Penerimaan Negara Melambat, Saatnya Pajak Ekspor Turunan Nikel Diterapkan
Tahun ini dinilai menjadi momentum tepat untuk menerapkan pajak ekspor atau bea keluar bagi produk turunan nikel. Dengan demikian, manfaat nilai tambah hilirisasi nikel terhadap perekonomian nasional bisa lebih optimal.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
Suasana pabrik HPAL milik grup Harita Nickel di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (9/4/2023). Fasilitas itu mengolah bijih nikel menjadi produk bernama MHP, yang menjadi bahan intermediari pembuatan baterai kendaraan listrik.
JAKARTA, KOMPAS — Wacana pajak ekspor bagi produk olahan nikel perlu diterapkan tahun ini sesuai rencana awal. Penerapan pajak tersebut dinilai bisa mengungkit penerimaan negara yang saat ini mulai melambat dan memaksimalkan dampak manfaat kebijakan hilirisasi.
Rencana kebijakan pajak ekspor turunan nikel, seperti feronikel dan nickel pig iron (NPI), muncul tahun lalu ketika harga nikel masih tinggi di pasaran global. Pemerintah berencana memberlakukannya mulai tahun ini sembari memperhatikan pergerakan harga nikel. Namun, hingga saat ini belum ada tanda-tanda kebijakan itu akan segera diterapkan.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, saat ini adalah momentum yang tepat untuk menerapkan pajak ekspor atau bea keluar bagi produk turunan nikel.
”Bukan hanya karena penerimaan pajak mulai melambat, melainkan hilirisasi ini sudah dikasih waktu yang cukup lama. Keuntungan yang dirasakan tahun lalu sudah berkali-kali lipat. Kalau tidak kunjung diterapkan, negara berpotensi kehilangan sumber pendapatan baru,” kata Tauhid saat dihubungi, Minggu (13/8/2023).
Menurut dia, potensi pendapatan yang bisa diraup negara dari pajak ekspor turunan nikel cukup besar mengingat nilai ekspor produk turunan nikel saat ini masih tinggi. Pada tahun 2022, ekspor hilirisasi nikel mencapai nilai total 34,3 miliar dollar AS atau Rp 510,1 triliun.
Sementara itu, negara sedang membutuhkan tambahan dorongan penerimaan pajak karena tren penerimaan perpajakan yang mulai melambat. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada periode Januari-Juli 2023, penerimaan perpajakan tumbuh 3,7 persen secara tahunan, melambat dari penerimaan perpajakan pada periode yang sama tahun lalu sebesar 58,8 persen.
Penerimaan bea keluar juga terpantau rendah, bahkan terkontraksi akibat tren lonjakan harga komoditas. Sampai Juli 2023, penerimaan bea keluar tercatat Rp 5,86 triliun atau turun 81,34 persen secara tahunan.
Kalau tidak kunjung diterapkan, negara berpotensi kehilangan sumber pendapatan baru.
”Jadi, potensinya akan sangat besar dan bisa sangat membantu penerimaan kita. Tahun ini saat yang tepat, apalagi akan sulit kalau kita menunggu sampai harga naik lagi. Commodity boom itu, kan, terjadi saat krisis karena pandemi dan perang. Masa kita mau menunggu ada krisis lagi baru menerapkan pajak ekspor nikel,” kata Tauhid.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa pengenaan pajak ekspor produk hilirisasi nikel akan dilakukan ketika harga nikel mulai bagus, sementara saat ini harga produk turunan nikel di pasaran dinilai belum cukup tinggi.
Senada, Teuku Riefky, peneliti makroekonomi dan pasar keuangan di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), menilai, kebijakan ekspor produk turunan nikel perlu diterapkan saat ini. Apalagi, mengingat pendapatan negara saat ini pun sudah berkurang akibat hilangnya cadangan devisa dan pungutan dari ekspor bijih nikel.
”Ini saat yang tepat seiring dengan demand global yang tinggi. Pajak ini bisa menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang potensial. Selain itu, ini berpotensi mendukung masuknya investasi pembangunan smelter karena harusnya bahan baku lebih murah di dalam negeri ketimbang internasional,” kata Riefky.
Sebelumnya, kritik soal minimnya pendapatan yang diterima negara dari hilirisasi nikel disampaikan oleh ekonom senior Faisal Basri. Ia pertama-tama menyoroti hal itu dalam diskusi Kajian Tengah Tahun (KTT) Indef, pekan lalu, disusul dengan sebuah surat terbuka yang dipublikasikan di blog pribadinya untuk menjawab Presiden Joko Widodo.
Faisal menilai bahwa hilirisasi nikel lebih banyak menguntungkan negara lain seperti China, sementara nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional hanya 10 persen.
Salah satu penyebabnya karena pemerintah memberikan terlalu banyak fasilitas pajak, seperti tax holiday (pembebasan pajak) selama 20 tahun. Di sisi lain, banyak tenaga kerja asal China yang bekerja menggunakan visa kunjungan, bukan visa pekerja, sehingga ditengarai tidak membayar pajak penghasilan. Potensi pemasukan ke negara juga semakin kecil karena devisa hasil ekspor produk nikel lebih banyak diparkir di negara lain.
”Berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit, ekspor olahan nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan. Perusahaan smelter memang membayar pajak bumi dan bangunan, tetapi nilainya sangat kecil,” kata Faisal dalam paparannya.
Potensi pemasukan ke negara juga semakin kecil karena devisa hasil ekspor produk nikel lebih banyak diparkir di negara lain.
Namun, pemerintah membantah hal tersebut. Deputi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto dalam keterangan tertulis mengatakan, terjadi tren peningkatan pendapatan perpajakan yang signifikan pada periode 2016-2022.
Dari sektor hilirisasi nikel, ia mengklaim pemerintah mendapat Rp 17,96 triliun penerimaan perpajakan atau naik 10,8 kali dibandingkan tahun 2016 yang sebesar Rp 1,66 triliun. Khusus pendapatan Pajak Penghasilan (PPh) Badan, pada tahun 2022 naik 21,6 persen dibandingkan pada tahun 2016 yang sebesar Rp 0,34 triliun.
”Smelter-smelter yang dibangun pada periode 2014-2016 dan memperoleh tax holiday selama tujuh tahun saat ini sudah mulai membayar PPh Badan,” kata Seto.
Meskipun pemerintah memberikan fasilitas tax holiday kepada pengusaha smelter nikel, tetapi itu tidak diberikan ke semua pemilik smelter dan tidak semuanya mendapat pembebasan pajak selama 20 tahun. Menurut dia, hanya dua smelter yang mendapat fasilitas itu selama 20 tahun, satu di antaranya masih beroperasi.
”Tax holiday 20 tahun itu hanya diberikan kepada investasi yang nilainya Rp 30 triliun atau lebih. Kalau kurang dari itu, maka disesuaikan periodenya, antara 5 tahun dan 15 tahun. Insentif ini hanya untuk PPh Badan, pajak-pajak lainnya tetap harus dibayar,” katanya.