Ambisi ASEAN Jadi Pusat Produksi Kendaraan Listrik Butuh ”Gula-gula”
Untuk menjamin konektivitas industri kendaraan listrik di kawasan, negara-negara ASEAN bisa meniru konsep kebijakan insentif seperti Inflation Reduction Act (IRA) milik Amerika Serikat.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
Sebuah mobil listrik mengisi daya di kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi di Jakarta, Senin (6/3/2023). Pada Maret 2023, pemerintah menggulirkan program bantuan pemerintah atau insentif untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai.
JAKARTA, KOMPAS – Ambisi negara-negara ASEAN untuk membentuk ekosistem kendaraan listrik regional perlu diiringi kebijakan ”pemanis” untuk melindungi konektivitas industri di kawasan. Negara-negara ASEAN bisa membuat kebijakan insentif sejenis Inflation Reduction Act milik Amerika Serikat untuk menyatukan basis pasar dan produksi di kawasan.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-43 ASEAN yang resmi ditutup Kamis (7/9/2023) di Jakarta, negara-negara ASEAN di bawah keketuaan Indonesia sepakat mengembangkan ekosistem industri kendaraan listrik regional dengan melibatkan negara-negara mitra di kawasan Indo-Pasifik atau ASEAN+3, yaitu Korea Selatan, Jepang, dan China.
Kepala Center of Trade Industry and Investment di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menilai, komitmen itu terancam tidak efektif jika hanya berakhir dalam bentuk konsep kesepakatan, tanpa diiringi kebijakan konkret di tiap-tiap negara Asia Tenggara untuk menjamin konektivitas industri hulu ke hilir di kawasan.
”Kalau hanya sepakat membentuk ekosistem, ekosistem yang seperti apa? Perlu ada kebijakan yang applicable untuk menjamin ekosistem itu terbentuk. Bentuknya konkret dengan kebijakan yang seragam di setiap negara ASEAN untuk menjamin konektivitas itu,” kata Andry saat dihubungi di Jakarta, Jumat (8/9/2023).
Menurut dia, negara-negara ASEAN bisa meniru konsep kebijakan seperti Inflation Reduction Act (IRA) milik Amerika Serikat guna melindungi pemain industri di kawasan beserta mitra di luar kawasan yang terlibat perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara ASEAN.
Kebijakan insentif sejenis itu bisa menjadi ”gula-gula” pemanis yang mendatangkan investasi dan menjamin konektivitas perdagangan di kawasan. Insentif juga tidak hanya diberikan kepada pelaku industri dan investor, tetapi juga konsumen yang membeli kendaraan listrik hasil produksi negara-negara ASEAN dan mitra.
Misalnya, produsen mendapat insentif pajak jika mobil listrik yang mereka jual di Indonesia menggunakan komponen yang berasal dari Indonesia atau negara-negara ASEAN dan mitra. Kebijakan ini bisa mencegah Indonesia dan ASEAN sekadar menjadi negara pasar atau saluran distribusi (dealer) kendaraan listrik yang dirakit di negara lain di luar kawasan.
Kalau hanya sepakat membentuk ekosistem, ekosistem yang seperti apa? Perlu ada kebijakan yang applicable untuk menjamin ekosistem itu terbentuk.
”Konsep IRA bisa kita tiru di ASEAN. Jadi, sifatnya kita bukan melarang, tetapi memberikan pemanis untuk produsen dan konsumen. Insentif ini juga harus kompak diterapkan di negara lain. Bukan hanya Indonesia, Thailand dan negara ASEAN lain yang sedang mengembangkan industri kendaraan listriknya juga bisa menerapkan insentif serupa,” tutur Andry.
Skema kebijakan itu juga bisa mengimbangi upaya ASEAN yang sedang berusaha melobi AS agar tidak mengucilkan negara-negara ASEAN dalam skema insentif IRA dan rantai pasok industri hijau mereka. Negosiasi ASEAN untuk terlibat dalam IRA ini juga menjadi salah satu isu yang dibahas selama penyelenggaraan KTT ASEAN.
Andry menilai, ada kemungkinan negosiasi ASEAN ke AS bisa tidak tercapai, mengingat upaya Indonesia untuk melakukan lobi-lobi sejauh ini juga belum menunjukkan tanda-tanda berhasil.
”Sepertinya akan mental, apalagi ranah IRA ini bukan hanya ditentukan oleh eksekutif AS, tetapi melibatkan parlemen AS. Jadi, kita bisa coba model kerja sama serupa saja di kawasan, supaya setidaknya produk kendaraan listrik yang dipasarkan di ASEAN adalah produk-produk yang juga diproduksi di ASEAN,” ujar Andry.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, Indonesia dan Filipina yang memiliki cadangan nikel besar bisa memainkan peran besar dalam rantai pasok kendaraan listrik regional sebagai pemasok baterai kendaraan listrik.
Sementara negara-negara lain seperti Thailand dan Malaysia bisa mengisi rantai pasok di sisi hilir atau perakitan kendaraan. ”Kita fokus saja di sisi hulu sesuai keunggulan komparatif kita. Nilai tambah baterai listrik itu sendiri di industri EV, kan, bisa mencapai 50 persen sendiri, jadi peran kita hanya dengan menjadi produsen baterai pun sudah besar sekali,” katanya.
Di antara negara-negara ASEAN sendiri, perlu ada kesepakatan pula untuk mengurangi hambatan nontarif yang selama ini membuat relasi perdagangan intraregional di kawasan kurang solid. ”Untuk membangun rantai pasok ini tidak hanya semudah menurunkan tarif, tetapi lebih pada menghilangkan hambatan nontarif, menyamakan standardisasi, prosedur, dan kebijakan yang sama di negara-negara ASEAN,” katanya.
Konsep IRA bisa kita tiru di ASEAN. Jadi, sifatnya kita bukan melarang, tetapi memberikan pemanis untuk produsen dan konsumen.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan, Indonesia terbuka untuk membangun rantai pasok yang lebih kuat dengan negara-negara ASEAN dan Indo-Pasifik lainnya. Indonesia tidak akan membeda-bedakan asal negara dan sudah memiliki keunggulan sendiri sebagai pemasok baterai listrik.
”Kalau perusahaan milik Vietnam, misalnya, mau investasi ke dalam negeri untuk kendaraan bermotor, kita terbuka karena kita, kan, sudah fokus di bagian baterainya. Yang penting, dalam ekosistem baterai kendaraan listrik itu, kita ingin memastikan bahwa hilirisasi nikel dan mineral lainnya itu harus terjadi di Indonesia,” tuturnya.
Di sisi lain, Indonesia masih terus berusaha melobi AS agar pelaku industri Indonesia bisa diberikan peluang untuk memanfaatkan subsidi hijau IRA.
Presiden Joko Widodo dalam pertemuan dengan Wakil Presiden AS Kamala Harris, Rabu (6/9/2023), menyebutkan, kerja sama Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) antara negara-negara Asia dan AS harus bisa memberikan manfaat nyata bagi negara anggotanya.
”Indonesia adalah produsen dan pemilik cadangan nikel terbesar dunia sehingga Indonesia bisa menjadi pemasok kebutuhan baterai untuk kendaraan listrik di AS. Kami mengajak AS untuk membahas pembentukan Critical Mineral Agreement,” ujarnya.