Indonesia dan Uni Eropa (UE) kembali berseteru di WTO soal biodiesel. RI menggugat UE karena mengenakan bea masuk imbalan biodiesel RI sebesar 8-18 persen sejak 2019.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perseteruan dagang antara Indonesia dan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO seakan tidak ada habisnya. Setelah sengketa soal kebijakan energi terbarukan, nikel, baja nirkarat, dan produk bebas deforestasi, kedua negara kembali bersengketa perihal biodiesel.
Pada 15 Agustus 2023, WTO menerima permintaan konsultasi RI atas pengenaan bea masuk imbalan (BMI) biodiesel oleh Uni Eropa (UE). WTO juga telah mengedarkan dokumen kasus sengketa DS618 itu ke negara-negara anggota melalui surat bernomor WT/DS618/1, G/L/1486 G/SCM/D136/1.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Djatmiko Bris Witjaksono, Rabu (16/8/2023) mengatakan, RI mengajukan permohonan konsultasi sengketa itu karena UE mengenakan BMI biodiesel RI. BMI yang dikenakan di kisaran 8-18 persen sejak 2019.
”Pengenaan BMI itu menimbulkan kerugian serius terhadap industri Indonesia, khususnya setelah perekonomian dunia mulai bergerak pascapandemi Covid-19. Indonesia menilai proses penyelidikan dan pengenaan BMI tersebut inkonsisten terhadap aturan WTO,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta.
RI mengajukan permohonan konsultasi sengketa itu karena UE mengenakan BMI biodiesel RI. BMI yang dikenakan di kisaran 8-18 persen sejak 2019.
Dalam DS618 disebutkan kebijakan pengenaan BMI itu diatur dalam dua peraturan pelaksana Komisi (commission implementing regulation/CIR) UE. Pertama, CIR UE 2019/2092 yang mengatur tentang pemberlakuan definitif BMI atas biodiesel RI pada 28 November 2019. Kedua, CIR UE 2019/1344 yang mengenakan BMI sementara atas impor biodiesel Indonesia pada 12 Agustus 2019.
Komisi UE mengenakan BMI 8-18 persen atas impor biodiesel Indonesia untuk memulihkan perdagangan yang adil atau setara bagi produsen biodiesel UE. Pengenaan bea masuk imbalan itu berdasarkan investigasi Komisi UE.
UE menemukan produsen biodiesel Indonesia mendapatkan manfaat dari dana hibah, keuntungan pajak, dan akses ke bahan baku di bawah harga pasar. Hal itu berpotensi merugikan dan menimbulkan kerusakan ekonomi bagi produsen-produsen biodiesel UE.
Komisi UE mencatat rata-rata nilai pasar biodiesel UE sekitar 9 miliar euro per tahun. Sekitar 400 juta euro antara lain biodiesel impor asal Indonesia.
Menurut Djatmiko, RI mengajukan empat gugatan dalam kasus sengketa DS618. Salah satunya, terkait penetapan penggunaan dana perkebunan kelapa sawit untuk program biodiesel atau campuran solar dengan produk turunan minyak sawit.
RI menilai UE memilih kontrafaktual yang salah untuk menganalisis situasi penerima dana itu seakan-akan mereka hanya menerima dana. Padahal mereka juga mengeluarkan biaya untuk memproduksi biodisel.
”UE juga salah menyimpulkan bahwa tanpa dana perkebunan kelapa sawit itu harga referensi biodiesel akan lebih rendah. UE tidak memperhitungkan pungutan ekspor yang dibayarkan produsen biodiesel,” katanya.
UE juga salah menyimpulkan bahwa tanpa dana perkebunan kelapa sawit itu harga referensi biodiesel akan lebih rendah. UE tidak memperhitungkan pungutan ekspor yang dibayarkan produsen biodiesel.
Kembali terulang
UE pernah menerapkan kebijakan serupa pada 2013-2016. Waktu itu, UE mengenakan bea masuk antidumping (BMAD) biodiesel yang diimpor dari RI sebesar 8,8-23,3 persen. Hal itu menyebabkan nilai ekspor biodiesel ke UE anjlok 42,84 persen dari 649 juta dollar AS pada 2013 menjadi 150 juta dollar AS pada 2016.
RI juga menyengketakan hal itu di WTO pada 10 Juni 2014. RI berhasil memenangi kasus sengketa DS480 itu setelah berproses selama hampir empat tahun, yakni pada 25 Januari 2014. UE mengakui beberapa kesalahan ketika menghitung margin dumping sementara untuk sampel produsen Indonesia, tetapi tidak merevisi BMAD sementara.
UE justru menetapkan BMAD definitif yang lebih tinggi. Pada 18 Oktober 2018, UE mencabut ketentuan pengenaan BMAD secara definitif dan menghentikan impor biodiesel dari Indonesia untuk sementara waktu.
Bahkan, pada 9 Desember 2021, UE menyatakan impor minyak sawit dan produk turunannya akan menurun beberapa tahun ke depan karena peraturan lingkungan yang lebih ketat. Dalam Proyeksi Pertanian UE 2021-2031, Komisi UE memperkirakan penggunaan biodiesel di UE akan turun 24 persen menjadi 14,3 miliar liter pada 2031 setelah mencapai puncaknya pada 2023 dengan 18,9 miliar liter.
Minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya bertubi-tubi menghadapi hambatan perdagangan dari UE. Hal itu mulai dari implementasi Arah Energi Terbarukan (RED II) hingga Undang-Undang Produk Bebas Deforestasi UE (EUDR).
Hingga kini, RI juga tengah menunggu putusan atau laporan akhir Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO terkait gugatan atas RED II yang diajukan RI sejak akhir 2019. RED II mengeluarkan biodiesel sawit dari daftar energi terbarukan UE.
Di tengah tekanan melawan berbagai hambatan dagang dari UE, tren harga CPO tengah turun. Kemendag menyebutkan, penurunan harga CPO pada paruh kedua Agustus 2023 dipengaruhi penurunan permintaan dari China dan sejumlah negara di kawasan Eropa.
Penurunan harga CPO juga dipengaruhi perkiraan peningkatan produksi CPO di Malaysia dan penguatan nilai tukar ringgit atas dollar AS. Selain itu, penurunan harga minyak mentah dunia juga turut berperan menekan harga CPO.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Budi Santoso menuturkan, kondisi itu memengaruhi penetapan harga referensi CPO periode 16-31 Agustus 2023. Harga referensi CPO pada periode itu ditetapkan 820,35 dollar AS per ton, turun 0,74 persen dari paruh pertama Agustus 2023.
Hal itu diatur dalam Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 1494 Tahun 2023 tentang Harga Referensi CPO yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit periode 16-31 Agustus 2023.
”Saat ini, harga referensi CPO turun mendekati ambang batas 680 dollar AS per ton. Untuk itu, merujuk pada peraturan menteri keuangan (PMK) yang berlaku saat ini, maka pemerintah mengenakan bea keluar (BK) dan pungutan ekspor (PE) CPO masing-masing sebesar 33 dollar AS per ton dan 85 dollar AS per ton,” kata Budi melalui siaran pers.
Penetapan BK CPO merujuk pada kolom angka 4 lampiran Huruf C PMK Nomor 39/PMK/0.10/2022 juncto Nomor 71 Tahun 2023. Adapun penetapan PE berdasarkan lampiran Huruf C PMK Nomor 103/PMK.05/2022 juncto Nomor 154/PMK.05/2022.