Kesesuaian Keterampilan di Dalam Negeri Tentukan Diaspora Pulang
Sesuai survei yang digelar oleh perusahaan perekrutan tenaga kerja profesional Robert Walters Indonesia, pada 2022, sebanyak 60 persen dari 200 diaspora Indonesia berencana kembali ke Indonesia dalam lima tahun.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan industri dalam negeri yang dianggap belum semaju di luar negeri memengaruhi permintaan keterampilan yang dibawa oleh diaspora Indonesia. Pemerintah diminta menciptakan iklim ketenagakerjaan yang mendukung para diaspora mengaplikasikan keterampilannya di Tanah Air.
”Banyak diaspora Indonesia sebenarnya ingin kembali ke Tanah Air, tetapi akhirnya harus berhadapan dengan isu kesesuaian keterampilan yang mereka punya dengan lapangan pekerjaan di dalam negeri. Gaji memang penting, tetapi kesesuaian keterampilan jadi faktor yang lebih penting bagi mereka sebelum memutuskan kembali,” ujar Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira, Rabu (13/9/2023), di Jakarta.
Untuk mengatasi permasalahan itu, pemerintah bisa memfasilitasi pelaku industri swasta dalam negeri untuk meningkatkan penelitian yang melibatkan diaspora Indonesia. Industri yang berpartisipasi bisa diberikan insentif pengurangan pajak dari penghasilan bruto paling tinggi (super tax deduction). Pemerintah perlu pula menjaga stabilitas politik supaya iklim investasi tetap menarik.
Pemerintah juga bisa meminta diaspora Indonesia dengan keterampilan yang dimiliki untuk menjadi mentor. Beberapa lembaga pelatihan milik pemerintah membutuhkan tenaga pelatih terampil, tetapi sering kali pemenuhannya tidak optimal.
”Jika diaspora Indonesia dipekerjakan sebagai mentor, keterampilan yang mereka miliki tetap terpakai. Mereka juga sekaligus bisa transfer ilmu,” ujar Bhima.
Solusi selanjutnya, pemerintah mendorong badan usaha milik negara (BUMN) terus inovatif. Berbagai riset dan pengembangan yang dilakukan BUMN seharusnya bisa melibatkan diaspora Indonesia.
”Semacam rekrutmen profesional secara khusus. BUMN telah menerapkan ini, tetapi perlu diperbanyak. Saya rasa, upaya seperti itu sebagai bentuk penghargaan kepada diaspora juga,” imbuhnya.
Sesuai survei yang digelar oleh perusahaan perekrutan tenaga kerja profesional Robert Walters Indonesia, pada 2022, sebanyak 60 persen dari 200 diaspora Indonesia menyatakan berencana kembali ke Indonesia dalam lima tahun mendatang. Temuan ini menunjukkan adanya kenaikan dibandingkan survei yang sama tahun 2021. Pada saat itu, hanya 46 persen responden diaspora yang mempertimbangkan pulang ke Tanah Air.
Sebanyak 56 persen dari 200 diaspora yang disurvei menyatakan, situasi perekonomian memengaruhi keputusan mereka menetap di perantauan atau kembali ke Indonesia.
Country Head Robert Walters Indonesia Eric Mary saat ditemui, Rabu, mengatakan, total diaspora Indonesia yang masuk dalam jaringan Robert Walters mencapai ribuan orang. Setiap tahun selalu ada diaspora Indonesia yang direkrut oleh perusahaan di Indonesia melalui Robert Walters.
”Keterampilan yang dimiliki oleh diaspora memegang peranan kunci bagi perusahaan di Indonesia dalam memutuskan merekrut. Kecenderungan keterampilan yang dicari masih seputar teknologi,” ujarnya.
Menyoal besaran gaji, lanjut Eric, setiap klien perusahaan memiliki kebijakan berbeda. Akan tetapi, klien umumnya memberikan gaji sesuai dengan tingkat keterampilan yang dimiliki tenaga kerja.
”Ada perusahaan beroperasi di Indonesia berani membayar tinggi karena diaspora Indonesia punya keterampilan mumpuni. Perusahaan bersangkutan juga merasa ingin mempertahankan diaspora Indonesia dalam waktu lama,” ucapnya.
Peneliti Center of Macroeconomics and Finance di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Deniey A Purwanto, menilai, investasi yang diperlukan Indonesia adalah investasi yang menyasar sektor-sektor industri dengan nilai tambah tinggi bagi perekonomian. Ini biasanya membutuhkan sumber daya manusia terampil dan diaspora seharusnya punya porsi besar untuk mengisinya.
Keterampilan yang dimiliki oleh diaspora memegang peranan kunci bagi perusahaan di Indonesia dalam memutuskan merekrut.
Akan tetapi, Deniey mengatakan, tantangannya sekarang masih terjadi fenomena tenaga kerja berkewarganegaraan asing yang punya keterampilan dipekerjakan di Indonesia, lalu mereka digaji mengikuti standar yang berlaku di negaranya atau bahkan standar internasional. Implikasinya, lapangan kerja bagi tenaga kerja asing di Indonesia dengan lapangan kerja yang diharapkan oleh diaspora tidak sepenuhnya dapat saling menggantikan.
”Pemerintah semestinya mampu mendorong kondisi lapangan kerja dan gaji yang kompetitif,” katanya.
Salah satu diaspora Indonesia yang pulang dan memutuskan bekerja penuh di Indonesia adalah Fuad Husni. Dia lulus sebagai sarjana bidang ilmu komputer dari IPB University pada 2013. Dia sempat bekerja sebagai karyawan teknologi informasi di salah satu perusahaan di Jakarta sampai 2014.
Setelah itu, dia pindah bekerja di Malaysia dan Belanda. Total durasi bekerja di dua negara ini adalah sembilan tahun. Fuad menceritakan, tidak ada masalah keuangan yang dialami selama di luar negeri. Negara tempatnya merantau pun tidak menghadapi persoalan perekonomian.
”Saya bekerja di Malaysia dulu selama lima tahun, lalu mendapat tawaran pekerjaan di Belanda. Di dua negara ini, keterampilan bidang teknologi digital dicari-cari. Hanya saja, saya kerap merasa ingin dekat dengan keluarga besar di Indonesia sambil tetap bisa berkarya dengan keterampilan yang saya miliki,” ujarnya.
Ketika akhirnya mendapat informasi lowongan pekerjaan di Jakarta, Fuad cepat mengiyakan. Dia turut membawa keluarga kecilnya di perantauan pulang ke Tanah Air. Saat ini, dia bekerja di bidang pengembangan perangkat lunak.
”Di Indonesia, transformasi teknologi sedang berkembang,” katanya.