Polemik Utang Rafaksi Minyak Goreng Bisa Berujung ke Meja Hijau
Hingga saat ini, sejumlah pengusaha ritel masih belum memperoleh kepastian mengenai pembayaran utang rafaksi minyak goreng oleh pemerintah. Hal ini berpotensi gugatan melalui jalur hukum.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembayaran utang pemerintah atas selisih antara harga beli dan harga jual atau rafaksi minyak goreng kepada para pengusaha ritel masih menuai polemik. Hal ini mengakibatkan para pengusaha ritel akan menempuh berbagai cara, termasuk jalur hukum, agar utang rafaksi tersebut segera dibayarkan.
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey mengatakan, para pengusaha masih belum diberi kejelasan mengenai pembayaran selisih rafaksi minyak goreng oleh pemerintah. Padahal, sejumlah upaya telah ditempuh agar Kementerian Perdagangan selaku pembuat kebijakan membayar utang rafaksi kepada pengusaha ritel selaku pihak yang diberi amanat.
”Tidak ada kejelasannya hingga saat ini sehingga menimbulkan kesan bahwa kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah? Sekarang ini sudah melebihi tenggat tiga bulan yang pada April lalu diberikan. Akibatnya, para pengusaha ritel merasa geram,” katanya di Jakarta, Jumat (18/8/2023).
Sebagai buntut dari ketidakjelasan polemik tersebut, kata Roy, para pengusaha ritel akan melakukan berbagai upaya, seperti pemotongan tagihan kepada distributor atau supplier minyak goreng, pengurangan pembelian minyak goreng, dan berhenti membeli minyak goreng ke distributor. Di sisi lain, Aprindo akan terus menjalin komunikasi secara intens dengan Kemendag terkait dengan penyelesaian polemik tersebut.
Selain itu, tidak menutup kemungkinan pula jika para pengusaha ritel tersebut akan menempuh jalur hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Ini karena pemerintah tidak kunjung memberikan kepastian atas pembayaran utang rafaksi minyak goreng.
”Kami akan menempuh jalur hukum ketika para pengusaha ritel memberikan kuasa penuh kepada Aprindo. Semua bergantung dengan 31 perusahaan anggota kita. Tentunya kita tidak lihat lagi suasana politik dan kami akan berkonsultasi dengan kuasa hukum terkait dengan delik hukum dan pihak yang akan dilayangkan tuntutan,” ujar Roy.
Adapun polemik mengenai utang rafaksi minyak goreng ini bermula ketika pemerintah melalui Kemendag menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Regulasi ini mengatur tentang biaya yang ditanggung oleh pengusaha guna menyediakan minyak goreng kemasan yang kala itu harganya Rp 17.000-Rp 24.000 per liter dan kemudian dijual Rp 14.000 per liter.
Kejagung sudah keluarkan LO, BPKP sudah keluarkan LO, dan Kemenko Polhukam juga sudah berkomunikasi dengan Kemendag. Namun, masih belum ada kejelasannya.
Selanjutnya, aturan tersebut telah dicabut dan diganti dengan Permendag No 6/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit. Lebih lanjut, pada Pasal 10 Permendag No 6/2022 disebutkan bahwa pelaku usaha yang terdaftar dalam Permendag No 3/2022 masih dapat menyelesaikan tugasnya untuk mengadakan minyak goreng kemasan hingga 31 Januari 2022.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memperkirakan, tagihan rafaksi tersebut mencapai Rp 1,1 triliun. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 800 miliar merupakan tagihan yang berasal dari produsen dan distributor, sedangkan tagihan sekitar Rp 344 miliar berasal dari pengusaha ritel modern.
Roy menjelaskan, pemerintah berdalih tidak ada lagi landasan hukum untuk pembayaran utang rafaksi minyak goreng. Selain karena regulasi telah dicabut, alasan lainnya adalah ketentuan penyediaan minyak goreng itu dibuat oleh Menteri Perdagangan periode sebelumnya.
Nilai rafaksi minyak goreng yang diklaim oleh 54 pelaku usaha kepada BPDPKS mencapai Rp 812 miliar. Namun, nilai rafaksi yang sudah diverifikasi oleh PT Sucofindo ditaksir mencapai Rp 478 miliar atau 58,43 persen dari total nilai rafaksi versi sebelumnya.
Perbedaan klaim tersebut membuat Kemendag mengajukan sejumlah syarat pembayaran dengan meminta legal opinion (LO) dari Kejaksaan Agung dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Roy menyebut, LO tersebut telah dikeluarkan oleh dua lembaga tersebut, tetapi Kemendag tidak kunjung memberikan kepastian.
”Kejagung sudah keluarkan LO, BPKP sudah keluarkan LO, dan Kemenko Polhukam juga sudah berkomunikasi dengan Kemendag. Namun, masih belum ada kejelasannya,” katanya.
Secara terpisah, Kompas menghubungi Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Isy Karim untuk meminta konfirmasi. Namun, sampai berita ini dibuat, yang bersangkutan tidak memberikan respons.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, dalam rapat dengan Komisi VI DPR, Selasa (6/6/2023), mengatakan, pihaknya bersedia untuk membayar utang rafaksi tersebut. Namun, perlu dilakukan audit terhadap BPDPKS terlebih dahulu mengingat terdapat selisih harga untuk total pembayaran rafaksi minyak goreng yang harus dibayar kepada peritel (Kompas.id, 15/6/2023).
Di sisi lain, BPDPKS selaku pihak yang diberi mandat untuk membayar utang rafaksi minyak goreng pemerintah turut menyatakan kesediannya. Kepala Divisi Usaha Kecil Menengah Koperasi (UKMK) BPDPKS Helmi Muhansah menuturkan, pembayaran utang rafaksi minyak goreng memerlukan verifikasi dari Kemendag.
”Belum ada verifikasi dari Kemendag mengenai pembayaran utang rafaksi minyak goreng ini. Dana juga sudah siap, tinggal menunggu persetujuan dari Kemendag,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.