Skema Pembiayaan Penting demi Petani Nikmati Listrik
Pembiayaan menjadi salah satu tantangan bagi petani untuk mengakses listrik serta mengadopsi teknologi pertanian dan digitalisasi. Kemitraan dengan pihak penyerap hasil produksi pangan dapat jadi alternatif pembiayaan.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J, AGNES THEODORA,
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan listrik dapat menopang ketahanan pangan karena membuat produksi lebih efektif dan efisien serta meningkatkan produktivitas. Oleh sebab itu, kesempatan untuk memperoleh fasilitas listrik perlu diperluas dengan sejumlah skema pembiayaan agar makin banyak petani yang mampu mengaksesnya.
Kepala Staf Kepresidenan RI sekaligus Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Moeldoko, Sekretaris Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Muhammad Taufiq Ratule, Executive Vice President Penjualan dan Pelayanan Pelanggan Retail PLN Tonny Bellamy, peneliti desa digital IPB University-Organisasi Pangan Dunia (FAO) Auzi Asfarian, serta Rayndra Mahmudin, petani muda asal Jawa Tengah, hadir dalam diskusi tersebut.
Terkait skema pembiayaan bagi petani agar mampu mengakses listrik, Moeldoko menyebutkan, belum ada subsidi khusus untuk petani ataupun aktivitas pertanian. ”Pemerintah baru menyediakan skema subsidi (tarif listrik) untuk pelanggan rumah tangga dengan daya 450 VA (voltampere). Hal itu (skema pembiayaan khusus untuk petani) merupakan pemikiran yang bagus dan bisa disarankan kepada Presiden RI,” ujarnya saat ditemui di sela diskusi.
Menurut dia, elektrifikasi penting karena proses produksi pertanian membutuhkan listrik agar lebih efektif, efisien, dan produktif. Pada tahap pratanam, sejumlah jenis benih membutuhkan proses pengeringan dengan mesin pengering yang butuh listrik. Pada tahap budidaya, pengelolaan tanah membutuhkan mekanisasi yang bisa memanfaatkan kendaraan listrik. Kegiatan budidaya juga dapat memanfaatkan cip yang mampu mengontrol jadwal pemupukan dan penyiraman.
Sementara pemupukan dapat menggunakan pesawat tanpa awak (drone) sehingga lebih efektif dan efisien. Saat panen, petani juga membutuhkan mesin harvester dan pengering. Di tahap pascapanen, sejumlah komoditas pertanian, khususnya hortikultura, membutuhkan penyimpanan dingin yang memerlukan listrik agar lebih tahan lama.
Akan tetapi, lanjut dia, terdapat sejumlah tantangan bagi petani dalam mengakses listrik secara kontinu. Tak semua area mendapat aliran listrik dengan baik karena bergantung jumlah penduduk di wilayah itu. Bagi petani yang sudah mendapatkan akses listrik, penggunaan mereka berpotensi terhenti karena tidak sanggup membayar.
Senada dengan Moeldoko, Rayndra berpendapat, jangkauan akses listrik masih terbatas di area dekat jaringan. Dalam aktivitas produksi pangan, dia memanfaatkan listrik untuk menopang pendataan dan identitas domba ternaknya berbasis kode QR serta menyiram kebun kelapa. Dengan menggunakan listrik dan jaringan internet, waktu menyiram yang sebelumnya mencapai 1 hari untuk 1 hektar lahan kini hanya 30-60 menit.
Kredit usaha
Terkait dengan skema pembiayaan, Taufiq menyatakan, pemerintah telah menyediakan kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga rendah. Petani dan peternak dapat memanfaatkan KUR untuk memperoleh akses listrik asal memenuhi syarat perbankan.
Menurut dia, listrik meningkatkan efisiensi biaya produksi dan produktivitas. Contohnya, ada petani bawang merah yang mengalihkan sumber energi pompanya dari bahan bakar minyak ke listrik. Mulanya dia mengeluarkan Rp 10 juta per per pekan untuk satu kali produksi bawang merah dan kini berkisar Rp 1 juta per pekan.
Dari sisi penyedia listrik, PLN memiliki program elektrifikasi pangan untuk memberikan akses listrik bagi aktivitas pertanian dan peternakan. Hingga saat ini, program itu telah menjangkau 217.818 pelaku usaha bidang agrokultur dengan total kapasitas listrik 3.445 mega VA. PLN juga mendampingi 4.170 penerima manfaat. Mereka tergabung dalam 133 unit usaha mikro dan kecil dengan total nilai Rp 9,9 miliar dan menyerap 1.565 tenaga kerja.
Tony menyebutkan, saat ini terdapat 1.781 orang yang berpotensi menjadi pelanggan baru program tersebut. ”Untuk memberikan subsidi tarif dasar listrik, kami tidak bisa karena hal itu merupakan kebijakan pemerintah. Namun, setiap ada nota kesepahaman dengan (anggota) Himpunan Bank Negara, kami meminta ada fasilitas pembiayaan dan kemudahan bagi para petani muda,” ujarnya.
Sementara itu, Auzi menilai, pembiayaan jadi salah satu tantangan bagi petani mengakses listrik dan teknologi pertanian yang menyertainya. ”Misalnya, pembiayaan dapat bersifat hibah dari pemerintah untuk satu musim tanam. Ada juga yang lebih kontinu, yakni kemitraan dengan offtaker. Pihak offtaker ini memberi input produksi, lalu petani ’membayarnya’ lewat hasil panen yang dibeli offtaker,” katanya.
Selain pembiayaan, dia juga menggarisbawahi tantangan adopsi lainnya, yakni ketersediaan infrastruktur dasar, seperti listrik dan internet, serta kapasitas sumber daya manusia dalam memanfaatkannya. Produsen pangan perlu mendapatkan literasi teknologi dan finansial.