Tantangan Penerapan Kebijakan Reduksi Emisi Karbon
Komitmen Indonesia dalam mencapai target emisi bersih menghadapi tantangan berupa minimnya pemahaman publik terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Diperlukan sosialisasi lebih intensif agar mendapat dukungan publik.
Oleh
Budiawan Sidik A
·5 menit baca
Besarnya tantangan pemerintah untuk menyosialisasikan kebijakan reduksi karbon tertangkap dari hasil jajak pendapat Kompas pada awal Agustus 2023 ini. Sebagian besar responden (65 persen) mengaku tidak mengetahui bahwa pemerintah saat ini sedang gencar melakukan upaya reduksi emisi karbon yang salah satunya berupa transisi energi dari energi fosil menuju energi baru terbarukan (EBT).
Ketidaktahuan itu sejalan dengan tingkat pemahaman masyarakat terkait situasi dunia yang tengah terdegradasi. Hanya separuh responden (53 persen) yang mengaku tahu tentang isu pemanasan global dan juga perubahan iklim. Hal ini mengindikasikan bahwa isu lingkungan masih relatif berjarak dengan keseharian masyarakat Indonesia. Tren pemanasan global yang terus meningkat saat ini bisa jadi belum dianggap sebagai ancaman serius yang dapat memengaruhi kehidupan warga.
Padahal, di satu sisi, pemerintah memiliki rancangan besar mendukung reduksi emisi karbon untuk Bumi yang lebih bersih. Fakta tersebut perlu segera diantisipasi dengan meningkatkan sosialisasi dan juga komunikasi kepada masyarakat. Dengan sosialisasi yang intensif, diharapkan dukungan masyarakat akan meningkat sehingga rencana pemerintah untuk mengakselerasi reduksi emisi gas rumah kaca (GRK) dapat berjalan lancar.
Dalam mendukung komitmen mencapai target emisi bersih (net zero emission) global 2050, Indonesia merencanakan reduksi emisi karbon yang tertuang dalam dokumen kontribusi nasional (nationally determined contribution/NDC). Dokumen rencana jangka menengah ini selanjutnya diunggah ke dalam rencana aksi Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) sebagai upaya nyata Indonesia dalam mengurangi GRK global.
Hingga tahun 2030 nanti, NDC Indonesia berencana mereduksi emisi karbon di sejumlah sektor. Terdiri dari sektor energi, limbah, industrial processing and product use (IPPU), pertanian, dan kehutanan. Pada tahun 2030 nanti diperkirakan emisi karbon Indonesia akan mencapai 2.869 juta ton karbon dioksida (CO2). Emisi ini dihitung secara business as usual (BaU) atau tanpa adanya upaya reduksi emisi karbon.
Dengan adanya target NDC, maka emisi karbon nasional akan ditekan hingga 31,89 persen lebih rendah dari estimasi BaU pada tahun 2030. Skenario reduksi ini dengan asumsi usaha Indonesia sendiri tanpa adanya bantuan asing. Namun, apabila upaya reduksi emisi karbon itu melibatkan bantuan asing, maka target reduksinya naik menjadi 43,2 persen. Dengan target tersebut, maka NDC tanpa bantuan asing diskenariokan susut menjadi 1.953 juta ton CO2 dari acuan BaU. NDC dengan bantuan asing berkurang lebih banyak lagi menjadi 1.632 juta ton CO2.
Dengan penyempurnaan (enhanced) NDC tersebut, diharapkan skenario membatasi kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5 derajat celsius dapat tercapai. Dengan demikian, karbon netral Indonesia yang ditargetkan baru tercapai pada tahun 2060 nanti dapat dipercepat realisasinya. Tentu saja, target jangka menengah dalam NDC itu selanjutnya akan diteruskan dengan target Long Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) hingga tahun 2050. Dengan rencana jangka menengah dan panjang itu, reduksi emisi karbon diskenariokan dapat ditekan serendah mungkin mendekati kondisi nol atau netral.
Mitigasi energi
Skenario mitigasi NDC dan LTS-LCCR tersebut harus tersosialisasikan secara baik kepada publik karena akan banyak perubahan yang diimplementasikan secara bertahap demi menyelamatkan lingkungan Bumi. Salah satu sektor yang akan berubah drastis adalah bidang energi. Sektor ini diperkirakan akan memberikan kontribusi emisi GRK terbesar di antara kelima sektor penyumbang emisi karbon di Indonesia. Pada tahun 2030, emisi GRK sektor energi tanpa adanya upaya reduksi (BaU) akan mencapai 1.669 juta ton.
Polutan GRK itu selanjutnya direncanakan akan direduksi dengan usaha sendiri hingga susut menjadi 1.311 juta ton. Pemerintah juga berupaya membuka peluang kerja sama dengan pihak asing sehingga target reduksi emisi GRK sektor energi dapat ditekan lebih kecil lagi menjadi 1.223 juta ton pada tahun 2030.
Sejumlah cara dilakukan pemerintah untuk merealisasikan target NDC tersebut, di antaranya berupaya meraih target bauran EBT sebesar 23 persen pada tahun 2025 nanti. Meskipun hingga tahun ini bauran EBT masih berkisar 12 persen, pemerintah masih optimistis target energy mix itu dapat tercapai. Selain itu, pemerintah juga mengimplementasikan ”green RUPTL” sebagai landasan mencapai emisi karbon netral Indonesia 2060.
Pada rentang satu dekade ke depan, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik baru hingga sebesar 40,6 gigawatt (GW) dengan mengedepankan prinsip ramah lingkungan. Dari 40,6 GW itu, sebesar 51,6 persen merupakan sumber pembangkit EBT yang mayoritas bersumber pada tenaga air (PLTA), panas bumi (PLTP), tenaga surya (PLTS), dan aneka EBT lainnya. Bahkan, dengan kian gencarnya upaya pemerintah dalam menekan emisi karbon, PLN akhirnya membatalkan pembangunan PLTU batubara berkapasitas 13,3 GW pada kurun 2019-2028.
Langkah lain yang dilakukan pemerintah dalam upaya mencapai karbon netral ialah menyusun Rancangan UU Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang diharapkan dapat disahkan pada September 2023. Dengan adanya payung hukum itu, sejumlah kendala dalam pengembangan EBT dapat teratasi. Salah satunya terkait keekonomian EBT yang diharapkan dapat menarik minat para investor.
Biaya pengembangan EBT yang relatif sangat mahal memerlukan dukungan dari pemerintah agar investor tetap diuntungkan dan konsumen dapat membeli dengan harga terjangkau. Dalam RUU EBET itu juga dimungkinkan mengembangkan energi baru lain yang signifikan mereduksi emisi karbon seperti halnya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).
Untuk mengakselerasi berbagai rencana tersebut, pemerintah juga berupaya menggandeng sejumlah pihak untuk mendukung sejumlah skenario transisi energi. Salah satu langkah yang sudah ditempuh pemerintah terkait hal ini adalah menjalin kemitraan pendanaan Kerja Sama Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) dengan sejumlah negara kaya.
Kemitraan pendanaan
JETP ini diluncurkan dalam acara KTT G20 di Bali pada November 2022 lalu. Presiden Joko Widodo bersama Presiden Amerika Serikat Joe Biden beserta para pemimpin negara International Partners Group (IPG) meluncurkan perjanjian internasional skema pendanaan JETP senilai 20 miliar dollar AS. Pendanaan yang setara dengan Rp 300 triliun ini berasal dari investasi publik dan swasta dalam bentuk hibah dan pinjaman bunga rendah dari negara-negara partner internasional. IPG ini terdiri dari Amerika Serikat dan Jepang sebagai ketuanya dan beranggotakan sejumlah negara, seperti Kanada, Denmark, Uni Eropa, Perancis, Jerman, Italia, Norwegia, serta Inggris.
Dengan program kemitraan JETP itu, diharapkan Indonesia dapat mempercepat dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan dengan capaian sejumlah target cukup ambisius. Salah satunya adalah target meraih puncak emisi karbon sektor ketenagalistrikan yang diproyeksikan terjadi tahun 2030 dapat lebih dipercepat estimasi waktunya. Selain itu, net zero emissions sektor ketenagalistrikan yang diperkirakan terjadi pada tahun 2060 dapat dipercepat satu dekade lebih awal pada tahun 2050. Pada tahun 2030 nanti, sumber pembangkit EBT setidaknya sudah mencapai 34 persen dengan adanya program kemitraan JETP itu.
Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah tersebut perlu disosialisasikan lebih intensif lagi agar mendapat dukungan dari masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan. Pemahaman yang baik dari masyarakat akan kian memudahkan bagi pemerintah untuk mengimplementasikan sejumlah program terkait reduksi emisi karbon.
Komunikasi menjadi kunci sangat penting karena hingga saat ini hanya sebagian kecil publik yang menilai kampanye pemerintah terkait transisi energi di Indonesia sudah berjalan baik. Hanya 41 persen responden yang mengutarakan demikian. Jadi, sosialisasi transisi energi harus ditingkatkan lagi agar masyarakat kian teredukasi. (LITBANG KOMPAS)