Digitalisasi UMKM Masih Sebatas Ciptakan Persaingan Usaha
Menurut data pemerintah, pada 2022 terdapat 19 juta pelaku UMKM digital. Jumlah itu masih terbilang kecil dibandingkan lebih dari 65 juta UMKM yang belum masuk ke ekosistem digital.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi (kanan) menjelaskan data terkait digitalisasi UMKM di Indonesia dalam acara AFPI UMKM Summit 2023 di Gedung Smesco, Jakarta, Kamis (21/9/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menilai digitalisasi yang merambah ke dunia usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM belum berkembang sesuai harapan. Digitalisasi secara umum masih sebatas menambah persaingan, bukan meningkatkan kapasitas pelaku usaha sehingga bisa menembus pasar global.
Hal itu diungkapkan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki yang menghadiri acara AFPI UMKM Summit 2023 di Gedung Smesco, Jakarta, Kamis (21/9/2023). ”Perkembangan hari ini, transformasi digital kita belum melahirkan ekonomi baru, hanya melahirkan pedagang baru dan menjadi pedagang-pedagang lama,” ungkapnya.
Menurut data pemerintah, pada 2022 terdapat 19 juta pelaku UMKM digital. Jumlah itu lebih kecil dibandingkan lebih dari 65 juta UMKM yang belum masuk ke ekosistem digital. Secara kontribusi ekonomi, pada 2021, ekonomi digital menyumbang 5,7 persen pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia. Sementara kontribusi UMKM yang mayoritas merajai pasar luring mampu menghasilkan 61 persen PDB setara Rp 8.573 triliun.
Rendahnya pendapatan ekonomi digital, menurut Teten, juga karena adaptasi teknologi digital yang sebatas digunakan di hilir atau untuk penjualan. Padahal, UMKM bisa mendapatkan lebih banyak manfaat digitalisasi di hulu atau sektor produksi.
”Sekarang pun orang-orang yang punya duit jadi seller, jualan. Enggak kasihan gitu membunuh pedagang pasar. Kue ekonomi enggak membesar, malah faktor pembaginya semakin banyak sehingga rezeki yang dibagi dari perkembangan transformasi digital itu kecil,” ujar Teten.
Adaptasi digital hanya di sektor hilir juga membuat UMKM rentan terdampak predatory pricing produk impor di platform penjualan daring. Hal ini disoroti Teten setelah melihat pedagang luar jaringan, seperti di Pasar Tanah Abang, Jakarta, yang kembali kalah bersaing meski sudah masuk ke pasar digital.
Teten menduga masalah ini karena adanya arus masuk barang impor ilegal, yang antara lain disokong perusahaan asing. Untuk mengatasi hal itu, ia mulai mengonsolidasikan hal ini kepada pemangku kebijakan terkait.
”Paling penting nanti, kita pagerin siapa pun yang jual produk impor harus menyatakan dokumentasi importasi asal-usul barang. Itu fair, karena offline kita atur ketat, online tidak. Ini sedang kita pelajari. Ini mungkin nanti kebijakan yang kita siapkan. Kita bukan antimodal asing, bukan, kita enggak ada urusan, kita ingin mengajak mereka berbisnis secara fair dan berkelanjutan,” tuturnya.
Bersamaan dengan itu, pemerintah pusat, kata Teten, hendak membuat Satuan Tugas Transformasi Digital yang akan diikuti kementerian dan lembaga lintas sektor. Satuan tugas ini diharapkan berdampak pada lebih banyak UMKM digital agar dapat meningkatkan kapasitas dan melebarkan sayap ke pasar global.
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN
Pedagang berinteraksi dengan penonton di media sosial Tiktok saat menawarkan dagangannya secara langsung lewat daring di kios Blok A Tanah Abang, Jakarta, Selasa (13/6/2023). Penjualan secara daring menjadi salah satu strategi pedagang untuk menjangkau konsumen yang lebih luas.
Pada kesempatan sama, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menyampaikan, mereka mendukung UMKM Indonesia untuk mengadaptasi teknologi digital.
Dukungan itu diberikan, selain dengan meningkatkan infrastruktur telekomunikasi, juga dengan membuat program peningkatan kapasitas UMKM, seperti edukasi literasi digital, Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia, inkubator bisnis, dan mentoring digital UMKM Level Up.
”Kami mendukung UMKM go digital karena digitalisasi ini, kan, keniscayaan dalam perkembangan masyarakat. Peran transformasi digital terbukti selama masa pandemi Covid-19 membuat 80 persen pelaku ekonomi digital bertahan dan 25 persen bisnis online baru tercipta selama pandemi,” paparnya.
Di sisi lain, ia menyadari teknologi digital dapat menjadi pisau bermata dua bagi UMKM. Oleh karena itu, ia mendukung adanya ekosistem usaha digital yang berkeadilan. ”Digitalisasi membuat semua borderless, lintas batas negara makin sumir untuk menjaga produk dalam negeri bisa dipertahankan. Sekarang itu memang sudah zamannya fair trade, bukan lagi free trade,” ujarnya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki berbincang dengan pelaku UMKM saat meninjau pusat grosir busana Tanah Abang, Jakarta, Selasa (19/9/2023). Para pedagang mengeluhkan turunnya omset karena kalah bersaing dalam harga dengan barang sejenis impor.
Sebagai upaya menghadirkan keadilan dan perlindungan bagi UMKM dalam perdagangan elektronik atau e-dagang, pemerintah juga akan segera mengeluarkan hasil revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Revisi ini direncanakan melengkapi kewenangan pemerintah dalam mengatur predatory pricing di e-dagang. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mendukung hal ini dalam tiga hal (Kompas.com, 21/9/2023).
Pertama, aturan itu harus melarang penjualan produk impor di bawah 100 dollar atau Rp 1,5 juta. Sebab, menurut dia, jika hal itu tidak dilarang, masyarakat menengah ke bawah akan ramai-ramai belanja produk impor murah di bawah 100 dollar AS.
Kedua, peritel meminta agar permendag mengatur predatory pricing, sebagaimana temuan pemerintah, termasuk Menteri Koperasi dan UKM.
”Poin terakhir adalah dalam permendag itu harus ada soal perlindungan konsumen. Makanya, kami minta diatur. Jadi, kami mendesak dan berharap biar bisa direalisasikan aturan ini,” kata Roy.