Tahun Politik Indonesia Tak Pengaruhi Minat Investor Asing
Indonesia menjadi salah satu magnet berinvestasi di ASEAN. Pelaku usaha mengingatkan akan adanya risiko ”policy u-turn” meski diperkirakan lebih rendah pada transisi kepemimpinan selanjutnya.
JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan-perusahaan asing berencana berekspansi ke Indonesia karena dianggap memiliki peluang yang menjanjikan. Hal ini menunjukkan pemilihan umum tak berpengaruh pada keputusan investor untuk berinvestasi meski sejumlah tantangan masih membayangi.
Dalam riset HSBC Global Connection, Indonesia merupakan pasar terbesar ASEAN dengan sektor sumber daya yang kaya. Hal ini menjadi daya tarik Indonesia di mata perusahaan-perusahaan asing.
Baca juga: Ekonomi Asia Pasifik Termasuk Indonesia Bersinar
Berdasarkan riset tersebut, sebanyak 25 persen pelaku usaha asing yang saat ini belum menanamkan modalnya di Indonesia berencana masuk ke pasar Indonesia dalam dua tahun ke depan. Lebih dari setengahnya (34 persen) didominasi perusahaan Hong Kong.
”Apa yang kami lihat di sini adalah kepercayaan diri yang sungguh-sungguh di region Asia, dan hal itu terjadi di Indonesia. Indonesia memiliki peluang investasi besar bagi perusahaan-perusahaan (asing),” ujar Head of Commercial Banking, South and Southeast Asia Amanda Murphy HSBC di Jakarta, Senin (18/9/2023).
HSBC Commercial Banking menjaring 3.509 perusahaan yang berbasis di pasar China, India, Inggris, Perancis, Jerman, Amerika Serikat, Australia, Hong Kong, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Bahrain, Qatar, Oman, dan Kuwait. Responden merupakan pemegang keputusan dari perusahaan-perusahaan beromzet tahunan minimal 5 juta dollar AS. Mereka telah melakukan bisnis di Asia Tenggara atau mempertimbangkan untuk melakukannya. Survei berlangsung 25 Juli-2 Agustus 2023.
Indonesia menjadi magnet bagi perusahaan-perusahaan asing karena jumlah penduduk yang besar hingga 278,7 juta jiwa per medio 2023 (BPS). Sementara jumlah kelas menengah sebanyak 64 juta jiwa sehingga menyediakan pasar domestik yang besar. Produk domestik bruto (GDP) Indonesia tembus 1 triliun dollar AS sehingga memberi prospek positif bagi perusahaan yang ingin berekspansi.
Hal itu yang mengakibatkan perusahaan internasional tertarik berinvestasi di Indonesia. Selain itu, kestabilan politik, iklim pemerintahan dan peraturan yang mendukung, serta proyeksi ekonomi yang optimis menjadi pertimbangan lain.
Baca juga: Dunia Usaha Dibayangi Ketidakpastian Tahun Politik
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani, tiap perusahaan berbeda-beda dalam mengukur prospek bisnisnya, menyesuaikan kebutuhan dan ekspektasi pasar yang berbeda. Namun, prospek usaha akan bergantung pada pertumbuhan daya beli, pertumbuhan skala pasar, dan permintaan pasar.
”Semakin stabil pertumbuhan pasar ditinjau dari tiga elemen ini, akan semamkin baik dan semakin atraktif untuk perluasan usaha, baik bagi pelaku usaha nasional maupun asing,” ujarnya secara terpisah.
Hal yang membedakan pada kompleksitas regulasi untuk realisasi investasi. Sebab, beban regulasi ekspansi usaha bagi perusahaan asing lebih tinggi ketimbang nasional.
Tahun politik
Jelang Pemilu 2024, risiko yang memengaruhi iklim investasi tetap ada meskipun rendah.
Amanda menambahkan, para perusahaan telah memiliki pandangan jangka panjang. Mereka memang membutuhkan kepastian dan stabilitas, tetapi pemilu terjadi di mana saja dan bukan berarti menghentikan rencana yang disusun.
”Jadi, saya kira, kita memiliki sejarah pemilu yang sangat baik. Mereka (perusahaan) telah (berada) di sini dalam waktu yang lama melewati berbagai pemimpin,” katanya.
Korporasi akan menemukan cara untuk mengatur strateginya saat kebijakan-kebijakan suatu negara jelas bagi mereka. Hal itu tak dipengaruhi partai dan pihak yang menyusun aturan-aturannya.
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah sepakat bahwa pemilu tak berpengaruh pada keputusan perusahaan berinvestasi. Hal ini tecermin pula dari tingkat investasi yang tetap tumbuh pada tahun politik.
”Kita, kan, sudah mengalami pemilu beberapa kali, dan kalau kita lihat pada periode-periode itu, data menunjukkan (pemilu) tak berpengaruh pada investasi. Jadi, tak ada kekhawatiran sebenarnya pada investor terkait pelaksanaan pemilu,” kata Piter saat dihubungi secara terpisah.
Baca juga: Ekonomi Global Tak Menentu, Investasi Berkualitas Perlu Lebih Didorong
Selama ini, hasil pemilu Indonesia berjalan denga aman dan lancar. Tak ada gejolak dan hal-hal lain yang berdampak negatif terhadap kelangsungan usaha.
Piter mengatakan, sejauh ini tak ada investasi yang dirugikan karena perubahan rezim. Regulasi pemerintah Indonesia selama ini konsisten. Perubahan yang terjadi tak mengancam investasi itu sendiri sehingga unsur itu pula yang menjadi pertimbangan investor.
Meski demikian, Shinta menilai rekam jejak transisi kepemimpinan politik 20 tahun terakhir memiliki kecenderungan kebijakan berbalik arah atau policy u-turn di Indonesia sangat tinggi. Para calon pemimpin baru pun belum memublikasikan agenda ekonominya sehingga tingkat risikonya belum dapat diperkirakan.
Ia meyakini, risiko policy u-turn akan lebih rendah pada transisi kepemimpinan berikutnya. Alasannya, dukungan publik terhadap kebijakan ekonomi saat ini sangat baik. Selain itu, landscape tantangan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 20 tahun ke depan akan relatif serupa dengan saat ini. Beberapa di antaranya berupa risiko penurunan daya saing industri karena industri 4.0, proliferasi digitalisasi ekonomi, serta tren ekonomi hijau dan tuntutan menciptakan net zero economy.
”Karena itu, kalau pemimpin baru kita rasional dan prudent, mereka akan memiliki arah kebijakan yang sama meskipun mungkin ada beberapa kebijakan yang akan diganti atau disempurnakan,” kata Shinta.
Konstituen ekonomi Indonesia, yakni masyarakat dan pelaku usaha, menuntut pertumbuhan yang konsisten terhadap pemerintah. Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis, produktif, dan maju secara ekonomi. Alhasil, jika pimpinan baru demokratis dan mendengarkan aspirasi konstituennya, mereka akan memiliki arah kebijakan yang sama dengan sekarang.
Tantangan Indonesia
Guna menanamkan modalnya, Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Dalam riset HSBC, negara ini memiliki pekerjaan rumah, mulai dari sumber daya manusia hingga aspek keberlanjutan.
Sebanyak 32 persen responden perusahaan menilai sulit menemukan pekerja yang sesuai, khususnya dalam aspek digital. Selain itu, 31 persen pemegang keputusan menyebut kurangnya dukungan pemerintah terhadap aspek keberlanjutan (sustainable).
Managing Director dan Head of Wholesale Banking PT Bank HSBC Indonesia Riko Tasmaya menambahkan tantangan lainnya. ”Kompleksitas pasar dalam hal geografis, karakteristik pasar, dan konteks budaya dapat menjadi tantangan tersendiri,” ujarnya.
Baca juga: Menguji Tuah Investasi