Hadapi EUDR, RI Siapkan Jalur Litigasi dan Alih Pasar
Pemerintah berencana mengalihkan ekspor CPO dan produk turunannya dari UE ke China dan negara-negara di Afrika. Sementara itu, asosiasi petani sawit meminta agar pasar CPO di UE tetap dipertahankan.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan dua langkah lanjutan menghadapi implementasi Undang-Undang Bebas Deforestasi Uni Eropa atau EUDR. Kedua langkah itu adalah mematangkan ligitasi atas EUDR ke Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO dan pengalihan pasar minyak kelapa sawit mentah dan produk turunannya dari Uni Eropa.
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga, Selasa (27/6/2023), mengatakan, RI sudah menyampaikan keberatan secara resmi terkait penerapan EUDR ke Komisi Uni Eropa (UE). RI juga telah menyampaikan hal serupa kepada setiap negara anggota UE secara bilateral.
Langkah itu kemungkinan dilanjutkan dengan penyelesaian sengketa melalui persidangan atau ligitasi di WTO. Namun, hal itu harus melewati mekanisme konsultasi terlebih dahulu di WTO. ”Saat ini, prosesnya telah memasuki tahap penilaian secara internal untuk mempertimbangkan opsi tersebut sebagai respons kebijakan UE,” ujarnya dalam Sawit Week 2023 yang digelar CNBC Indonesia.
Menurut Jerry, sikap RI terhadap EUDR sudah jelas. RI memandang kebijakan UE itu tidak sejalan dengan prinsip-prinsip aturan WTO, termasuk di dalamnya mencakup perdagangan yang adil dan tidak diskriminatif.
Regulasi itu dapat menghambat produk ekspor Indonesia, seperti sawit, kopi, kakao, dan produk dari kayu. Dengan memasukkan CPO dan produk turunannya ke regulasi itu, EU mendiskriminasi komoditas ekspor unggulan RI itu dari minyak-minyak nabati lain.
”Yang ingin kami pastikan adalah tidak boleh ada diskriminasi dan delegitimasi, serta kebijakan yang berstandar ganda dan tidak mengedepankan perdagangan yang adil,” katanya.
Yang ingin kami pastikan adalah tidak boleh ada diskriminasi dan delegitimasi, serta kebijakan yang berstandar ganda dan tidak mengedepankan perdagangan yang adil.
Jerry menilai, isu-isu yang terkait dengan lingkungan dan perubahan iklim yang selama ini dipakai UE bukan alasan yang pas. Dalam konteks minyak nabati, misalnya, UE sebenarnya ingin melindungi produk dalam negeri seperti minyak bunga matahari dan rapeseed yang tidak mampu bersaing dengan minyak sawit RI.
Selain menempuh jalur litigasi, RI juga berencana mengalihkan pasar CPO dan produk turunannya dari UE ke China, Pakistan, Amerika Serikat, serta sejumlah negara di Afrika dan Uni Ekonomi Eurasia (UEE). Jerry menyebutkan, nilai ekspor CPO dan produk turunannya pada Januari-April 2023 sebesar 8,79 miliar dollar AS.
Meskipun nilainya turun 19,42 persen secara tahunan, volume ekspornya meningkat 21,1 persen secara tahunan. ”Masih besarnya potensi ekspor komoditas itu berkat upaya perluasan pasar ke China, Pakistan, dan Amerika Serikat,” kata Jerry.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan akan mengalihkan ekspor CPO dan produk turunannya ke Afrika. Luhut mengemukakan rencana itu lantaran kesal dengan UE yang secara resmi memberlakukan EUDR per 16 Mei 2023.
Adapun Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menyebutkan, RI tengah menjajaki kerja sama perdagangan CPO dan produk turunannya dengan negara-negara UEE, termasuk Rusia. Rusia berencana menambah impor CPO untuk menopang industri oleokimia negara tersebut.
”Volume ekspor CPO Indonesia ke Rusia pada 2022 sebesar 668.340 ton. Jika Rusia menambah permintaannya, ekspor RI ke negara tersebut bisa mencapai 1 juta ton,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta (Kompas, 31 Mei 2023).
Sementara itu, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) lebih memilih mempertahankan ekspor CPO dan produk turunannya ke UE. Namun, langkah tersebut tetap perlu dibarengi dengan strategi memperluas pasar, serapan domestik, dan hilirisasi sawit di tingkat petani.
Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung menuturkan, serapan produk sawit Indonesia di pasar UE masih sangat kecil. Dari total ekspor CPO dan produk turunan Indonesia yang sebanyak 47,03 juta ton pada 2020, ekspor ke UE hanya 2,05 juta ton.
Meski demikian, semua produk sawit yang diekspor ke UE itu sudah bersertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Sertifikat sawit berkelanjutan tersebut sebenarnya tidak jauh beda dengan persyaratan dari EUDR, sehingga tinggal melengkapi dokumen dan persyaratan lain agar lolos uji tuntas sebagai produk yang bukan berasal dari hutan yang terdegradasi.
”Pemerintah perlu mengelola dan memberi penugasan khusus kepada perusahaan-perusahaan yang telah mengekspor CPO ke UE tersebut. Ini bisa menjadi peluang bagi pengembangan sawit berkelanjutan RI, termasuk kenaikan harga CPO dan dampaknya ke harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani,” tuturnya.
Gulat juga meminta pemerintah meningkatkan serapan sawit di dalam negeri. Dengan semakin banyaknya serapan sawit di dalam negeri, dunia akan khawatir kekurangan minyak nabati karena minyak sawit merupakan produk minyak nabati yang kompetitif.
Selain itu, hilirisasi sawit di tingkat petani perlu dipercepat. Hal ini penting agar petani tidak selalu menjadi ”mainan cantik” para pelaku CPO. Harga TBS petani tidak hanya dipengaruhi isu EUDR, tetapi lebih banyak ditentukan oleh para pedagang CPO, baik yang membeli dari pabrik-pabrik kelapa sawit maupun dari lelang di PT Karisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN).
”Tiga bulan lalu, saat isu EUDR gencar digemborkan, harga lelang CPO ambruk. Harga TBS sawit petani juga turut jeblok menjadi Rp 1.000 per kilogram (kg) dari semula yang seharga Rp 1.700-Rp 2.150 per kg,” kata Gulat.
Hilirisasi sawit di tingkat petani perlu dipercepat. Hal ini penting agar petani tidak selalu menjadi ”mainan cantik” para pelaku CPO.
Per 27 Juni 2023, harga CPO yang diperdagangkan dalam Bursa Derivatif Malaysia sebesar 3.675 ringgit Malaysia. Harga tersebut meningkat 3,69 persen secara bulanan dan turun 26,3 persen secara tahunan.
Dalam analisisnya, Trading Economics menyebutkan, harga CPO tersebut relatif menguat karena terdorong permintaan yang solid dari India. Pada Juni 2023, impor minyak sawit ke India diperkirakan melonjak 46 persen dibandingkan bulan lalu. Di sisi lain, ekspor minyak sawit Malaysia pada 1-25 Juni 2023 turun dibandingkan periode sama pada Mei 2023. Sementara Indonesia sedang mempertimbangkan mengalihkan ekspor CPO dari UE ke Afrika.