Lembaga Khusus Dinilai Perlu untuk Atasi Problem Sawit
Komoditas kelapa sawit Indonesia terus dirundung ketidakpastian, baik dari dalam maupun luar negeri. Lembaga khusus diperlukan untuk mengatasi sederet problem dan tumpang tindih kewenangan antarkementerian/lembaga.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri kelapa sawit dinilai membutuhkan lembaga khusus untuk menyelaraskan regulasi dan menjamin hilirisasi sawit di Indonesia. Apalagi, selain sejumlah problem di dalam negeri, para pelaku usaha, termasuk petani kelapa sawit, juga menghadapi kendala di tingkat global, seperti terkait Undang-Undang Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa atau EUDR.
Hal ini mengemuka dalam diskusi bertajuk Menggapai Sawit Tetap Jadi Andalan Indonesia Saat Dunia Penuh Ketidakpastian yang digelar oleh CNBC Indonesia secara hibrida, di Jakarta, Senin (26/6/2023). Hadir sebagai pembicara, yakni Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Kementerian Keuangan Eddy Abdurrachman, Ketua Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy (PASPI) Tungkot Sipayung, Pelaksana Tugas Dewan Sawit Indonesia Sahat Sinaga, serta ahli hukum sawit dan perkebunan Sadino.
Menurut Eddy Abdurrachman, pemerintah perlu membuat kebijakan yang secara khusus mengatur tata kelola kelapa sawit melalui peran sebuah lembaga atau badan khusus. Lembaga tersebut memiliki kewenangan dalam menangani berbagai permasalahan kelapa sawit di dalam negeri, mulai dari sisi regulasi hingga hilirisasi.
”Alangkah baiknya kalau itu dibawa dalam satu tangan, satu lembaga. Kewenangan yang tersebar di beberapa kementerian/lembaga negara harus diberikan pada lembaga ini. Dengan demikian, posisi lembaga ini menjadi strategis sehingga dapat terjadi harmonisasi kebijakan,” katanya.
Senada dengan Eddy Abdurrachman, para pemangku kepentingan di industri kelapa sawit yang hadir dalam diskusi ini turut mendukung usulan mengenai pembentukan sebuah lembaga khusus tersebut. Oleh sebab itu, ujar Eddy Abdurrachman, gagasan tersebut perlu diteruskan ke lembaga legislatif (DPR) supaya dapat ditindaklanjuti melalui pembahasan bersama pemerintah.
Sahat menambahkan, lembaga khusus yang bertindak sebagai regulator dalam tata kelola bisnis kelapa sawit itu dapat meminimalkan konflik kepentingan dan ego sektoral dari para pemangku kepentingan. Tata kelola bisnis kelapa sawit menjadi hal yang penting agar komoditas sawit tidak bernasib seperti komoditas karet.
”Tingginya harga karet membuat para ahli kimia mengembangkan karet sintetis karena saat itu marjinnya besar. Alhasil, karet pun menjadi terpuruk hingga sekarang. Jangan sampai terjadi pada komoditas sawit, mengingat harga sawit yang tinggi dan di sisi lain mulai berkembang juga teknologi kimia untuk mengembangkan sawit,” ujarnya.
Badan Pusat Statistik melaporkan, produksi minyak kelapa sawit Indonesia pada 2022 mencapai 45,58 juta ton dari total lahan sementara tercatat seluas 14,99 juta hektar. Artinya, setiap hektar kebun kelapa sawit rata-rata menghasilkan sekitar 3 juta ton minyak kelapa sawit.
Sahat menambahkan, pada tahun 2045, produksi minyak kelapa sawit Indonesia ditargetkan mampu mencapai 100 juta ton atau dibutuhkan 6,5 ton per hektar setiap tahun. Oleh sebab itu, diperlukan peran lembaga khusus yang bertanggung jawab untuk meningkatkan produktivitas sekaligus mengoptimalkan hilirisasi.
Selain itu, lembaga khusus tersebut turut berperan dalam menyelesaikan tumpang tindih kebijakan dan regulasi di ekosistem kelapa sawit. Eddy Martono menjelaskan, terdapat regulasi yang tidak sinkron dalam mengatur tata kelola kelapa sawit.
Salah satunya dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja. Eddy menyebut, pemberlakukan UU Cipta Kerja turut menurunkan PP yang dinilai rancu, yakni pada PP No 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah serta PP No 26/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian.
”Ini yang menjadikan kami, pelaku usaha, jadi bingung. Masalahnya, di PP (No 18/2021) tersebut, kami diwajibkan untuk FPKM (fasilitasi pembangunan kebun masyarakat). Di dalam PP No 18/2021 terdapat kata paling sedikit, akibatnya pemerintah daerah bisa menerapkan 30 persen atau 40 persen. Sementara lahan kami makin terbatas,” ujarnya.
Di sisi lain, terdapat ketidakpastian global berupa EUDR yang mensyaratkan dokumen uji tuntas dan verifikasi sebagai bentuk jaminan oleh eksportir bahwa produknya tidak berasal dari kawasan hasil penggundulan hutan (deforestasi) dengan batas maksimal akhir tahun 2020. Sementara regulasi di Indonesia mewajibkan perusahaan perkebunan untuk memberikan FPKM.
Oleh sebab itu, lembaga khusus yang menaungi industri sawit diperlukan untuk meratifikasi ketentuan yang berlaku. Sadino menjelaskan, soal penelusuran deforestasi dalam perkebunan kepala sawit perlu melihat konteks sejarahnya. Sebab, dinamika perizinan sawit erat kaitannya dengan dinamika politik di Indonesia.
”Sebelum tahun 1999, ada perizinan-perizinan yang itu sekarang dianggap tidak legal. Setelah reformasi, ada perubahan hukum yang tidak diakui. Bicara soal petani, para petani dan para transmigran, sertifikatnya tidak diakui, padahal itu hak konstitusi negara. Apakah transmigran penyebab deforestasi?” ucapnya.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu membentuk lembaga khusus untuk meratifikasi berbagai regulasi yang ada. Lebih lanjut, ketentuan batas maksimal mengenai deforestasi dalam EUDR seharusnya menjadi patokan agar tidak memicu perdebatan panjang mengenai lahan kelapa sawit.
Anggapan diskriminatif terhadap produk sawit Indonesia dalam kebijakan EUDR bukanlah kali pertama dilakukan oleh bangsa Benua Biru. Sebelumnya, Uni Eropa menggolongkan sawit sebagai bahan baku bahan bakar nabati yang memiliki risiko perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung (indirect land use change/ILUC) tinggi dalam dokumen Arahan Energi Terbarukan (RED) II dan Delegated Regulation.
Tungkot menjelaskan, kebijakan-kebijakan Uni Eropa tersebut dibuat untuk menyiasati kompetisi bisnis antarnegara. Sebab, dari segi harga, minyak kelapa sawit lebih murah dibandingkan dengan minyak nabati Uni Eropa, seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan rapeseed.
”Eropa tidak mungkin menang dalam persaingan dari sisi harga sehingga mereka memilih persaingan nonharga (nonpricecompetition), antara lain dengan kampanye negatif, menjelek-jelekkan pesaing. Ini yang dilakukan Eropa sejak 1980 sampai sekarang. Padahal, soal deforestasi, seluruh dunia itu deforestasi hanya saja waktunya berbeda-beda,” ujarnya.
Berdasarkan data Oil World pada 2022, lahan perkebunan kelapa sawit tidak lebih dari 10 persen dari total lahan perkebunan yang menghasilkan minyak nabati lainnya di dunia. Secara keseluruhan, jumlah lahan kelapa sawit di dunia mencapai 24,2 juta hektar. Sementara lahan perkebunan kacang kedelai (soybean) mencapai 132,8 juta hektar, disusul dengan rapeseed 36,5 juta hektar, cottonseed 33 juta hektar, dan sunflower 30 juta hektar.
Tungkot menambahkan, kelapa sawit juga lebih berkelanjutan ketimbang minyak nabati lainnya. Berdasarkan penelitian Beyer dan kawan-kawan (2020) bertajuk The Environmental Impacts of Palm Oil and Its Alternatives serta Beyer dan Tim Rademacher (2021) bertajuk Species Richness and Carbon Footprints of Vegetable Oils: Can High Yields Outweigh Palm Oil’s Environmental Impact? tingkat emisi dan hilangnya biodiversitas dari tanaman kelapa sawit jauh lebih rendah ketimbang tanaman penghasil minyak nabati lainnya, antara lain rapeseed, sunflower, soybeen, dan groundnut.