Pemerintah Sebaiknya Fokus pada Transparansi dan Perlindungan
Pemerintah juga harus mengambil sikap ketika terjadi persaingan tidak sehat di pasar e-dagang.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Pengunjung melihat media sosial milik peserta pameran UMKM di Balai Pemuda, Surabaya, Jatim, Kamis (14/9/2023). Pameran-pameran sejenis yang rutin dilakukan menjadi tempat yang efektif pelaku UMKM mengenalkan produknya.
JAKARTA, KOMPAS — Model bisnis perdagangan secara elektronik atau e-dagang akan terus berkembang sehingga pengaturan yang bersifat mengelompokkan model bisnis berisiko tidak tepat sasaran. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah fokus memberikan perlindungan kepada produsen dalam negeri, terutama pelaku UMKM, dan konsumen.
Peneliti Center of Digital Economy and Small Medium Enterprises di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, Senin (18/9/2023), di Jakarta, berpendapat, saluran transaksi daring yang populer dimulai dari aplikasi pesan instan, berikutnya media sosial, lokapasar, dan terakhir adalah laman toko pribadi setiap penjual. Apabila ada satu saluran itu yang ditutup, seperti wacana pemerintah untuk melarang media sosial dipakai berdagang, hal itu akan menghilangkan tahapan transaksi. Dampak negatifnya akan dirasakan pembeli ataupun penjual.
Lebih jauh, dia memandang, pesatnya teknologi pemasaran digital biasanya diikuti dengan pertukaran data lintas platform. Salah satu keuntungan pemasaran digital yaitu membuat target barang/jasa yang dijual lebih relevan dengan kebutuhan konsumen.
”Jika negara (pemerintah) sampai mengatur algoritma platform, ini mungkin akan sulit diatur. Pemerintah mungkin cukup mendorong transparansi data yang dikumpulkan dan dikelola platform,” kata Nailul.
Praktisi ekonomi digital, Ignatius Untung, saat dihubungi terpisah, berpendapat, regulasi yang bersifat kategorisasi model bisnis e-dagang kurang tepat. Alasannya, model bisnis e-dagang akan terus berkembang dan ada kemungkinan muncul model baru pada masa mendatang.
Sebagai gantinya, pemerintah perlu fokus memberikan perlindungan kepada produsen dalam negeri, terutama pelaku UMKM, dan konsumen. Pemerintah juga harus mengambil sikap ketika terjadi persaingan tidak sehat di pasar e-dagang.
”Alangkah bijak apabila pemerintah menaruh perhatian pada manfaat yang bisa diperoleh oleh produsen dalam negeri ataupun konsumen dari aneka platform yang memfasilitasi e-dagang,” ujarnya.
Di tengah memanasnya dinamika social commerce yang terjadi beberapa pekan terakhir, Ignatius memandang, kementerian/lembaga perlu duduk bersama. Lalu, mereka mengundang lokapasar, perusahaan media sosial, afiliator, produsen, dan pembeli. Melalui cara dialog seperti itu, harapannya akan lahir solusi jalan tengah.
”Jangan sampai Indonesia bereaksi secara tidak akurat,” katanya.
Sebelumnya, dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Senin (4/9/2023), di Jakarta, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki berpendapat, pemerintah perlu mengatur tentang pemisahan bisnis media sosial dan e-dagang. Pemerintah juga perlu mengatur tentang cross border e-commerce atau model penjual di luar negeri dapat langsung menjual barangnya kepada konsumen dalam negeri melalui platform e-dagang agar UMKM dalam negeri bisa bersaing di pasar digital Indonesia.
Sementara Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga S Uno, melalui akun resminya di Instagram yang terhubung dengan akun Kemenparekraf, Sabtu (16/9/2023), memandang, apa yang dilakukan oleh Tiktok Shop sama seperti Facebook dan Instagram, yaitu social commerce.
Adyatama Kepariwisataan dan Ekonomi Kreatif Ahli Utama di Kemenparekraf/Baparekraf, Nia Niscaya, saat menghadiri konferensi pers mingguan Kemenparekraf/Baparekraf, Senin (18/9/2023), di Jakarta, menekankan, secara nasional sudah ada kampanye Bangga Buatan Indonesia untuk mendukung UMKM. Kampanye ini harus didukung oleh apa pun jenis platform yang dapat dipakai berjualan.
Meta Indonesia belum merespons ketika ditanya tanggapannya mengenai kemelut isu media sosial yang bisa dipakai untuk berjualan atau social commerce.
Pekan lalu, Tiktok Indonesia, seperti dikutip dari Reuters, memandang, memisahkan media sosial dan e-dagang ke dalam platform berbeda akan menghambat inovasi. Head of Communications Tiktok Indonesia Anggini Setiawan menyebut pemisahan bakal merugikan pedagang dan konsumen.
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga mengatakan, idEA telah memberi masukan terkait rencana pemerintah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Ini dilakukan saat beberapa kali audiensi dengan pemerintah. Namun, hingga sekarang, idEA belum memegang draf revisi sehingga enggan berkomentar.