahwa kelapa adalah life of tree atau pohon kehidupan.
Baca juga: Pengembangan Industri Kelapa Berkelanjutan Butuh Peta Jalan