Selain menyiapkan bibit, kandang, dan lahan pakan, usaha mewujudkan swasembada daging sapi nasional perlu diawali dengan melatih peternak rakyat. Pemahaman tentang teknik budidaya dan model bisnis dinilai urgen.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya mendongkrak populasi sapi hidup dan mewujudkan swasembada daging sapi nasional dinilai bergantung pada kemampuan dan kapasitas peternak. Oleh karena itu, pelatihan untuk peternak krusial guna meningkatkan produktivitas peternakan sapi di Indonesia.
Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sekaligus penggagas Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) dan akademisi IPB University, Muladno, berpendapat, sarana pelatihan seperti SPR diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas peternak sapi nasional. Hasilnya antara lain terlihat dari produktivitas sapi indukan yang meningkat sejalan dengan kemampuan peternaknya.
Ia mencontohkan kemampuan beranak seekor betina produktif yang dikelola peserta SPR yang meningkat dari 2-3 kali menjadi delapan kali. Peningkatan itu seiring dengan kemampuan peternak mengelola usaha peternakan. Menurut dia, tanpa pemahaman tentang model usaha yang memadahi, peternak bisa terjebak untuk menyembeli sapinya demi memenuhi kebutuhan hidup.
”SPR berlangsung selama sembilan bulan dan memberikan fondasi pola pikir, karakter, hingga cara peternak berbisnis. Dalam usaha mewujudkan swasembada (daging sapi), tak bisa hanya bermodalkan sapi dan kandang, peternak pun perlu dibekali dengan ilmu,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (22/6/2023).
Muladno memerinci, hasil pengembangbiakan indukan paling tidak dapat dilihat dalam jangka waktu sepuluh tahun. Selama pengembangbiakan itu, peternak berpotensi memperoleh sapi jantan yang bisa dipotong dan dijual sebagai sumber pendapatan.
Menurut dia, guna mendapatkan penghasilan tetap selama periode pengembangbiakan, selain dari pemotongan sapi jantan, SPR akan mewajibkan peternak binaan membuat pupuk kandang padat dan cair. Seekor sapi dapat menghasilkan 25 kilogram feses per hari yang dapat diolah hingga menjadi 10 kg pupuk padat per hari. Pupuk ini dapat dijual sekitar Rp 800 per kg hingga Rp 1.000 per kg. ”Jika sapi dan produksi pupuk padat itu dikelola secara kolektif, peternak bisa mendapatkan penghasilan yang cukup,” ujarnya.
Dari sisi sumber indukan, pemerintah perlu menyediakan fasilitas, salah satunya melalui impor sapi bakalan. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 28 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pertanian No 19/2020 tentang Penanganan Perizinan Berusaha Sektor Pertanian yang Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 menyatakan, pelaku usaha peternakan, koperasi peternak, dan kelompok peternak yang mengimpor sapi bakalan wajib memasukan sapi indukan minimal 3 persen dari kapasitas kandang yang wajib dikembangbiakan. Impor indukan tersebut dapat direalisasikan secara bertahap selama berlakunya masa rekomendasi.
Terkait sumber indukan, Muladno menyebutkan, sapi lokal menjadi prioritas saat ini. Berdasarkan data yang dia himpun dari Kementerian Pertanian, populasi sapi indukan saat ini berkisar 7,2 juta ekor. Adapun sapi indukan impor bersifat tambahan. Sapi indukan yang diimpor sebagai syarat mengimpor bakalan wajib dikembangbiakan oleh peternakan rakyat yang sudah dilatih.
Anggaran untuk mengadakan SPR diperkirakan mencapai Rp 350 juta per kecamatan. Anggaran ini belum termasuk ongkos transportasi antarprovinsi. Menurut Muladno, pemerintah kabupaten perlu menyiapkan anggaran untuk mengembangkan SPR tersebut.
Harapannya, Kementerian Dalam Negeri dapat mengarahkan setiap bupati dalam menyediakan anggaran untuk menyelenggarakan SPR. Selain itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi turut menyediakan anggaran untuk mereplikasi model SPR ke perguruan tinggi lain sehingga dapat lebih mudah menjangkau peternak di kecamatan terdekat.
Peternak mesti dipersiapkan dan dilatih terlebih dahulu agar populasi sapi Indonesia dapat meningkat signifikan.
Sebelumnya, Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Pangan Nasional atau NFA Andriko Noto Susanto menyatakan, pihaknya telah berdiskusi dengan Muladno dalam menyusun dokumen tindak lanjut mengenai swasembada daging nasional. Menurut Andriko, peternak mesti dipersiapkan dan dilatih terlebih dahulu agar populasi sapi Indonesia dapat meningkat signifikan.
Mengenai dokumen tindak lanjut yang sedang disusun itu, Kepala NFA Arief Prasetyo Adi mengatakan, terdapat target-target kuantitatif yang menyelaraskan pengurangan impor daging dengan penambahan populasi sapi. ”Misalnya, tahun pertama ditargetkan mengurangi impor (daging sapi) sebanyak 5 persen, lalu beberapa tahun setelahnya menjadi 70-80 persen,” ujarnya.