Optimalkan Negosiasi EUDR Melalui Gugus Tugas Gabungan
Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa sepakat membentuk Gugus Tugas Gabungan EUDR. Gusus tugas itu diharapkan melibatkan petani sawit dan dapat menghasilkan sejumlah kesepakatan yang mencakup kepentingan Indonesia.
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memiliki sejumlah jalan untuk menegosiasikan bahkan melawan Undang-Undang Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa atau EUDR. Namun, yang paling dekat bisa ditempuh adalah mengoptimalkan negosiasi melalui Gugus Tugas Gabungan EUDR yang dibentuk Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa.
Gugus Tugas Gabungan EUDR tersebut dibentuk saat Direktur Jenderal Lingkungan Komisi Uni Eropa (UE) Florika Fink-Hooijer mengunjungi Indonesia dan Malaysia pada 26-28 Juni 2023. Pembentukan satgas itu merupakan tindak lanjut dari misi bersama RI-Malaysia menemui perwakilan Komisi UE di Brussel, Belgia, pada akhir Mei 2023. Gugus tugas itu akan berfokus pada komoditas yang relevan di kedua negara khususnya kelapa sawit, kayu, karet, kopi, dan kakao.
Gugus Tugas Gabungan EUDR itu terdiri dari perwakilan Pemerintah RI, Malaysia, dan Komisi UE, serta pemangku kepentingan terkait dari RI dan Malaysia. Pemangku kepentingan itu mencakup asosiasi komoditas, petani kecil, asosiasi pekerja, dan organisasi masyarakat sipil terkait. Sekretariat Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit (CPOPC) menyebutkan, pertemuan pertama Gugus Tugas Gabungan dijadwalkan pada minggu pertama bulan Agustus 2023.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto berpendapat, Indonesia telah menggulirkan sejumlah rencana untuk menegosiasikan dan melawan implementasi EUDR. Namun, upaya terdekat yang bisa ditempuh Indonesia adalah mengoptimalkan negosiasi melalui Gugus Tugas Gabungan EUDR.
”Kami berharap agar SPKS dilibatkan dalam gugus tugas itu agar dapat menyampaikan inspirasi para petani sawit mandiri terkait dengan implementasi EUDR,” katanya, Minggu (9/7/2023).
Kami berharap agar SPKS dilibatkan dalam gugus tugas itu agar dapat menyampaikan inspirasi para petani sawit mandiri terkait dengan implementasi EUDR.
Menurut Darto, salah satu aspirasi yang bakal disampaikan terkait dengan nasib petani mandiri yang sudah mengantongi sertifikat produksi sawit berkelanjutan dan teridentifikasi citra satelit. Sebanyak 20.000 petani sawit mandiri anggota SPKS dan pemilik 150.000 hektar lahan sawit telah mengantongi sertifikat sawit berkelanjutan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Mereka tersebar di 20 kabupaten di 7 provinsi, yakni Aceh, Riau, Jambi, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Barat. Lahan sawit mereka juga telah terdata secara poligon atau teridentifikasi citra satelit. Pendataan berbasis geolokasi berdasarkan citra satelit itu menjadi syarat uji tuntas EUDR.
Sebelumnya, UE resmi mengimplementasikan EUDR pada 16 Mei 2023. Namun, UE memberikan masa transisi bagi perusahaan besar dan kecil untuk mengimplementasi regulasi baru itu masing-masing 18 bulan dan 24 bulan. Indonesia telah memiliki sejumlah rencana menyuarakan keberatan atas regulasi tersebut.
Selain berencana mengalihkan pasar minyak sawit dan sejumlah produk turunannya dari UE ke sejumlah negara lain, RI juga tengah mempertimbangkan untuk menempuh jalur ligitasi atau penyelesaian sengketa di pengadilan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Selain itu, RI juga berencana membawa persoalan itu ke forum perundingan Perjanjian Ekonomi Komprehensif Indonesia-UE (IEU-CEPA).
Pembuktian Indonesia
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M Fadhil Hasan, menuturkan, dalam waktu dekat ini, Indonesia dapat mengoptimalkan negosiasi atas keberatan terhadap regulasi baru UE itu melalui Gugus Tugas Gabungan EUDR. Gugus tugas itu juga diharapkan mampu menghasilkan kesepakatan yang membantu negara-negara produsen memenuhi persyaratan EUDR.
“Kesepakatan itu terutama terkait penentuan status Indonesia sebagai negara berkategori berisiko rendah deforestasi mengingat tren laju deforestasi hutan di Indonesia menurun. Selain itu, kesepakatan lain yang diharapkan terealisasi adalah mengakomodasi petani dalam rantai pasok perdagangan komoditas yang diatur dalam EUDR,” ujarnya di Jakarta.
Gugus tugas itu juga diharapkan mampu menghasilkan kesepakatan yang membantu negara-negara produsen memenuhi persyaratan EUDR.
Selain mensyaratkan sejumlah komoditas harus terbukti tidak berasal dari lahan yang terdeforestasi setelah 31 Desember 2020, UE juga akan mengklasifikasikan negara-negara berdasarkan tingkat risiko deforestasi. Ketiga kategori risiko itu adalah negara berisiko rendah deforestasi, sedang, dan tinggi.
Fadhil menambahkan, Indonesia dapat merujuk hasil laporan World Resources Institute (WRI) tentang Global Forest Review 2022. Melalui laporan itu, Indonesia dapat menunjukkan data dan fakta kuat bahwa laju penurunan kehilangan hutan primer di Indonesia terendah dibandingkan negara-negara lain.
Pada akhir Juni 2023, Global Forest Review WRI menunjukkan, dunia kehilangan hutan primer di kawasan tropis seluas 4,1 juta hektar pada 2022, setara dengan kehilangan 11 lapangan sepak bola per menit. Semua hutan yang hilang, baik akibat kebakaran maupun bukan kebakaran itu, menghasilkan 2,7 gigaton emisi karbon dioksida. Dari 4,1 juta hektar yang hilang itu, terbesar berada di wilayah Brasil, yakni 43,1 persen, Kongo 12,5 persen, dan Bolivia 9,4 persen.
“Kami kehilangan salah satu ‘alat’ yang paling efektif untuk memerangi perubahan iklim, melindungi keanekaragaman hayati, serta mendukung kesehatan dan penghidupan jutaan orang", kata Director of Global Forest Wacth WRI Mikaela Weisse melalui siaran pers.
WRI juga menyebutkan, pada 2022, Indonesia dan Malaysia tetap kehilangan hutan primer masing-masing sebesar 5,6 persen dan 1,7 persen dari total hutan primer dunia yang hilang. Namun, Indonesia dan Malaysia berhasil menjaga tingkat kehilangan hutan primer terendah dibandingkan sejumlah negara lain. Pada 2022, laju penurunan kehilangan hutan primer di Indonesia dan Malaysia masing-masing 64 persen dan 57 persen.
Hutan primer di Indonesia yang hilang akibat faktor non-kebakaran seluas 0,8 juta hektar pada 2012. Tren kehilangan hutan primer itu terus menurun hingga mencapai 0,2 juta hektar pada 2022. WRI melihat, kebijakan dan tindakan korektif pemerintah berkontribusi terhadap laju pengurangan kehilangan hutan primer tersebut.
Indonesia telah menempuh sejumlah upaya, seperti meningkatkan pencegahan dan pemantauan kebakaran hutan, penghentian pemberian izin baru pada hutan primer dan lahan gambut (moratorium), dan penegakan hukum. Selain itu, Indonesia juga telah berupaya merehabilitasi hutan, termasuk hutan bakau.