Hadapi Perubahan Iklim, Negara Kepulauan Berkolaborasi
Perubahan iklim menjadi ancaman negara-negara kepulauan dan pulau. Langkah konkret disiapkan untuk menghadapi ancaman krisis iklim.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan isu global oleh negara pulau dan kepulauan perlu difokuskan pada langkah konkret antisipasi perubahan iklim, pembangunan ekonomi biru, serta peningkatan dukungan ekonomi masyarakat pesisir.
Ancaman perubahan iklim semakin nyata, antara lain kenaikan permukaan air laut yang mengancam kedaulatan dan menenggelamkan negara-negara pulau dan kepulauan. Di Indonesia, 62 persen penduduk yang tinggal di kawasan pesisir juga terancam dampak kenaikan permukaan air laut.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengemukakan, di dunia terdapat 46 negara pulau dan kepulauan yang tengah menghadapi tantangan besar dampak perubahan iklim. Perubahan iklim tidak bisa dihindari dan menjadi persoalan di masa depan. Negara-negara kepulauan dan pulau dengan penduduk yang tinggal di garis pantai umumnya rentan dan memerlukan bantuan dalam menghadapi krisis iklim. Ia mencontohkan, kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim dapat menyebabkan pulau-pulau hilang.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Forum Negara Kepulauan dan Pulau (Archipelagic and Island States /AIS) 2023 akan digelar di Bali pada 11 Oktober 2023. KTT Forum AIS yang diinisiasi Indonesia diharapkan menjadi forum bertukar pikiran antarnegara dan merumuskan langkah konkret penanganan isu global terkait kelautan. Hingga saat ini, tercatat 10 kepala negara dari negara kepulauan dan pulau dijadwalkan hadir. Forum yang diselenggarakan bekerja sama dengan Program Pembangunan PBB Pembangunan (UNDP) itu turut mengundang beberapa negara maju, seperti Inggris, Jepang, dan Singapura.
Ia menambahkan, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan kekayaan sumber daya hayati yang berlimpah. Namun, pengakuan terhadap eksistensi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar belum terlalu terlihat. Sudah waktunya Indonesia memperkuat posisi di dunia sebagai negara kepulauan terbesar untuk aksi konkret penanganan isu global terkait kelautan. Sebelumnya, pertemuan tingkat menteri Forum AIS 2023 digelar di Fiji pada Juni 2023, dan Madagaskar pada Agustus 2023.
”Kita (negara kepulauan dan pulau) bertukar pikiran dan pengetahuan mengenai penanganan lingkungan. Indonesia juga akan berbagi pengalaman dan kisah sukses menghadapi krisis Covid-19 dan krisis iklim,” kata Luhut.
Beberapa langkah konkret yang akan ditawarkan antara lain penanaman kembali mangrove, restorasi terumbu karang, budidaya dan pengolahan rumput laut, penanganan sampah plastik di laut, serta pemanfaatan teknologi, digitalisasi dalam pengembangan ekonomi, dan pengawasan pesisir. Indonesia juga siap memberikan dukungan pendanaan untuk membantu negara kepulauan dan pulau yang kesulitan pendanaan.
Ia menambahkan, penanaman mangrove di sekeliling garis pantai membutuhkan sinergi pemerintah dengan penduduk setempat. Sementara itu, hasil budidaya rumput laut dapat menghasilkan pupuk organik, biofuel, makanan, kosmetik, obat, degradasi plastik, dan menangkap karbon emisi.
Forum AIS 2023 fokus pada 3 aspek penting. Pertama, pembangunan ekonomi biru, terutama terkait perikanan, energi terbarukan, pariwisata, transportasi air, pengolahan limbah, dan mitigasi perubahan iklim. Ekonomi biru dinilai berdampak langsung pada penciptaan nilai ekonomi dan mata pencarian.
Kedua, tantangan perubahan iklim. Dari laporan Migrasi Dunia 2020, pada akhir tahun 2018 tercatat 28 juta pengungsi di 148 negara. Sebanyak 61 persen atau 17,2 juta pengungsian dipicu bencana banjir, kekeringan, dan tanah longsor. Ketiga, mempererat riset bersama dan kerja sama negara pulau dan kepulauan.
Pelaksana tugas (Plt) Staf Ahli bidang Ekonomi, Sosial, Budaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP, Hendra Yusran Siry, mengemukakan, masalah perubahan iklim di pantai utara Jawa diperburuk dengan penurunan muka tanah sehingga beberapa wilayah tenggelam, seperti dua dusun di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Demak, Jawa Tengah.
Sementara itu, peningkatan daya dukung ekonomi pesisir menghadapi tantangan dalam mengoptimalkan pengelolaan sumber daya. Di sektor perikanan, pemerintah menerapkan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, serta pengembangan budidaya ikan berkelanjutan.
Indonesia telah menargetkan perluasan kawasan konservasi menjadi 30 persen dari luas wilayah perairan Indonesia pada tahun 2045, yakni 92,7 juta hektar (ha). Saat ini, luas kawasan konservasi tercatat baru 28,9 juta hektar (ha), dan ditargetkan seluas pada 32,5 juta ha pada 2030.
Agus Sari, CEO Landscape Indonesia, mengemukakan, tantangan di kelautan Indonesia masih sangat banyak. Perubahan geofisik akibat perubahan iklim, temperatur laut semakin panas, dan tingkat keasaman tinggi membuat ikan-ikan bermigrasi dari Indonesia.
Upaya mendorong ekonomi biru perlu difasilitasi dari hulu ke hilir. Selama ini, perikanan termasuk ekonomi yang tidak efisien. Dicontohkan, setiap 10 ikan yang tertangkap hanya sepertiga yang tersaji kepada konsumen, selebihnya membusuk saat proses dari kapal ke pantai, pantai ke pasar, dan dari pasar ke dapur. Produktivitas perlu ditingkatkan dengan biaya yang lebih efisien.
”Rantai pasok, perjalanan, infrastruktur, pelabuhan dan tempat pengolahan ikan perlu lebih efisien, sehingga setiap penangkapan ikan memberikan pendapatan dan nilai tambah bagi nelayan hingga penjual di pasar. Ekosistem biru harus diperhatikan dengan cara yang komprehensif,” ujarnya.