Pemanfaatan Potensi Ekonomi Laut Masih Belum Optimal
Kontribusi sektor maritim perlu didorong dengan mengembangkan industri pengolahan maritim serta industri jasa manufaktur, perawatan, dan perbaikan kapal.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya membangun sektor maritim dalam kerangka pembangunan jangka panjang 2045 masih menyimpan sederet tantangan, salah satunya adalah belum optimalnya pengembangan pemanfaatan potensi ekonomi laut. Lebih lanjut, transformasi sektor maritim perlu memperhatikan aspek pemerataan ekonomi, peningkatan daya saing produk, dan perikanan tangkap berkelanjutan.
Hal ini mengemuka dalam seminar nasional bertajuk ”Memperkokoh Visi Maritim Indonesia untuk Penyelamatan Wilayah Pesisir, Laut, dan Pulau Kecil” dalam Pertemuan Tahunan Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia (KTI) 2023, di Jakarta, Kamis (7/9/2023). Jaring Nusa KTI merupakan koalisi dari 15 organisasi, antara lain, Yayasan EcoNusa, Walhi Nasional, Walhi Sulawesi Selatan, Yayasan Hutan Biru, Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia, Yayasan Bonebula Sulteng, Yayasan PakaTiva Malut, dan Walhi Maluku.
Hadir dalam seminar tersebut adalah Pelaksana Tugas Direktur Kelautan dan Perikanan Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Sri Yanti, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Agus Suherman, dan Asisten Deputi Pengelolaan Ruang Laut dan Pesisir Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi M Rasman Manafi. Selain itu, Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan sekaligus dosen Manajemen Sumber Daya Kelautan IPB University Yonvitner, serta CEO Ocean Solution Indonesia M Zulficar Mochtar.
Sri Yanti menjelaskan, pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 memiliki visi untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai negara kepulauan. Oleh sebab itu, sumber daya kelautan perlu dioptimalkan dengan salah satu indikatornya adalah produk domestik bruto (PDB) maritim ditargetkan mencapai 15 persen pada 2045.
”Kita masih belum mengoptimalkan potensi ekonomi laut dan ditambah lagi daya dukung laut mengalami kerentanan serta daya tampung juga demikian. Belum optimalnya memanfaatkan potensi tersebut terkait dengan pengelolaan wilayah pengelolaan perikanan dan perikanan budidaya, diversifikasi industri sumber daya laut yang belum berkembang, keterbatasan riset dan teknologi, serta tata kelola dan regulasi pemanfaatan ruang laut yang belum optimal,” ujarnya.
Maka dari itu, transformasi dalam bentuk ekonomi biru diharapkan mampu mengoptimalkan potensi sumber daya pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Selain itu, upaya tersebut juga dibarengi dengan penguatan ketahanan sosial-budaya dan ekologi yang melibatkan masyarakat pesisir.
Rasman mengatakan, kontribusi ekonomi biru tersebut perlu ditingkatkan lantaran pangsa PDB maritim masih terbatas atau lebih rendah dari pertumbuhan nasional. Pada tahun 2021, sektor maritim hanya berkontribusi Rp 1.290,2 triliun dari PDB senilai Rp 16.970,8 triliun atau setara 7,6 persen.
”Kalau kita ingin mewujudkan negara maritim, harusnya di atas 50 persen kontribusi sektor maritimnya. Tapi, posisinya, kontribusi sektor maritim hanya 7,6 persen dengan nilai tambah yang masih sangat minim,” tuturnya.
Secara konsep, kuotasi dalam PIT begitu hebat dan cemerlang, tetapi dalam implementasinya tidak akan semulus itu. Belum ditentukannya kuota saja sudah susah (menangkap ikan), apalagi jika sudah ditentukan kuotanya. Belum lagi, nelayan masih harus berhadapan dengan nelayan asing.
Oleh sebab itu, kontribusi sektor maritim perlu didorong dengan mengembangkan industri pengolahan maritim serta industri jasa manufaktur, perawatan, dan perbaikan kapal. Menurut Rasman, manufaktur bukan hanya perihal mengolah ikan, melainkan juga mengembangkan infrastruktur energi di pulau-pulau kecil.
Sebagai upaya transformasi sektor maritim guna mencapai target pembangunan pada tahun 2045, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT). Menurut Agus, aturan tersebut dibuat untuk menjawab tiga persoalan utama dalam perikanan tangkap.
”Ketiga persoalan itu adalah keberlanjutan sumber daya ikan, pemerataan ekonomi, dan daya saing produk. Selain dengan menerbitkan regulasi, dibutuhkan koordinasi dengan pemerintah daerah, para akademisi, dan para pemangku kepentingan,” ujarnya.
Terkait dengan keberlanjutan sumber daya ikan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mencatat, sebanyak 33 persen perikanan Indonesia telah ditangkap secara berlebihan (overexploited) dan 44 persen perikanan Indonesia sudah ditangkap pada tingkat maksimum. PP No 11/2023 hendak mengatur penangkapan ikan secara terukur di zona penangkapan ikan terukur.
Selain itu, menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional 2021 dan data Garis Kemiskinan Provinsi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, persentase penduduk di wilayah pesisir lebih tinggi ketimbang penduduk di wilayah bukan pesisir, yakni 11,02 persen dibanding 8,67 persen.
”Mengenai daya saing produk, setiap kapal yang beroperasi membutuhkan Rp 300 juta-Rp 600 juta untuk sekali jalan. Artinya, dalam setahun bisa mencapai Rp 1,2 miliar untuk ongkos transpotasi sehingga membuat harga ikan mereka lebih tinggi ketimbang harga dari luar negeri,” lanjut Agus.
Meski demikian, regulasi yang dibuat untuk menjawab tiga persoalan mendasar dalam perikanan tangkap itu justru dinilai semakin menyulitkan para nelayan. Direktur Lembaga Pemngembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) Nusa Tenggara Barat Amin Abdullah memaparkan, penetapan kuota penangkapan ikan tersebut tidak mudah untuk diterapkan di lapangan.
”Secara konsep, kuotasi dalam PIT begitu hebat dan cemerlang, tetapi dalam implementasinya tidak akan semulus itu. Belum ditentukannya kuota saja sudah susah (menangkap ikan), apalagi jika sudah ditentukan kuotanya. Belum lagi, nelayan masih harus berhadapan dengan nelayan asing,” kata Amin dalam sesi diskusi.
Kawal kebijakan
Perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dan masyarakat seperti halnya dalam regulasi PIT tersebut membutuhkan peran dari pihak ketiga agar kebijakan dan fakta di lapangan dapat sinkron. Mengenai hal itu, Zulficar berpendapat, dibutuhkan peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi masyarakat sipil untuk memantau kebijakan pemerintah tersebut.
”Perlu juga memasukkan unsur kemanusiaan dalam mengadvokasi kebijakan pemerintah. Sebab, kita sering terlalu asik dengan konsep-konsep abstrak, tapi lupa bahwa kebijakan itu untuk masyarakat. Bicara soal perikanan, pekerjaan nelayan ini paling berbahaya, paling sulit, dan paling kotor. Ini yang kurang dipahami,” tuturnya.
Oleh sebab itu, gerakan yang berasal dari bawah atau akar rumput ini penting untuk mengisi kebijakan pemerintah. Hal ini mengingat data perikanan yang digunakan sebagai basis kebijakan masih rancu, para aktor perikanan sedang tidak solid, dan minimnya partisipasi masyarakat.
Yonvitner menambahkan, pembangunan perikanan dan kelautan dilaksanakan secara baik dengan mengedepankan sinkronisasi kebijakan dari hulu sampai hilir. Apalagi, terdapat beberapa tantangan pembangunan maritim ke depan, yakni ekositem perairan yang kurang sehat, produktivitas yang stagnan, produk perikanan yang rendah daya saing, pendapatan yang rendah, dan sistem tata kelola yang penuh ketidakpastian.
”Dalam sistem tata kelola saat ini, mulai dari perizinan, konfirmasi ruang, kelayakan lingkungan, pengawasan produksi, serta pengawasan dampak, pengukuran manfaat dilakukan oleh pihak yang berbeda sehingga menunjukkan adanya ketidaksinkronan antara rencana dan pelaksanaan program investasi dan pembangunan. Selain itu, risiko yang ditentukan tanpa berbasis pola ruang sehingga kemudian banyak investasi yang merusak ekosistem dan ruang,” ujarnya.