Sebagai salah satu komoditas andalan Tanah Air, industri kakao terus berinovasi. Namun, hal ini memerlukan dukungan pasokan produksi, terutama dari dalam negeri.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Kontribusi biji kakao lokal untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri masih minim. Padahal, sektor menengah dalam rantai pasok industri kakao terus berkembang sehingga permintaan terhadap biji kakao terus meningkat. Oleh sebab itu, para pelaku industri kakao berkomitmen untuk menggenjot produktivitas sektor hulu atau petani.
Hal itu mengemuka dalam konferensi pers International Cocoa Conference yang ke-8 yang dihelat oleh Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) di Denpasar, Bali, Kamis (14/9/2023). Hadir dalam jumpa pers, antara lain, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Putu Juli Ardika, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Askindo Arief Susanto, Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo) Soetanto Abdoellah, dan Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Piter Jasman.
Putu mengatakan, penyerapan produksi biji kakao lokal untuk memenuhi kebutuhan industri terus menurun. Adapun pada tahun 2014 produksi biji kakao dalam negeri mampu memasok kebutuhan industri hingga 70 persen.
”Namun, pada tahun 2021 sebagian besar kebutuhan bahan baku untuk industri justru berasal dari impor, yakni 63 persen, dan 37 persen itu dari produksi lokal. Kondisi tersebut mulai membaik pada tahun 2022 seiring dengan berkembangnya pelaku artisan atau crafting kakao pada lini menengah industri sehingga bahan baku lokal yang terserap pun menjadi 45 persen dan impor berkurang 55 persen,” ujarnya.
Artisanal atau artisan merupakan pelaku industri kecil menengah (IKM) yang mengolah biji kakao, biasanya dengan hasil buatan tangan (handmade). Lebih lanjut, Kemenperin menyebut artisan cokelat adalah salah satu produk hilirisasi industri kakao yang langsung berasal dari petani secara berkelanjutan.
Berkembangnya pelaku artisan kakao beberapa waktu terakhir, kata Putu, menunjukkan besarnya potensi inovasi produk kakao di Indonesia. Per awal tahun 2023 sedikitnya terdapat 11 industri pengolahan kakao skala menengah (intermediate) dengan kapasitas sebesar 739.250 ton per tahun, 900 industri pengolahan cokelat dengan kapasitas 462.126 ton per tahun, dan 31 artisan cokelat atau bean to bar dengan kapasitas 1.242 ton per tahun.
Secara keseluruhan, nilai ekspor produk kakao olahan skala menengah dengan 96 negara tujuan pada tahun 2021 tercatat 1,08 miliar dollar AS. Ekspor produk-produk olahan, seperti cocoa liquor, cocoa butter, cocoa cake, dan cocoa powder, membuat Indonesia sebagai negara industri pengolahan cokelat terbesar di dunia setelah Belanda dan Pantai Gading.
Mereka (artisan) bisa menjadi ujung tombak branding karena memiliki keunikan yang luar biasa dan tidak bisa disamakan dengan yang lain. Maka dari itu, kami tengah menyiapkan sumber daya manusia dengan harapan akan ada entrepreneur- entrepreuner di daerah-daerah pusat produksi kakao.
Menurut Putu, pangsa pasar cokelat artisan saat ini hanya mencapai 2 persen dari total konsumsi cokelat dalam negeri yang masih didominasi oleh cokelat industrial. Namun, cokelat artisan masih berpeluang untuk mengembangkan pangsa pasar hingga 10 persen.
”Mereka (artisan) bisa menjadi ujung tombak branding karena memiliki keunikan yang luar biasa dan tidak bisa disamakan dengan yang lain. Maka dari itu, kami tengah menyiapkan sumber daya manusia dengan harapan akan ada entrepreneur-entrepreuner di daerah-daerah pusat produksi kakao. Selain itu, pemerintah juga akan membiayai pembelian bahan baku sebesar 30 persen,” tuturnya.
Belakangan ini aspek keberlanjutan menjadi isu global, tak terkecuali permintaan dalam rantai pasok kakao. Aspek tersebut turut menjadi salah satu tantangan dalam mengembangkan industri kakao dalam negeri.
Menurut Arief, pengembangan inovasi melalui berbagai riset dapat memacu produktivitas petani sekaligus mendukung aspek keberlanjutan. Hal ini mengingat rata-rata satu hektar kebun hanya mampu memproduksi kakao sekitar 300 kilogram per tahun.
Padahal, idealnya per satu hektar kebun kakao mampu menghasilkan hingga 1 ton kakao. Dengan meningkatnya produktivitas tersebut, para petani diharapkan semakin sejahtera.
”Konferensi ini salah satunya sebagai upaya untuk mendukung program dari pemerintah dalam rangka memperkuat hilirisasi pada komoditas kakao. Selain itu, kami berharap komoditas kakao menjadi tuan rumah atau bahkan masuk dalam rantai pasok global,” ujar Arief.
Oleh sebab itu, melalui konferensi kakao internasional ke-8 yang berlangsung 14-15 September 2023, para pelaku industri berupaya mencari jalan tengah atas tantangan global tersebut. Konferensi internasional tersebut mengusung tema ”Paradigm Shifting: Global Cocoa and Supply Chain through Innovation, Growth, and Sustainability” yang dihadiri oleh 400 pegiat kakao dan cokelat dari 16 negara.
Badan Pusat Statistik melaporkan, produksi kakao pada tahun 2022 mencapai 667.300 ton atau turun 3 persen dibandingkan dengan tahun 2021 yang sebesar 688.200 ton. Jumlah tersebut lebih rendah ketimbang produksi pada tahun 2020 yang mampu menembus angka 700.000 ton.
Soetanto Abdoellah memaparkan, penurunan produksi itu utamanya disebabkan oleh usia tanaman kakao yang saat ini mencapai lebih dari 40 tahun. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya rehabilitasi lahan dan penanaman kembali.
”Rata-rata pohon kakao kita ditanam pada tahun 1980-an. Sementara pohon kakao mencapai puncak produktivitas pada usia 10 sampai 15 tahun. Seharusnya pada usia 25 tahun itu dilakukan penanaman kembali (replanting),” tuturnya.
Selain itu, faktor lain yang menyebabkan produksi kakao nasional menurun ialah para petani mengganti kakao dengan tanaman lain lantaran dinilai kurang mencukupi kebutuhan. Karena itu, artisan kakao diharapkan dapat menjadi lokomotif untuk menarik kembali minat petani menanam kakao.