Restriksi Ekspor Pangan dan Bahan Baku Kritis G20 Marak
WTO menyebutkan, dalam tujuh bulan terakhir, 41 tindakan pembatasan perdagangan barang dilakukan negara-negara G20. Tindakan itu antara lain dilakukan Rusia, Uni Eropa, Argentina, Brasil, AS, China, India, dan Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS - Restriksi ekspor yang dilakukan negara-negara anggota G20 semakin marak. Pembatasan perdagangan luar negeri itu mencakup pula komoditas pangan, pupuk, dan bahan baku kritis.
Situasi itu bakal mengganggu rantai pasok global, memicu kenaikan harga komoditas, bahkan menyebabkan krisis pangan di sejumlah negara pengimpor. Laju pertumbuhan perdagangan global juga bakal melambat.
Pertumbuhan volume perdagangan barang dunia diperkirakan melambat dari 2,7 persen pada 2022 menjadi 1,7 pada 2023. Pada 2024, pertumbuhannya diperkirakan meningkat menjadi 3,2 persen. Namun jika ketidakpastian global dan pembatasan ekspor semakin menguat, volume perdagangan global bisa tumbuh minus 2,8 persen.
Hal itu mengemuka dalam Laporan Pemantauan Perdagangan di Negara-negara G20 yang dirilis Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Selasa (4/7/2023) di Geneva, Swiss. Laporan itu merujuk pada tindakan fasilitasi dan pembatasan perdagangan barang yang tidak terkait pandemi Covid-19 pada periode pertengahan Oktober 2022 hingga pertengahan Mei 2023.
Dalam periode tersebut, terdapat 77 tindakan fasilitasi perdagangan dan 41 tindakan pembatasan perdagangan barang yang dilakukan negara-negara G20. Fasilitasi dan pembatasan perdagangan itu masing-masing senilai 629 miliar dollar AS dan 88 miliar dollar AS. Tindakan itu dilakukan antara lain oleh Rusia, Uni Eropa (UE), Argentina, Brasil, Amerika Serikat, China, India, dan Indonesia.
Pertumbuhan volume perdagangan barang dunia diperkirakan melambat dari 2,7 persen pada 2022 menjadi 1,7 pada 2023.
Meski mulai sedikit melonggar, Rusia masih tercatat sebagai negara yang membatasi ekspor pangan dan pupuk. India membatasi ekspor gandum dan beras. Indonesia pun terbukukan sebagai negara yang membatasi ekspor minyak sawit dan nikel.
Indonesia juga diihat sebagai negara yang menerapkan tindakan pengamanan perdagangan terhadap sejumlah komoditas impor. Beberapa komoditas itu antara lain keramik, besi dan baja, benang, dan pendingin ruangan.
Laporan itu juga menyorot Undang-undang Produk Bebas Deforestasi UE (EUDR). Sejumlah negara berkembang telah meminta UE meninjau kembali regulasi itu karena berpotensi berdampak negatif dan diskriminatif pada kepentingan ekspor negara berkembang.
Selain itu, WTO bersama Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memberi tekanan pada pembatasan perdagangan bahan baku kritis (CRM). CRM menunjuk pada bahan mentah tak tergantikan yang dibutuhkan banyak negara dan pasokannya didominasi satu atau beberapa negara produsen.
CRM itu kebanyakan berupa bahan tambang mineral, seperti logam tanah jarang, litium, kobalt, nikel, dan bauksit. Permintaan bahan-bahan mentah itu meningkat seiring dengan perkembangan teknologi digital dan energi terbarukan. UE termasuk lawasan ekonomi yang memiliki Undang-Undang CRM. Daftar komoditas dalam CRM, termasuk nikel dan bauksit diperbarui setiap tiga tahun sekali.
OECD mencatat, dalam 10 tahun terakhir, nilai perdagangan CRM tumbuh lebih cepat dari total perdagangan barang global, yakni sebesar 38 persen. Perdagangan litium bahkan meningkat 438 persen, sedangkan biji mineral 57 persen. Sementara itu, pada 2022, pembatasan perdagangan CRM meningkat lima kali lipat sejak OECD mulai mengumpulkan data CRM pada 2009.
Baca juga: Restriksi Dagang Masih Membayangi
Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala mengapresiasi positif langkah negara-negara G20 yang telah memfasilitasi perdagangan, terutama mempermudah impor. Namun, pembatasan ekspor, khususnya pada pangan, pakan, dan pupuk, harus dikurangi agar meredam gejolak harga yang membuat hidup masyarakat semakin sulit.
"Negara-negara G20 harus terus menahan diri untuk tidak menerapkan pembatasan perdagangan. G20 harus menjalankan fungsi kepemimpinan yang mendukung perdagangan terbuka dan saling menguntungkan," kata Okonjo melalui siaran pers di Jakarta.
Negara-negara G20 harus terus menahan diri untuk tidak menerapkan pembatasan perdagangan. G20 harus menjalankan fungsi kepemimpinan yang mendukung perdagangan terbuka dan saling menguntungkan.
Kebijakan RI
Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia turut merasakan dampak pembatasan ekspor yang dilakukan sejumlah negara, seperti kenaikan harga gandum, daging sapi, dan kedelai. RI juga menemui sejumlah hambatan eskpor terutama akibat implementasi kebijakan Arah Energi Terbarukan (RED) II UE diterapkan.
Tantangan hambatan ekspor dr UE bakal berlanjut ketika EUDR dan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (CBAM) diimplementasikan. Melalui EUDR, sejumlah produk ekspor RI, termasuk minyak sawit, harus terbukti sebagai produk bebas deforestasi. Adapun dengan CBAM, sejumlah produk RI, seperti besi baja dan aluminium, harus rendah karbon.
Baca juga: Beban RI Hadapi UE Kian Berat
Di sisi lain, Indonesia juga mempraktikkan pembatasan ekspor. Saat ini, RI masih memberlakukan kebijakan kewajiban memasok kebutuhan domestik (DMO) minyak goreng beserta bahan bakunya. RI juga melarang ekspor bijih nikel dan bauksit dalam rangka hilirisasi. Terkait larangan ekspor bijih nikel, RI kalah melawan gugatan UE di tingkat Badan Penyelesaian Sengketa WTO dan tengah mengajukan banding.
RI juga berupaya melindungi produk industri dalam negeri dari serbuan produk impor melalui kebijakan pengamanan perdagangan. Terbaru, Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) memulai penyelidikan perpanjangan tindakan pengamanan perdagangan atas impor kertas sigaret dan kertas bungkus tak berpori pada 23 Juni 2023. Produk itu berasal dari Vietnam, Austria, China, Spanyol, dan Korea Selatan.
RI bersama Malaysia juga telah menyampaikan keberatan kepada UE yang mengimplementasikan EUDR. RI bahkan tengah mempertimbangkan mengangkat persoalan itu melalui jalur litigasi atau penyelesaian sengketa melalui persidangan WTO. "RI kemungkinan akan menempuh jalur litigasi di WTO. Saat ini, prosesnya telah memasuki tahap penilaian secara internal untuk mempertimbangkan opsi itu,” kata Wakli Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga, Selasa (27/6/2023).
Baca juga: Hadapi EUDR, RI Siapkan Jalur Litigasi dan Alih Pasar
Peneliti Peneliti Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Calista Endrina Dewi berpendapat, RI perlu mempertajam negosiasi terkait EUDR melalui meja perundingan Perjanjian Kerjasama Ekonomi Komprehensif RI-UE (IEU CEPA). Kendati begitu, RI perlu berhati-hati dan mengantispasi kemungkinan permintaan UE sebagai kompensasi atas relaksasi EUDR dalam negosiasi itu.
"UE bisa saja meminta RI merelaksasi larangan ekspor nikel dan bauksit. UE mungkin pula meminta partisipasi dan kemudahan bagi sejumlah perusahaan UE mengikuti pengadaan barang dan jasa pemerintah yang nilainya mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun tiap tahunnya," katanya, Selasa (4/7/2023).
RI perlu mempertajam negosiasi terkait EUDR melalui meja perundingan IEU-CEPA. Kendati begitu, RI perlu berhati-hati dan mengantispasi kemungkinan permintaan UE sebagai kompensasi atas relaksasi EUDR dalam negosiasi itu.
Menurut Calista, RI juga dapat menunjukkan capaian laju penurunan deforestasi. Penyampaian itu dapat diperkuat dengan capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dalam industri sawit.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat laju deforestasi atau penggundulan hutan di Indonesia pada 2019-2020 turun sebesar 75,03 persen. Dalam dua tahun terakhir ini, laju penurunan itu terus berlanjut, yakni sebesar 8,4 persen dari 113.500 hektar (ha) pada 2020-2021 menjadi 104.000 hektar pada 2021-2022.
Adapun terkait SDGs, hasil studi LPEM UI pada 2019 menunjukkan, setiap sepuluh persen peningkatan area perkebunan sawit, akan tercipta 1,8 persen peningkatan pendapatan per kapita. Peningkatan area tersebut juga mengurangi tingkat kemiskinan sebesar 0,05 persen dan tingkat pengangguran 0,02 persen.
Baca juga: Akankah Kebijakan Hilirisasi Mematahkan Kutukan Sumber Daya?