Penerapan prinsip kelestarian pada pengembangan ekosistem kendaraan listrik di ASEAN semestinya datang dari kebutuhan masyarakat dalam melindungi lingkungan dan hak asasi manusia.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·5 menit baca
Prinsip hijau perlu diterapkan dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik di negara-negara anggota ASEAN dari hulu hingga hilir. Prinsip-prinsip yang sarat dengan kelestarian atau sustainability itu setidaknya tecermin lewat pemanfaatan energi hijau serta tata kelola sumber daya manusia dan alam dalam penambangan material bahan baku.
Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, menjadi saksi deklarasi para pemimpin negara peserta Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-$2 ASEAN pada 10 Mei 2023 yang berkomitmen mengembangkan ekosistem kendaraan listrik (electric vehicles/EV). Deklarasi itu muncul salah satunya dilatarbelakangi oleh komitmen Konvensi Kerangka Kerja Persatuan Bangsa-Bangsa/PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Selaras dengan deklarasi itu, kepemimpinan Indonesia pada ASEAN juga menetapkan peta jalan harmonisasi standar untuk mendukung penerapan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) sebagai salah satu prioritas ekonomi (priority economic deliverables). Menteri-menteri ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Ministers’/AEM telah mengesahkan prioritas itu dalam pertemuan retret ke-29 di Magelang, Jawa Tengah, pada Maret 2023.
Direktur Perundingan ASEAN Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Dina Kurniasari memaparkan, peta jalan itu berisi identifikasi standar internasional yang berpotensi untuk diadopsi serta rekomendasi rencana aksi yang dapat dilaksanakan, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang. ”Harapannya, peta jalan ini selesai pada akhir tahun (2023),” ujarnya saat dihubungi, Jumat (15/9/2023).
Peta jalan harmonisasi standar untuk mendukung SDGs itu berada dalam naungan ASEAN Consultative Committee for Standards and Quality (ACCSQ). Lembaga ini telah mengidentifikasi 276 standar terharmonisasi serta 55 regulasi dan persyaratan teknis yang berkaitan dengan SDGs.
Sementara itu, Deputy Secretary-General of ASEAN Satvinder Singh menyatakan, kerangka komitmen pengembangan ekosistem EV merupakan sistem yang memperhatikan keberlanjutan atau kelestarian (sustainability). ”Menurut saya, tidak cukup hanya mengendarai EV. Fokus pengembangan ekosistem EV juga harus memerhatikan sumber listriknya. Dengan demikian, (prinsip-prinsip kelestarian) terdapat pada seluruh rantai pasok (EV),” tuturnya saat ditemui setelah penutupan AEM Meeting Ke-55 di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (22/8/2023).
Sayangnya, sumber listrik dominan di ASEAN yang menjadi tenaga bagi EV masih berasal dari energi fosil. Dalam publikasi berjudul Southeast Asia Energy Outlook 2022 yang diterbitkan Agency Energi Internasional (IEA) pada Mei 2022, minyak bumi menyumbang 31,95 persen dan batubara memberi andil 25,77 persen dalam bauran energi negara-negara di Asia Tenggara pada 2020.
Segmen EV pada laman resmi IEA menyatakan, kendaraan listrik merupakan teknologi penting dalam upaya mengurangi emisi karbon dari sektor transportasi. Sektor tersebut memiliki andil seperenam dari total emisi karbon global. Publikasi IEA berjudul ”World Energy Outlook 2022” menunjukkan, kendaraan listrik menjadi lokomotif transisi energi bersih dari segi permintaan masyarakat.
Terapkan kelestarian
Di sisi lain, peneliti Transnational Institute, Rachmi Hertanti, berpendapat, penerapan prinsip-prinsip kelestarian dalam pengembangan ekosistem EV jangan hanya karena desakan pasar dalam kompetisi perdagangan dunia.
”Pasar yang menjadi target (ekspor EV selain negara-negara anggota ASEAN) ialah AS dan Uni Eropa. Keduanya memiliki komitmen tinggi soal lingkungan, hak asasi manusia, dan energi hijau,” katanya saat dihubungi.
Dia menilai, penerapan prinsip-prinsip kelestarian pada agenda pengembangan ekosistem EV di ASEAN semestinya datang dari kebutuhan masyarakat dalam melindungi lingkungan dan hak asasi manusia (HAM). Dia mempertanyakan keterlibatan publik dalam keputusan pengembangan ekosistem EV di ASEAN. Bagi masyarakat, pengembangan ekosistem EV justru menimbulkan kekhawatiran dalam isu ketenagakerjaan di sepanjang rantai pasok.
Di sisi hulu, produksi EV yang melibatkan baterai membutuhkan mineral kritis beserta aktivitas penambangan. Agar selaras dengan nilai-nilai pembangunan lestari, aktivitas penambangan mesti menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan yang turut memperhatikan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja. Nilai-nilai itu tertuang dalam dokumen berjudul Prinsip-prinsip Pertambangan yang dipublikasikan International Council on Mining and Metals (ICMM) dan dimutakhirkan pada Juni 2023.
Dua dari 10 prinsip aktivitas pertambangan yang dikembangkan ICMM berkaitan dengan HAM serta kesehatan dan keselamatan kerja. Dalam prinsip HAM, terdapat 9 poin ekspektasi kinerja, seperti mendukung Panduan Prinsip-prinsip Bisnis dan HAM PBB dengan mengembangkan kebijakan yang berkomitmen pada penghormatan pada HAM serta mengadakan uji tuntas HAM dan ruang kerja sama remediasi apabila anggota perusahaan ICMM menimbulkan dampak buruk pada HAM.
Poin ekspektasi kinerja penerapan prinsip HAM yang ditetapkan ICMM juga meminta pelaku usaha tambang menghormati hak-hak tenaga kerja. Misalnya, tidak mempekerjakan anak dan pekerja paksa, tidak memberikan tugas berbahaya bagi yang berusia di bawah 18 tahun, menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan pelecehan, menghormati kebebasan berserikat dan mengadakan perundingan bersama, serta menyediakan mekanisme yang tepat untuk mengatasi keluhan pekerja.
Prinsip HAM yang dicanangkan ICMM juga menyangkut kesejahteraan tenaga kerja. Poin ekspektasi kinerja dalam prinsip HAM meminta pelaku usaha tambang memberikan upah yang adil bagi pekerja sesuai dengan hukum yang berlaku serta kompetitif. Pelaku usaha tambang juga diminta menetapkan jam kerja rutin (reguler) dan lembur dalam batas yang sesuai dengan hukum yang berlaku.
Adapun prinsip kesehatan dan keselamatan kerja yang ditetapkan ICMM berorientasi pada peningkatan kinerja terhadap kesehatan fisik dan psikologis serta keselamatan kerja secara terus-menerus dengan tujuan utama nol kecelakaan. Oleh sebab itu, pelaku usaha tambang diminta memantau kinerja pertambangan demi menghilangkan kasus kematian di tempat kerja, cedera serius, dan bahaya psikososial. Pelaku usaha juga perlu memberikan pelatihan pada tenaga kerja sesuai dengan tanggung jawabnya dalam rangka menjaga kesehatan fisik dan mental serta keselamatan dalam bekerja. Pemantauan kerja berbasis risiko juga perlu diterapkan.
Agar aktivitas pertambangan yang bertujuan menyokong pengembangan EV menyejahterakan masyarakat, keterlibatan warga lokal patut menjadi perhatian. Publikasi Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2017 yang berjudul ”Sustainable Mining” menggarisbawahi ekspektasi masyarakat lokal yang tinggi untuk diserap dalam aktivitas pertambangan. Namun, pelaku usaha tambang kerap menyerap dalam jumlah terbatas karena ada kesenjangan keterampilan. Kesenjangan itu dapat diatasi dengan upaya dari pelaku usaha tambang untuk mengadakan program magang dan pengembangan profesional.
Tak hanya dari segi ketenagakerjaan, Rachmi juga menggarisbawahi prinsip perlindungan lingkungan dalam pengembangan ekosistem EV. Prinsip-prinsip pertambangan ICMM meminta pelaku usaha tambang mengelola limbah dan mencegah polusi. Potensi dampak polutan dan limbah pada kesehatan masyarakat dan lingkungan patut dipertimbangkan. Pelaku usaha tambang juga diminta untuk berkontribusi dalam konservasi keanekaragaman hayati.
Di sisi hilir, pengembangan ekosistem EV di tingkat ASEAN mesti memperhatikan pengelolaan dan pengolahan limbah baterai kendaraan listrik. Pada awal 2023, anggota Ombudsman RI, Hery Susanto, menyatakan, timnya menemukan limbah baterai hasil konversi kendaraan konvensional ke kendaraan listrik yang masih tersimpan serta tanpa pengolahan atau daur ulang. Oleh sebab itu, dia mengimbau pemerintah untuk mendorong investasi di sektor yang bergerak dalam pengelolaan dan daur ulang limbah baterai kendaraan listrik.
Karena bertujuan untuk pembangunan lestari, pengembangan ekosistem kendaraan listrik di tingkat ASEAN tak boleh lepas dari nilai-nilai hijau, baik dari segi energi yang digunakan, kebijakan ketenagakerjaan, hingga pengelolaan limbah. Jangan sampai, pengembangan ekosistem EV hanya sekadar jargon hijau yang praktiknya jauh dari prinsip-prinsip kelestarian.