Meski aturan pelaksanaan terkait pemanfaatan pasir laut belum terbit, eksploitasi pasir laut marak berlangsung. Eksploitasi terjadi di pulau kecil dan terluar.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
DOKUMENTASI KKP
Petugas di Kapal Pengawas Perikanan Hiu 01 saat menyetop operasi kapal penambang pasir laut di perairan Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Riau, Minggu (13/2/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Kapal Pengawas Hiu 01 Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KKP menghentikan tiga kapal milik perseorangan yang diduga melakukan eksploitasi pasir laut tanpa izin di perairan Pulau Rupat, Bengkalis, Riau. Pulau Rupat merupakan salah satu dari pulau-pulau kecil terluar kawasan strategi nasional tertentu.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin mengemukakan, tiga kapal itu terdiri dari dua kapal pengangkut pasir dan satu kapal isap. Kapal-kapal itu adalah kapal pengangkut pasir KM Arfan II berbobot 23 gros ton (GT) dan KM Terubuk (34 GT) serta KM Pengisap Pasir berukuran 4 GT. Setiap kapal diawaki oleh tiga anak buah kapal (ABK).
Pihaknya menemukan lebih kurang 30 ton pasir laut di KM Arfan II serta 4 ton pasir laut di KM Terubuk. Ketiga kapal itu tidak dilengkapi dokumen persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL) dan izin pemanfaatan pasir laut.
”KKP akan mengenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku untuk memberikan efek jera,” ucap Adin dalam keterangan pers, Jumat (22/9/2023).
KKP menghentikan semua kegiatan penambangan pasir di perairan Pulau Rupat sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil Terluar dan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-pulau Kecil Terluar. Pemanfaatan Pulau Rupat hanya diperbolehkan untuk kepentingan pertahanan, konservasi, dan kesejahteraan masyarakat.
Saat ini, polisi khusus pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (Polsus PWP3K) telah menyegel dan menghentikan aktivitas kapal isap pasir dan kapal angkut. Kapal-kapal itu digiring ke Pelabuhan Dumai serta pemilik kapal akan dimintai keterangan. KKP juga memeriksa semua awak kapal dan penanggung jawab kegiatan eksploitasi pasir laut di perairan Pulau Rupat.
Adin menambahkan, aturan pelaksana PP No 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut hingga kini belum terbit. Kebijakan itu, antara lain, bertujuan menata pemanfaatan pasir laut agar tidak merusak lingkungan. Terkait pelanggaran kapal-kapal isap dan pengangkut pasir laut, pihaknya akan fokus pada kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dan ekosistem laut.
”(Tata kelola) ini yang ingin kita jaga. Jangan sampai, izin penambangan (pasir laut) semata-mata mengambil pasir, tetapi merusak ekologi. Kami juga berkolaborasi dengan (Kementerian) ESDM,” katanya.
Kebijakan eksploitasi pasir laut tertuang dalam PP No 26/2023. Aturan itu memungkinkan pemanfaatan hasil sedimentasi yang berupa pasir laut dan lainnya untuk reklamasi dalam negeri, pembangunan infrastruktur, hingga ekspor.
REUTERS/EDGAR SU
Cadangan pasir yang dipotret berada di Singapura, 26 Juni 2019. Malaysia telah mengeluarkan larangan ekspor pasir laut, termasuk ke Singapura yang menggunakan pasir laut untuk reklamasi guna membangun pelabuhan terminal peti kemas terbesar di dunia.
Sedimentasi laut yang dapat dimanfaatkan berupa pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur. Pasir laut digunakan untuk reklamasi dalam negeri, pembangunan infrastruktur, dan pembangunan prasarana oleh pelaku usaha. Ekspor dimungkinkan sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan, saat dihubungi terpisah, menyoroti regulasi KKP yang berbenturan dengan regulasi di sektor pertambangan. Penggalian pasir saat ini menggunakan aturan pertambangan, sedangkan sebagian juga diakomodasi dalam PKKPRL. Di sisi lain, kapasitas pengawasan masih sangat lemah. ”Aturan yang tumpang tindih bukan jawaban untuk menertibkan penambangan pasir laut,” katanya.
Kerusakan lingkungan
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan mengemukakan, laut yang menjadi tumpuan hidup nelayan tradisional dan masyarakat pesisir perlu mendapatkan perlindungan kuat dari negara. Sebanyak 80 persen nelayan skala kecil berkontribusi terhadap pemenuhan pangan dalam negeri dan memenuhi 50 persen kebutuhan protein perikanan. Ironisnya, kemiskinan ekstrem terkonsentrasi di wilayah pesisir.
”Kontestasi antara sektor perikanan dan sektor-sektor lain menyebabkan hak masyarakat pesisir secara sosial ekonomi dalam kondisi marjinal,” ujarnya dalam webinar nasional ”Menyambut Hari Maritim dan Menuju Konferensi Tenurial 2023”, Jumat.