UE berpandangan semua sertifikat berkelanjutan, termasuk ISPO, RSPO, MSPO, dan SVLK, dapat mendukung kelestarian hutan dan lingkungan, tetapi tidak dapat menggantikan uji tuntas yang disyaratkan EUDR.
Oleh
Hendriyo Widi, KRIS MADA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Uni Eropa menegaskan berbagai sertifikat komoditas berkelanjutan tidak dapat menggantikan kewajiban uji tuntas yang disyaratkan Undang-Undang Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa atau EUDR. Selain itu, Uni Eropa juga tidak melarang ekspor dan mendiskriminasikan komoditas tertentu melalui EUDR.
Konselor Bidang Lingkungan, Aksi Iklim, dan Digital Delegasi Uni Eropa (UE) untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Henriette Faergemann, Kamis (24/8/2023), mengatakan, banyak komoditas di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang memiliki sertifikat berkelanjutan. Standardisasi sertifikat berbasis sistem verifikasi pihak ketiga itu beragam sehingga tidak mungkin bagi UE untuk mengontrol semuanya.
Komisi dan Parlemen UE juga tidak memberikan mandat untuk memverifikasi sertifikat-sertifikat berkelanjutan tersebut. Selain itu, UE tidak mempunyai banyak tenaga untuk mengecek semua sertifikat berkelanjutan dari ratusan negara.
”Kami berpandangan semua sertifikat berkelanjutan itu, termasuk ISPO, RSPO, MSPO, dan SVLK, dapat mendukung kelestarian hutan dan lingkungan, tetapi tidak dapat menggantikan uji tuntas yang disyaratkan EUDR. Sertifikat itu bagus, tetapi kami ingin memperkuat sistem verifikasinya melalui uji tuntas,” ujarnya kepada Kompas di Jakarta.
Kami berpandangan semua sertifikat berkelanjutan itu, termasuk ISPO, RSPO, MSPO, dan SVLK, dapat mendukung kelestarian hutan dan lingkungan, tetapi tidak dapat menggantikan uji tuntas yang disyaratkan EUDR.
Faergemann juga menegaskan, melalui EUDR, UE tidak melarang setiap negara mengekspor komoditas-komoditasnya ke pasar UE. Ia mencontohkan, hampir sekitar 80 persen produk di berbagai swalayan UE mengandung minyak sawit. UE tidak melarang produk-produk itu. Namun, UE ingin memastikan konsumen UE mengonsumsi produk yang tidak berasal dari hutan yang terdeforestasi.
”EDUR juga tidak mendiskriminasikan komoditas-komoditas tertentu. Penentuan tujuh komoditas itu sudah melalui berbagai kajian. Selain itu, regulasi itu juga berlaku baik pada produk yang diproduksi di UE maupun diimpor dari negara lain,” katanya.
EUDR mensyaratkan tujuh komoditas yang masuk ke pasar UE tidak berasal dari lahan yang terdeforestasi atau terdegradasi setelah 31 Desember 2020. Ketujuh komoditas itu adalah kopi, minyak sawit, sapi, kedelai, kakao, kayu, arang, dan karet serta produk-produk turunan atau olahan, seperti daging, furnitur, kertas, kulit, dan cokelat.
Regulasi itu mewajibkan produk-produk bersertifikat verifikasi atau uji tuntas (due diligence) berbasis geolokasi atau berdasarkan citra satelit dan koordinat sistem pemosisi global (GPS). Perusahaan besar punya waktu 18 bulan dan perusahaan kecil 24 bulan untuk mematuhi berbagai persyaratan dalam regulasi yang berlaku sejak 29 Juni 2023.
Faergemann menjelaskan, Komisi UE awalnya mengajukan enam komoditas saja untuk dibidik EUDR. Sementara itu, Parlemen UE dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) UE mengajukan cakupan lebih luas. Sejumlah LSM UE mengusulkan batas akhir pembukaan lahan baru untuk perkebunan maksimal 2010, sedangkan Parlemen UE mengusulkan lebih banyak komoditas untuk dipantau dalam EUDR.
Untuk batas waktu pembukaan hutan yang dijadikan lahan perkebunan, pertanian, atau peternakan, Parlemen Eropa mengusulkan di antara LSM dan Komisi UE. Komisi UE mengusulkan batas akhirnya 31 Desember 2020. Setelah proses politik, akhirnya dicapai titik temu, yakni batas akhir pembukaan hutan itu pada 31 Desember 2020 dan komoditas yang dipantau total tujuh jenis. Produk turunan komoditas itu juga turut dipantau.
”Seiring waktu, bisa saja cakupan diperluas. Perluasan bisa jadi dilakukan jika ditemukan bukti pendukung baru. Untuk sekarang, pencarian itu bukan prioritas UE. Brussels masih fokus mengidentifikasi tingkat risiko daerah dan negara penghasil aneka komoditas itu. Proses identifikasi untuk menentukan langkah verifikasi komoditas yang akan masuk UE,” kata Faergemann.
Saat ini, UE sedang menyusun dan segera menyelesaikan mekanisme identifikasi tersebut. Dengan demikian, setiap daerah dan negara penghasil bisa segera mengetahui tingkat risiko. Komoditas dari daerah berisiko rendah praktis tidak wajib melewati uji tuntas. Adapun komoditas dari daerah berisiko standar atau lebih tinggi wajib melewati proses uji tuntas.
UE antara lain akan membandingkan citra satelit untuk daerah asal komoditas. UE akan membandingkan citra sebelum dan setelah 31 Desember 2020. Jika sebelum tanggal itu lokasi asal komoditas masih berupa hutan, komoditas berpeluang tidak bisa masuk UE. Jika sebelum tanggal itu sudah bukan hutan, komoditas berpeluang masuk ke UE.
Berbiaya tinggi
Ketua Presidium Himpunan Pengusaha Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Abdul Sobur berpendapat, uji tuntas EUDR akan semakin membebani eksportir mebel dan kerajinan Indonesia. Saat ini, eksportir mebel wajib memiliki SVLK yang didapatkan dengan biaya sekitar Rp 40 juta.
Untuk masuk ke pasar UE, eksportir mebel masih diwajibkan memiliki sertifikat Dewan Forest Stewardship Council (Forest Stewardship Council /FSC). Untuk mendapatkannya, eksportir tersebut harus mengeluarkan uang 10-15 dollar AS per dokumen per pengapalan.
”Jika SVLK dan FSC tetap diterapkan dan ditambah biaya uji tuntas dari UE, kami sangat keberatan. Daya saing produk kami di pasar UE juga akan semakin tertekan. Untuk itu, kami tetap berharap agar UE mengadopsi SVLK dalam persyaratan uji tuntas EUDR,” kata Sobur.
Jika SVLK dan FSC tetap diterapkan dan ditambah biaya uji tuntas dari UE, kami sangat keberatan. Daya saing produk kami di pasar UE juga akan semakin tertekan.
Ketua Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menyatakan, sertifikasi lahan bebas deforestasi yang menjadi mandat dalam EUDR sebenarnya telah dirumuskan dalam IPO dan RSPO. Namun, RSPO sebagai produk yang juga dibuat oleh UE justru tidak diakui dalam EUDR. Ini sangat disayangkan dan bakal membebani pelaku usaha dan petani sawit di Indonesia.
Menanggapi hal itu, Faergemann menuturkan, kewajiban pengujian akan dibebankan kepada importir. Walakin, ia tidak memastikan apakah akhirnya importir akan membebankan biaya verifikasi dan pengujian kepada pemasok atau konsumen. Belum bisa dipastikan pula berapa biaya verifikasi itu.
Proses verifikasi bagi pemasok, khususnya petani kecil, disebut relatif cukup mudah. Paling pokok adalah legalitas atau bukti kepemilikan lahan. Petani juga perlu menunjukkan koordinat lahan mereka. Berdasarkan koordinat itu, akan dilakukan pemeriksaan silang antara lain dengan membandingkan citra satelit.
UE memastikan akan terus berdialog dengan negara pemasok. Dengan Indonesia, UE telah membentuk satuan tugas untuk menyelaraskan pemahaman para pihak. Kerja sama dan dialog bagian dari upaya UE agar pemasok bisa memenuhi standar yang ditetapkan Brussels.
”Kami tetap akan membeli berbagai komoditas. Hanya saja, kami ingin memastikan komoditas tersebut tidak berkontribusi pada penggundulan hutan,” katanya.
UE akan mengeluarkan panduan yang mudah dipahami oleh para pemasok dan pedagang. Selain itu, ada pula dukungan soal peningkatan tata kelola hutan dan mengatasi penyebab penggundulan hutan.