Platform Media Sosial Dituntut Tegas Atur Konten Ilegal
Penyelenggara media sosial diharapkan tegas mengatur konten ilegal dan berbahaya di Indonesia. Guna menjamin tertibnya para platform menjalankan perannya, UU ITE dinilai perlu direvisi.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah organisasi masyarakat sipil mengusulkan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik guna mendorong transparansi dan akuntabilitas platformmedia sosial mengatur konten ilegal. Hal ini dilakukan agar penyebaran konten ilegal dapat diminimalisasi.
Menurut Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) Masduki, beragam platform atau penyelenggara media sosial belum memenuhi standar masyarakat dalam mengatur konten-kontennya, termasuk yang bersifat ilegal dan berbahaya.
Konten ilegal merujuk pada seluruh jenis konten yang melanggar hukum di Indonesia, seperti pornografi, perjudian, ujaran kebencian, hoaks, dan pencemaran nama baik. Adapun konten berbahaya adalah konten legal yang dapat merugikan pengguna secara fisik dan psikologis, antara lain kekerasan dan perundungan.
Dalam riset PR2Media berjudul ”Pengaturan Konten Ilegal dan Berbahaya di Media Sosial: Riset Pengalaman Pengguna dan Rekomendasi Kebijakan”, seluruh responden sering menjumpai konten ilegal di media sosial. Konten itu berupa ujaran kebencian (67,2 persen), misinformasi/hoaks (66,4 persen), dan penipuan (57,9 persen).
”Pengaturan konten masih problematik,” ujar Masduki di Jakarta, Rabu (23/8/2023).
PR2Media melakukan survei terhadap 1.500 responden dari beragam usia, dengan 70,2 persen di antaranya berumur 18-30 tahun. Pengambilan data juga tersebar di 38 provinsi di Indonesia. Selain itu, organisasi ini juga mewawancarai 14 informan dengan latar belakang berbeda, antara lain regulator, akademisi, serta sejumlah organisasi yang mengadvokasi isu-isu tertentu.
Diskusi temuan riset ini dihadiri pula peneliti PR2Media Wendratama. Selain itu, sejumlah perwakilan organisasi masyarakat sipil turut berpartisipasi, yakni Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) Damar Juniarto; Pengacara LBH Pers Mustafa; Perwakilan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Parasurama Pamungkas, serta Ketua Bidang Data dan Informasi AJI Indonesia, Bayu Wardhana.
Senada dengan Masduki, Damar menilai selama ini platform media sosial cenderung membiarkan konten-konten negatif. Ketika pengguna melaporkan ke platform, responsnya pun tak memuaskan. ”Ketidakpuasan itu muncul karena platform itu tidak mengerti konteks lokal, jadi lambat responsnya,” kata Damar.
Platform dianggap gagal mengontrol dan mengawasi diri sendiri (self-regulatory). Sebab, saat menjalankan pengaturan secara mandiri, platform terkesan hanya memenuhi prasyarat dalam memonitoring konten-konten yang berseliweran.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Semuel Abrijani Pangerapan sepakat bahwa perbedaan persepsi, antara pihaknya dan platform, jadi kendala utama saat mengatur konten ilegal. Upaya untuk saling menyamakan persepsi perlu dilakukan.
”Kami melihat, perbedaan pandangan ini disebabkan oleh kurang pahamnya platform terhadap konteks sosial dan budaya lokal. Platform perlu lebih banyak melibatkan orang lokal agar memahami konteks budaya lokal dalam penanganan konten di Indonesia,” tuturnya, seperti dikutip dari laporan PR2Media.
Dewan Media Sosial
Berkaca dari negara-negara lain, seperti Uni Eropa, telah menerapkan regulasi pada platform media sosial. Kawasan tersebut memiliki Digital Services Act yang mengatur cara seluruh jenis penyelenggara layanan internet mengatasi konten ilegal di platformnya. Alhasil, pemerintah tak ikut campur tangan secara langsung mengatur konten sehingga dinilai lebih efektif karena platform dinilai memiliki sumber daya yang lebih lengkap dan sesuai. Tugas pemerintah mengawasi kepatuhan platform terhadap regulasi yang dikeluarkan.
Dalam laporan PR2Media, hukum untuk mengatur konten ilegal di media sosial hanya terkait wewenang pemerintah. Namun, aturan itu belum menyentuh ke penyelenggara media sosial guna mengatur konten-konten ilegal.
Regulasi pengaturan itu tertuang dalam UU No 19/2016 tentang Perubahan atas UU No 11/2008 tentang UU ITE, diturunkan menjadi Peraturan Pemerintah No 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik serta Peraturan Menkominfo No 5/2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat.
Selama ini, tantangan yang dihadapi UU ITE mengatur penyebaran konten di media sosial adalah definisi konten ilegal belum detail. Alhasil, ada perbedaan penafsiran antara pemerintah dan platform, seperti definisi ”mengganggu ketertiban umum”. Selain itu, pengaturan kewajiban dan sanksi bagi platform untuk menangani konten yang dilarang belum rinci.
Masduki menyebut, setidaknya Pasal 15 dalam UU ITE perlu direvisi. Ayat (4) dapat ditambahkan yang isinya menjelaskan kewajiban penyelenggara media sosial, seperti penyampaian terbuka cara kerja sistem yang digunakan platform.
”Mereka (platform) memiliki mekanisme aduan dan banding. Saat akun kita tiba-tiba hilang, kita bisa banding atau aduan yang diajukan, terjadi verifikasi. Publik kemudian tahu hasilnya,” katanya.
Dalam regulasi itu, diusulkan agar platform berkewajiban memiliki laporan tahunan. Isinya mengenai aduan masyarakat dan pemerintah terkait informasi elektronik yang melanggar hukum serta tindak lanjut platform.
Kehadiran auditor independen yang menilai ketaatan platform terhadap UU dirasa penting. Pihak auditor berupa organisasi atau perusahaan yang berpengalaman mengaudit secara independen.
Damar menambahkan, sanksi bagi platform yang tak mengikuti regulasi ini dapat diterapkan meski tak berupa pidana penjara atau denda. Selain itu, tata kelola internet Indonesia juga perlu melibatkan lebih banyak masyarakat sipil, seperti lembaga atau badan yang disebut Dewan Media Sosial.
Menanggapi hal ini, Mustafa berharap Dewan Media Sosial bukan perpanjangan tangan pemerintah, dalam hal ini Kominfo. Jika hal itu terjadi, ada peluang terjadinya monopoli informasi.
”Jadi konten-konten yang (dinilai) tidak sesuai pemerintah bisa dianggap konten ilegal atau berbahaya,” ujarnya.