Revisi Regulasi PLTS Atap Belum Akomodasi Konsumen
Revisi aturan mengenai PLTS diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan berbagai pihak. Bukan hanya bagi penyelenggara kelistrikan, daya tarik bagi konsumen pun patut dipertimbangkan.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi peraturan mengenai pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS dinilai perlu mengakomodasi kepentingan dari berbagai pihak, tak terkecuali konsumen. Hal ini penting agar target transisi energi dapat terealisasikan melalui kontribusi bauran energi surya.
Pemerintah saat ini tengah merevisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum. Dua substansi yang akan direvisi, yakni tidak akan ada batasan kapasitas per pelanggan sepanjang masih tersedia kuota pelanggan PLTS atap dan ekspor listrik yang tidak lagi dihitung sebagai pengurang tagihan.
Pengajar Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menyampaikan, revisi Permen PLTS itu sebaiknya turut mengakomodasi kepentingan konsumen. Salah satunya dengan memberlakukan ekspor yang dihitung oleh Perusahaan Listrik Negara (Persero) sebagai pengurang tagihan.
”Tampak tidak ada kesepakatan antara PLN dan ESDM. Belajar dari peraturan sebelumnya, yang ditentukan secara sepihak, justru menimbulkan resistensi PLN. Namun, sekarang ini juga berpotensi akan menimbulkan resistensi dari konsumen,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (29/7/2023).
Dengan tidak diberlakukannya ekspor listrik sebagai pengurangan tagihan, ujar Fahmy, pemasangan PLTS atap menjadi tidak menarik bagi konsumen. Lebih lanjut, ketentuan penetapan tarif atas kelebihan kapasitas listrik dari PLTS Atap ini diharapkan mengakomodasi kepentingan konsumen dan PLN, yakni dengan menerapkan potongan biaya (fee) dari konsumen.
Menurut Fahmy, biaya tersebut menjadi jalan tengah bagi pemangku kepentingan mengingat jaringan kelistrikan yang digunakan adalah milik PLN. Di sisi lain, pemberlakuan kuota juga perlu diberlakukan agar tidak merugikan salah satu pihak. Dengan demikian, regulasi tersebut dapat mendorong bauran energi terbarukan sesuai dengan target dari transisi energi.
”Penggunaan PLTS atap akan menambah diversifikasi listrik dari PLN yang selama ini masih menggunakan batubara sekitar 60 persen. Kalau itu berlaku, akan dihitung sebagai diversifikasi dan mengurangi penggunaan batubara,” kata Fahmy.
PLN masih surplus. Terdapat keterbatasan infrastrukturnya yang membuat PLN hanya bisa menerima pasokan listrik dari pembangkit intermitten sehingga regulasi yang baru tidak menghitung ekspor. Namun, nanti akan ada penyesuaian ketika infrastruktur mereka siap.
Berdasarkan data PLN, hingga Mei 2023, terdapat 3.105 pelanggan PLTS atap dengan total kapasitas 117.000 megawatt peak (MWp) atau 80 persen dari permohonan yang telah disetujui oleh PLN.
Padahal, potensi pemanfaatan PLTS atap mencapai 32,5 gigawatt (GW) yang pada tahun 2025 pemanfaatannya ditargetkan mencapai 3,6 GW. Di sisi lain, realisasi energi terbarukan dalam bauran energi primer pada tahun 2022 baru mencapai 12,3 persen dengan kapasitas terpasang pembangkit listrik sebesar 12.616 megawatt (MW).
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Komaidi Notonegoro menjelaskan, aspek fleksibilitas dalam regulasi dapat mendorong pengembangan energi terbarukan. Adanya revisi Permen PLTS atap ini diharapkan menjadi jalan keluar bagi semua pemangku kepentingan tanpa memberatkan salah satu pihak.
Sejak terbit pada 2021, Permen PLTS Atap dinilai tidak berjalan sesuai ketentuan sehingga pemerintah berinisiatif untuk merevisinya. Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna menyebut, proses revisi Permen PLTS atap telah selesai diharmonisasi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Ketentuan mengenai kuota pemasangan PLTS atap, kata Andriah, akan ditentukan oleh PLN. Dalam regulasi yang baru, pemerintah berhak mencabut izin persetujuan apabila selama enam bulan tidak ada eksekusi dari pengembang.
”Terkait dengan ketentuan ekspor, saat ini, PLN masih surplus. Terdapat keterbatasan infrastrukturnya yang membuat PLN hanya bisa menerima pasokan listrik dari pembangkit intermitten sehingga regulasi yang baru tidak menghitung ekspor. Namun, nanti akan ada penyesuaian ketika infrastruktur mereka siap,” kata Andriah saat sesi diskusi bertajuk ”Setting the scene: Jalan Indonesia Menjadi Adidaya Listrik Tenaga Surya dalam rangkaian Indonesia Solar Summit 2023”, di Jakarta, Rabu (26/7/2023).
Menurut Andriah, regulasi yang baru kurang menarik bagi sektor residensial (rumah tangga) karena skema pengurangan tarif atas kelebihan listrik tidak berlaku. Walakin, regulasi baru ini dapat melibatkan sektor industri lebih banyak sehingga target kapasitas PLTS atap sebesar 3,6 GW pada 2025 dapat tercapai.
Direktur Proyek dan Operasi PT Pertamina Power Indonesia (PPI) atau Pertamina NRE Norman Ginting menjelaskan, saat ini pihaknya telah memanfaatkan energi surya dengan kapasitas 55 MW per Juli 2023. Revisi Permen PLTS perlu mengatur mengenai skema tarif lebih kompetitif sehingga memberikan nilai tambah bagi konsumen.
”Kita sangat lapar terhadap pemanfaatan PLTS, hanya saja masih perlu mendorong demand. Kedua, terkait dengan izin lingkungan. Ternyata, saat membangun PLTS di internal perusahaan, ada ketidaksinkronan antara kementerian/lembaga terkait dengan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan)," ujarnya.
Norman menambahkan, meski peraturan ESDM menyebut jika di bawah 50 MW tidak memerlukan amdal, hal itu tidak berlaku pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Berdasarkan aturan tersebut, sepanjang di area itu memiliki izin area amdal, dibutuhkan revisi amdal.
Proses untuk mencapai transisi energi membutuhkan dukungan berupa regulasi. Anggota Dewan Energi Nasional, Herman Darnel Ibrahim, menjelaskan, transisi energi butuh sumber daya besar berupa investasi sehingga butuh dukungan konstitusi berupa undang-undang.
Sebagai salah satu kontribusi bauran energi terbarukan, kapasitas listrik yang dihasilkan oleh energi surya diperkirakan mencapai 600 GW pada 2060. Namun, selama ini produksi listrik dan tingkat dekarbonisasi dari PLTS atap tidak tercatat dengan baik.
”PLN sebaiknya membuat aturan mengenai berapa harganya dan jumlah maksimum yang bisa diekspor sehingga kelebihannya bisa diklaim sebagai dekarbonisasi PLN. Sekarang, yang gratis-gratis tidak mungkin diklaim sebagai dekarbonisasi. Artinya, dekarbonisasi malah menuntut bayaran,” ujarnya.