Diplomasi ”Meja dan Buku” Jadi Senjata RI Lawan Uni Eropa
Diplomasi Indonesia melawan Uni Eropa tidak berhenti di atas meja dialog dan perundingan. Diplomasi buku juga menjadi senjata Indonesia untuk melawan kampanye dan mitos negatif sawit yang digulirkan Uni Eropa.
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlawanan Indonesia terhadap kebijakan Kesepakatan Hijau atau Green Deal Uni Eropa yang dinilai mendiskreditkan sejumlah komoditas ekspor, termasuk sawit, semakin menguat. Indonesia tidak ingin dicap sebagai negara berisiko deforestasi tinggi. Perlawanan Indonesia tidak berhenti pada dialog dan perundingan, tetapi juga melalui diplomasi buku.
Hal itu mengemuka dalam acara Advokasi Sawit dan Peluncuran Buku Mitos vs Fakta Sawit yang digelar secara hibrida di Jakarta, Senin (14/8/2023). Kegiatan itu digelar Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Kesepakatan Hijau Uni Eropa (UE) merupakan paket inisiatif kebijakan UE untuk mencapai nol emisi karbon pada tahun 2050 berdasarkan Perjanjian Paris. Kesepakatan Hijau itu memayungi kebijakan UE lainnya, seperti Arah Energi Terbarukan (RED) II, Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon (CBAM), dan Undang-Undang Produk Bebas Deforestasi UE (EUDR).
Deputi Bidang Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdalifah Mahmud mengatakan, Indonesia telah berulang kali menghadapi hambatan dagang dari UE dalam konteks isu keberlanjutan. Eranya sudah tidak hanya terkait sertifikasi produk dan kampanye negatif sawit, tetapi mulai masuk ranah regulasi.
Gugatan RI atas RED II UE di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) belum tuntas, tetapi sudah menyusul CBAM dan EUDR. Hingga saat ini, RI masih menunggu putusan atau hasil laporan akhir Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO terkait sengketa RED II.
Terkait EUDR, lanjut Musdalifah, RI dan Malaysia telah sepakat dengan UE membentuk Satuan Tugas (Satgas) Gabungan EUDR. Melalui Satgas Gabungan tersebut, RI akan mengupayakan perdagangan dengan UE tetap berjalan tanpa hambatan.
”Jangan sampai Indonesia dicap sebagai negara berisiko deforestasi tinggi. Kami telah sampaikan bahwa Indonesia bukan negara barbar. Kami juga memiliki kebijakan dan regulasi untuk menjaga keberlanjutan lingkungan, termasuk mencegah deforestasi,” ujarnya.
Jangan sampai Indonesia dicap sebagai negara berisiko deforestasi tinggi. Kami telah sampaikan bahwa Indonesia bukan negara barbar. Kami juga memiliki kebijakan dan regulasi untuk menjaga keberlanjutan lingkungan, termasuk mencegah deforestasi.
EUDR melarang sejumlah komoditas yang berasal dari lahan yang terdeforestasi atau terdegradasi setelah 31 Desember 2020 masuk pasar UE. Komoditas itu, antara lain, kopi, minyak sawit, sapi, kedelai, kakao, kayu, arang, dan karet serta produk-produk turunan atau olahan, seperti daging, furnitur, kertas, kulit, dan cokelat. Regulasi itu menciptakan sistem pembandingan (benchmarking) yang menetapkan tingkat risiko deforestasi dan degradasi hutan sebuah negara, yakni rendah, standar, dan tinggi.
Musdalifah menambahkan, dalam konteks sawit, RI sudah menerapkan sertifikasi sawit berkelanjutan, baik ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) maupun RSPO (Rountable on Sustainable Palm Oil). Namun, hingga sekarang, UE belum mengakuinya.
”UE terkesan ingin membuat standardisasi sendiri. UE maunya mulai dari nol lagi. Kami jelas tidak mau,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pembina PASPI Bungaran Saragih berpendapat, Indonesia tengah berada pada dinamika baru persaingan minyak nabati dunia. Persaingan harga berbagai minyak nabati telah berganti ke persaingan nonharga, yakni terkait isu keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Melalui sejumlah kebijakannya, UE menjadikan persaingan nonharga sebagai senjata. Harga minyak nabati mereka sudah tidak mampu bersaing dengan harga minyak sawit yang semakin kompetitif.
”UE juga menganut kebijakan keberlanjutan absolut atau hitam dan putih. Kalau sudah dicap atau dikategorikan tidak memenuhi kriteria keberlanjutan, sebuah produk pasti akan dihalangi atau dihambat masuk pasar UE,” katanya.
Oleh karena itu, kata Bungaran, Indonesia harus melawan UE dengan kajian dan data ilmiah yang dapat meyakinkan UE. Data dan kajian itu juga harus diimbangi dengan upaya merealisasikan sawit berkelanjutan yang lebih baik dari tahun ke tahun.
Sementara itu, PASPI berupaya memperkuat advokasi minyak sawit dan produk turunannya melalui buku-buku berisi artikel dan kajian ilmiah. Salah satunya melalui buku berjudul Mitos vs Fakta Sawit: Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Global.
Direktur Eksekutif PASPI Tungkot Sipayung menuturkan, buku tersebut merupakan buku edisi keempat yang dibuat PASPI. Buku itu memuat fakta berbasis data dan kajian empiris untuk melawan kampanye negatif dan mitos yang menyudutkan sawit baik di bidang ekonomi, sosial, kesehatan dan gizi, maupun lingkungan.
Buku bisa menjadi alat diplomasi sawit, terutama dalam berhadapan dengan UE.
Buku bisa menjadi alat diplomasi sawit, terutama dalam berhadapan dengan UE. Seperti buku-buku yang diterbitkan sebelumnya, buku terbaru tersebut akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sehingga dapat dimanfaatkan sebagai alat diplomasi perwakilan-perwakilan pemerintah di negara lain, terutama di negara-negara anggota UE.
”Kami juga akan mempertimbangkan buku-buku itu diterjemahkan ke bahasa Mandarin dan India mengingat China dan India merupakan importir minyak sawit Indonesia terbesar,” katanya.
Sementara itu, Kepala BPDPKS Eddy Abdurrachman mengapresiasi positif buku terbitan PASPI. Buku itu bisa menjadi senjata utama melawan serangan-serangan negatif atas sawit Indonesia, terutama dalam menghadapi tantangan besar implementasi EUDR.